Monday, March 26, 2007

Sufi Hadramaut



Asalnya komentar daripada Dr Asri merujuk kepada upacara keagamaan di yaman hardamaut. Maka seorang blogger yang selalu melakukan komen sinis terhadap beliau, menyebut Komentar Dr Asri satu Fitnah. Di usahakan video ini untuk mereka dan nilailah sama ada ia fitnah atau pun tidak,, Kita cuma tertanya-tanya agama apa mereka ini.

Saturday, March 17, 2007

Berkat Dan Keramat

Sudah diketahui umum bahawa semua orang khususnya kaum muslimin mengharapkan barakah di dalam hidupnya. Usaha untuk mendapatkannya, yang sering diistilahkan sebagai “Tabarruk” atau mencari barakah, ternyata sangat berkait rapat dengan tauhid seorang muslim.

Oleh kerana itu perlu bagi kita mengenali permasalahan besar ini. Ini kerana sering berlaku keinginan untuk mendapatkan barakah menjadi jalan untuk mendatangkan murka daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendatangkan Barakah, dan menodai tauhid seseorang. Wal ‘iyadzubillah.


Agama Islam telah menetapkan bahwa tabarruk merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia. Sehingga tidak asing lagi banyak kaum muslimin yang menunaikannya. Akan tetapi, para pembaca, suatu ibadah tentunya tidak akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barakah tersebut tidak tercapai melainkan dengan terpenuhinya dua syarat mutlak :

1. Adakah ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata kerana Allah SWT?

2. Sesuaikah amalan itu dengan tuntutan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?

Dalam mewujudkan dan memperkukuh syarat yang pertama, hendaklah seseorang meyakini bahwa barakah itu hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Dialah Dzat yang memiliki kesempurnaan, keagungan, dan keluasan barakah.

Tersebut dalam Bada’iut Tafsir 3/282, Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menerangkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا


“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al Furqon : 1)

Beliau rahimahullah mengatakan, “Dan sebahagian yang lain (para salaf, -pent) berkata, ‘Maknanya, barakah itu datang dari sisi-Nya dan barakah ini seluruhnya dari-Nya’”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memberitakan tentang kekuasaan-Nya yang sempurna dan mutlak dengan do’anya :

اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Ya Allah, tidak ada satu pun yang menhalang suatu perkara yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi sesuatu yang Engkau halang. Tidak bermanfaat seorang yang mempunyai kemuliaan di hadapan kemuliaan yang datang dari-Mu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Adapun dalam rangka menumbuhkan amalan tabarruk, sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam maka perlu kita mengenal bagaimana tabarruk yang disyariatkan dan sekaligus menjauhi tabarruk yang terlarang.

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid 1/191 berkata: “Dan meminta barakah tidaklah terlepas daripada dua perkara:

1. Hendaklah bertabarruk dengan perkara-perkara yang syar’i misalnya Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ


“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan barakah ...” (Q.S. Shaad: 29).

Di antara barakahnya ialah sesiapa yang berpegang teguh dengannya, maka baginya kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkan banyak umat daripada kesyirikan dengan Al Qur’an. Di antara barakahnya ialah satu hurufnya dibalas dengan sepuluh kebaikan. Hal itu menambahkan motivasi dan semangat pada manusia. Dan lain sebagainya daripada barakah Al Qur’an yang banyak.

2. Tabarruk dengan perkara hissi (yang mampu dirasa oleh pancaindera), misalnya ilmu, dakwah, dan semisalnya. Maka seseorang akan bertabarruk dengan ilmu dan dakwahnya yang mengajak kepada kebaikan. Jadilah perkara ini sebagai barakah kerana kita mendapat banyak kebaikan yang melimpah dengan sebab ilmu dan dakwahnya.

Para pembaca yang mulia, ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:

1. Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:



اقْرَأُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّه يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه


“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat pembacanya pada hari kiamat.”

2. Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim bahwa beliau (Utsman) berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :



مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَاللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya.”

3. Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di dalamnya. Di antaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah dan Syam.

4. Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.

Di dalam bingkai tabarruk yang syar’i ini pada hakikatnya adalah sebuah pengagungan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah memerintahkan bentuk-bentuk tabarruk tadi, bukan kerana semata-mata dzat perkara-perkara (tabarruk) tadi. Kita renungkan ucapan Umar bin Al Khaththab Radiyallahu ‘anhu tatkala mengusap Hajar Aswad:

أم والله لقد علمت أنك حجر. ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبّلك ما قبّلتك.

“Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahawa engkau adalah batu tidak memberikan mudharat dan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari memberi komentar ucapan Umar RA tersebut: “Dan di dalam ucapan Umar ini terdapat penyerahan diri kepada peletak syariat di dalam perkara-perkara agama, dan ittiba’ (mengikuti) di dalam perkara yang tidak diketahui maknanya. Ini adalah kaedah agung tentang ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam apa yang beliau kerjakan walaupun tidak diketahui hikmahnya, dan di dalamnya (ucapan Umar) terkandung bantahan terhadap apa yang terdapat pada sebagian orang-orang bodoh, bahawa Hajar Aswad memiliki kekhususan pada dzatnya”.

Namun, saudara-saudara yang mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi barakah dengan risalah ini, realitinya di samping berjenis-jenis tabarruk yang telah diajarkan agama yang mulia dan suci ini, terdapat macam-macam tabarruk yang menodai kemuliaan dan kesucian tadi.

Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari jalan Abu Waqid Al Laitsi Radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menuju Hunain sedangkan kami orang-orang yang baru keluar daripada kekufuran, Orang-orang musyrikin memiliki pohon yang mereka i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon tersebut (di dalam rangka tabarruk, pent). Pohon tersebut dinamakan “Dzatu Anwath”. Maka kami melewati pohon itu lalu kami berkata: “Ya Rasulullah buatkan kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki “Dzatu Anwath”. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini adalah jejak (orang-orang sebelum kalian). Demi dzatku yang ada di tangan-Nya, kalian telah mengucapkan seperti ucapan Bani Isra’il kepada Musa: “Buatkanlah kepada kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al A’raaf: 138), sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak-jejak orang-orang sebelum kalian.”

Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullh di dalam Ma’arijul Qabul 2/645 mengatakan: “Dan oleh kerana itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menamai i’tikaf dekat pohon-pohon dan menggantungkan senjata padanya di dalam rangka pengagungan kepadanya sebagai suatu peribadatan.”

Di antara saudara-saudara kita, yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah mereka, bertabarruk dengan mengusap-usap tembok Ka’bah, Maqam Ibrahim, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, mengumpulkan tanah-tanah atau bebatuan dari kota Makkah, Madinah, pergi ke kubur-kubur Nabi dan Rasul untuk berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di sisi kubur-kubur tadi dengan anggapan barakah dan keutamaan yang ada pada tempat-tempat tadi.

Pergi ke gua Hira’, gua Tsur, bukit Thur dengan anggapan seperti tadi, mengkhususkan waktu-waktu tertentu dengan perayaan dan ibadah-ibadah seperti Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, Isra’ Mi’raj, hari hijrah nabi, hari Badr dan selainnya daripada bermacam-macam tabarruk yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam Iqtidha’ Shirathil Mustaqim 2/193 berkata: “Maka jika seseorang berniat shalat di samping sebahagian kubur para nabi dan orang-orang shalih di dalam rangka tabarruk di tempat-tempat tersebut, maka ini adalah inti penentangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam, penyimpangan terhadap agama, bid’ah yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala.

Soalan dan Jawapan:

Soalan : Apakah hukum mencari barakah dari bekas-bekas orang-orang sholih atau tempat-tempat mulia ?

Jawapan : Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah di dalam Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid halaman 167–168 menyatakan, bahawa tabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih termasuk bentuk tabarruk yang terlarang, kerana beberapa sebab:

1) Bahawa orang-orang yang awal mula masuk Islam dari kalangan Shahabat dan setelah mereka tidak pernah melakukan hal itu kepada orang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, tidak ketika hidupnya atau setelah wafatnya. Kalau seandainya hal itu baik, maka nescaya mereka akan mendahului kita dalam mengamalkannya.

2) Tidak boleh seorangpun daripada umat ini diqiaskan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam perkara ini (tabarruk kepada dzat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam), kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki pengkhususan-pengkhususan ketika hidupnya yang tidak disamai oleh seorang pun.

3. Larangan tersebut sebagai pintu yang menutup jalan menuju kesyirikan yang tidak samar lagi.



Untaian Fatwa :

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidhahulloh di dalam Al Muntaqa di dalam fatwa beliau 1/220 berkata: “Sujud di atas tanah yang disebut ‘tanah kuburan wali’, jika dimaksudkan sebagai tabarruk dengan tanah itu dan mendekatkan diri kepada wali tersebut maka ini adalah syirik besar.

Adapun jika yang dikehendaki adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan adanya keyakinan tentang keutamaan-keutamaan tersebut, dan sujud di atasnya merupakan suatu keutamaan sebagaimana keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada tanah-tanah suci di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha, maka ini merupakan bid’ah di dalam agama, satu ucapan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa didasari ilmu, syariat yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sarana dari sarana-sarana agama yang mengantarkan kepada kesyirikan.

Hal itu kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan kekhususan pada suatu tempat selain tempat-tempat syi’ar yang suci dan tiga masjid tersebut. Hatta tempat-tempat syi’ar dan tiga masjid tersebut tidak disyari’atkan untuk kita mengambil tanahnya kemudian sujud di atasnya. Hanyalah kita disyari’atkan untuk berhaji ke rumah-Nya (Ka’bah, pent) dan shalat di tiga masjid tadi.”

Wallahu A’lam Bish Shawab.

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 13/II/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Sikap Berlebihan terhadap Orang-Orang Shalih". Penulis Abdurrahman. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

http://al-ahkam.net/home/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=15496

Monday, October 09, 2006

Ajaib Golongan Sufi Dan Tarekat

Kisah-kisah ajaib ini adalah sambungan terhadap beberapa kisah ajaib yang telah disiarkan dalam ahkam.net sebelum ini. Maklumat di dalam artikel ini saya ambil daripada buku Haqiqat al-Sufiyyah Fi Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah – Dr. Muhammad Ibn Rabi’ – Universiti Islam Madinah dan buku al-Toriqah al-Naqsyabandiyyah – Abd. Rahman Dimasyqiyyah – www.frqan.com.

Sebelum kita mengikuti beberapa kisah ajaib, elok kita mulakan dengan pendapat seorang ulama al-Azhar, Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya ‘Ibn Taimiyyah’. Menurut beliau, kemunculan tasawwuf adalah berasal daripada beberapa punca yang berbeza iaitu:

1-Kecenderungan sebahagian ahli ibadat daripada kalangan umat Islam ke arah zuhud dan beribadah sepenuh masa. Ia bermula sejak zaman Rasulullah SAW lagi apabila ada sebahagian sahabat yang ingin beribadah sepenuh masa lalu mereka dilarang oleh Rasulullah SAW seperti di dalam hadith riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menceritakan tentang kisah tiga orang sahabat yang datang ke rumah Rasulullah SAW untuk bertanyakan kepada isteri Rasulullah SAW tentang ibadah baginda.

Setiap seorang daripada mereka telah berazam untuk melakukan ibadah melebihi yang dituntut oleh syariat iaitu berpuasa setiap hari, tidak berkahwin dan juga tidak tidur malam untuk solat sunat. Maka Rasulullah SAW melarang mereka dan menyatakan bahawa baginda sendiri tidak melakukan ibadah ke tahap yang demikian. Namun setelah baginda wafat, zaman seterusnya menyaksikan kecenderungan sebegini muncul kembali.

2-Pemikiran ahli falsafah yang menganggap bahawa ilmu itu akan datang ke dalam hati disebabkan kita melakukan beberapa amalam rohani dan teknik pengawalan diri.

3-Konsep bahawa tuhan akan menghuni diri seseorang yang bersih hatinya. Konsep ini berasal daripada agama Kristian yang kita sedia maklum. Maka timbullah gerakan-gerakan ‘batiniyyah’ yang membawa pemikiran dan konsep songsang ini dalam bentuk atau pakaian tarekat sufi.

4-Pemikiran songsang yang menyatakan bahawa terdapat maksud zahir bagi setiap nas sama ada daripada Al-Quran atau hadith.

(Haqiqat al-Sufiyyah – m/surat 13 hingga 15)

Berikut adalah beberapa kisah ajaib / pelik yang saya temui (di dalam dua buku rujukan untuk artikel ini) berserta sumber asal kisah tersebut:

1-Kata-kata Muhammad Uthman al-Sufi dalam buku al-Hibat al-Muqtabasah bahawa di antara adab-adab seorang murid bersama syeikh tarekat ialah: duduk di hadapannya seperti duduk dalam solat, jangan duduk di atas hamparan syeikh, jangan berwudhu’ daripada bekas wudhu’nya, dan ingatlah pesanan orang-orang suci: ‘sesiapa yang berkata kepada syeikhnya ‘kenapa?’ dia tidak akan berjaya’.

2-Menurut Ibn ‘Arabi dalam bukunya al-Fusus: dan seseorang yang sempurna hatinya akan melihat setiap sembahan manusia itu adalah jelmaan daripada Allah sama ada batu, pokok, haiwan, manusia, bintang, malaikat dan lain-lain lagi.

3-Al-Damamini menghidupkan burung yang sudah pun dimasak sebagai hidangan (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)

4-Al-Kilani ketika memakan daging ayam yang telah dimasak meletakkan tangannya ke atas ayam itu dan berkata: bangunlah dengan izin Allah. Maka ayam itu bangun. (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)

5-Salah seorang murid Abu Yusuf al-Dahmani telah kematian anaknya. Maka Abu Yusuf telah menghidupkannya kembali. (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)

6-Pada suatu hari, syeikh al-‘Ajmi telah memandang kepada seekor anjing lalu dengan tiba-tiba anjing itu menjadi tumpuan semua anjing yang datang meminta hajat. Setelah anjing itu mati, semua anjing lain datang menziarahi kuburnya sehinggalah mereka juga mati. Maka al-Sya’rani telah berkata: itulah apa yang berlaku setelah beliau memandang kepada seekor anjing, maka bagaimanakah pula sekiranya beliau memandang kepada manusia?!. (Tobaqaat, Sya’rani – biodata al-‘Ajmi)

7-Sya’rani menyatakan bahawa beliau bersalam dengan syeikh Ahmad al-Badwi daripada dalam kuburnya apabila keluar tangan syeikh untuk bersalam dengannya. (Tobaqaat, Sya’rani – biodata al-Badwi)

8-Syeikh Ibrahim al-‘Uryan telah menaiki mimbar lalu berkhutbah dalam keadaan berbogel. (Tobaqaat, Sya’rani)

9-Seorang wali boleh memasukkan tangannya ke dalam poket mana-mana orang yang disukainya lalu mengambil beberapa dirham sedangkan orang itu tidak menyedarinya. (al-Ibriz, al-Dabbagh)

10-Seorang sufi bernama Abu Turab menyatakan bahawa melihat syeikhnya iaitu Abu Yazid al-Bastami lebih baik daripada 70 kali melihat Allah. (Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Ghazali).

11-Kaabah telah keluar dari tempat asalnya dan akan pergi menziarahi kubur-kubur para wali atau pun menziarahi para wali yang masih hidup. Peristiwa ini dikatakan pernah berlaku pada Ibn Arabi (Jami’ Karamat al-Auliya’, al-Nabhani).

12-Seorang syeikh bernama Muhammad al-Ma’shum menceritakan bahawa ketika dia pergi haji, malaikat datang membawa surat bahawa hajinya telah diterima oleh Allah. Kaabah pula datang memeluknya dan ketika di Madinah, Rasulullah SAW keluar dari kuburnya dan memeluknya. (al-Hadaiq al-Wirdiyyah)

14-Syeikh Baha’uddin telah mengambil zikir khafiy (zikir senyap) daripada syeikh Abd. Qadir al-Ghajduwani yang telah meninggal dunia dengan cara memasuki kuburnya. (al-Mawahib al-Sarmadiyyah).

15-Syeikh Baha’uddin pernah berkata kepada seorang lelaki ‘matilah engkau’ maka matilah lelaki itu. Lalu beliau berkata pula ‘hiduplah engkau’, maka hiduplah lelaki itu sedikit demi sedikit. (Jami’ Karamat al-Auliya’).

Begitulah sebahagian lagi kisah ajaib dan pelik daripada sebahagian…sebahagian…sebahagian…tarekat sufi dan para pengikutnya. Sengaja saya ulang perkataan ‘sebahagian’ tiga kali untuk memahamkan orang-orang yang mungkin melatah lalu menyatakan ‘tarekat aku tak macam tu!’. Alhamdulillah tarekat anda tidak begitu. Ada pun bagi sebahagian tarekat, mereka menerima kisah ajaib dan pelik ini.

Friday, September 15, 2006

Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah (3)

iii. Ilmu Allah Berubah-ubah Mengikut Sesuatu Peristiwa Yang Berlaku Kepada Manusia (al-Bada')
Dari segi bahasa al-Bada' bermaksud lahir sesudah tersembunyi. Menurut akidah Syiah, al-Bada' ialah Allah mengetahui sesuatu perkara setelah berlaku peristiwa berkenaan yang sebelum itu dianggap tersembunyi daripada-Nya. Perkara ini j elas menganggap Allah itu j ahil atau tidak mempunyai ilmu yang meliputi. Ini amat jelas seperti yang disebutkan oleh al-Tabatabai dalam kitab al-Usul Min al-Kafi oleh al-Kulaini Juzu' 1 hal 146.
Terjemahannya:

"AI-Bada" ialah zahir perbuatan yang tersembunyi disebabkan ternyata tersembunyi ilmu kerana adanya maslahah. Kemudian diluaskan penggunaannya, maka kami maksudkan dengan al-Bada' itu ialah lahirnya setiap perbuatan yang sebelumnya itu adalah tersembunyi (daripada Allah S.W.T)".


Mengikut akidah Syiah, ilmu Tuhan itu akan berubah dan bersesuaian dengan fenomena baru. Tuhan akan berubah kehendak-Nya terhadap sesuatu perkara sesuai dengan keadaan yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Kitab al-Usul Min al-Kafi, oleh al-Kulaini, Juzu' 1, hal. 146:

Terjemahannya;

Bab al-Bada'
Muhammad bin Yahya daripada Ahmad bin Muhamad bin Isa, daripada al-Hajjal daripada Abu Ishak Tha'labah daripada Zararah bin Ayun daripada salah seorang daripada keduanya a.s. katanya, "Tidak ada ibadat yang paling utama seperti al-Bada'. Di dalam riwayat daripada Ibn Abu Umair daripada Hisham bin Salim daripada Abdullah a.s., "Tidak ada perkara yang paling agung di sisi Allah seperti al-Bada'.

Ali bin Ibrahim daripada bapanya daripada Ibnu Abu Umar daripada Hisham bin Salim dan Hafs bin al-Bukhturi dan selain dadpada keduanya daripada Abu Abdullah a.s. katanya mengenai ayat ini maksudnya; "Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan apa yang Ia kehendaki".

Sebagai contoh kepada pengertian al-Bada', An-Naubakhti menyebut bahawa Ja'far bin Muhammad Al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam secara nas semasa hidupnya lagi. Tetapi ternyata kemudiannya Ismail meninggal dunia, sedangkan bapanya Ja'far bin Muhammad al-Baqir masih hidup, katanya:

Terjemahannya:

"An-Naubakti menyebut bahawa Jafar bin Muhammad al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam semasa beliau masih hidup. Tiba-tiba Ismail mati Iebih dahulu daripadanya, maka Jafar berkata, "Tidak ternyata kepada Allah mengenai sesuatu perkara sebagaimana tersembunyi kepada-Nya mengenaiperistiwa anakku Ismail".

(Kenyataan ini dipetik daripada kitab Fatawa Min Aqaid al-Syiah oleh Muhamad Umar Ba Abdillah hal. 15)

ULASAN
Pendapat yang mengatakan ilmu Allah berubah-ubah mengikut peristiwa yang berlaku kepada manusia adalah bertentangan dengan al-Quran al-Karim yang menyebut bahawa Allah mengetahui secara terperinci dan menyeluruh sepertimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat berikut yang bermaksud:
"Allah mengetahui pengkhianatan (keserongan dan ketiadaan jujur) pandangan mata seseorang. Serta mengetahui akan apa yang tersembunyi di dalam hati."

(Surah al-Mukmin ayat 19)

Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi kepada-Nya sesuatupun yang ada di bumi dan juga yang ada di langit".

(Surah A-li Imran ayat 3)

"Dan pada sisi Allah jualah anak kunci perbendaharaan segala yang ghaib, tiada sesiapa yang mengetahuinya melainkan Dialah sahaja dan Ia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut dan tidak gugur sehelai daunpun melainkan In mengetahuinya dan tidak gugur sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak gugur yang basah dan yang kering melainkan (semuanya) ada tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) yang terang nyata."

(Surah al-An'am ayat 59)

"Demi TuhanKu yang mengetahui segala perkara yang ghaib, hari kiamat itu sesungguhnya akan datang kepada kamu. Tidak tersembunyi datipengetahuan-Nya barang seberat debu yang ada di langit atau di bumi dan tidak ada yang lebih kecil day! itu atau yang lebih besar melainkan semuanya tertulis di dalam kitab yang terang nyata. "

(Surah Saba'ayat 3)

"Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat"

(Surah al-Ikhlas ayat 2)

iv. Kemunculan Semula Imam Mahdi Dan Kumpulan Orang Yang Telah Mati Untuk Memberi Keadilan (ar-Raj'ah)

Mengikut akidah Syiah bahawa golongan Syiah dikehendaki mempercayai bahawa Allah S.W.T. akan menghidupkan semula orang-orang yang telah mati ke dunia ini bersama-sama Imam Mahdi untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan kezaliman. Mereka terinasuk para sahabat Rasulullah seperti Saidina Abu Bakar, Omar, Uthman, Aisyah, Hafsah, Muawiyah dan lain-lain. Fakta ini dijelaskan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh al-Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 83.

Terjemahannya;

Akidah Kami Tentang Raj'ah

"Sesungguhnya pendapat Syiah Imamiah tentang Rajlah itu ialah kerana mengambil daripada Ahli Bait a.s., di manaallah S. W. E akan mengembalikan sesuatu kaum yang telah mati ke dunia ini di dalam bentukyang asa4 Ialu sebahagian daripada golongan memuliakan satu puak dan menghina satu puak yang lain dan ia menunjukkan mana golongan yang benar dan mana golongan yang salah dan menunjukkan golongan yang melakukan kezaliman. Peristiwa ini berlaku ketika bangunnya Mahdi keluarga Nabi Muhammad s.aw. dan tidak kembali ke dunia ini kecuali orang yang tinggi darjat imannya ataupun orang yang paling jahat.

Kemudian mereka akan mati semula. Begitulah juga dengan orang-orang yang selepasnya sehinggalah dibangkitktin semula dan mereka akan menerima pahala atau siksaan. Sebagaimana Allah S.W.T menceritakan dalam al-Quran al-Karim, di mana orang-orang yang akan dikembalikan di dunia ini bercita-cita untuk kembali ke dunia, sedangkan mereka itu tidak boleh kembali lagi ke dunia ini. Mereka akan mendapat kemurkaan Allah bahawa mereka akan kembali ke dunia ini kali ketiga dengan harapan mereka dapat berbuat kebaikan."

Firman Allah yang bermaksud..

" Mereka berkata, wahai tuhan kami engkau telah mematikan kami dua kali dan menghidupkan kami dua kali, lalu kami mengakui dosa-dosa kami, maka adakah jalan keluar (daripada neraka?)"

(Surah al-Mukmin ayat 11)

ULASAN
Konsep raj'ah Syiah ialah mereka mempercayai Allah akan menghidupkan semula Ahli Bait dan Imam-imam mereka untuk menghukum para sahabat Rasulullah s.a.w. yang dianggap telah melakukan kezaliman.

Kemudian mereka mempercayai orang-orang yang telah dihukum ini akan mati semula dan akan menerima pembalasan daripada Allah S.W.T. Ini berdasarkan firman Allah surah al-Mu'min ayat 11 yang bermaksud:
"Mereka menjawab; Wahai Tuhan kami Engkau telah menjadikan kami berkeadaan mati dua kali dan telah menjadikan kami bersifat hidup dua kali, maka kami (sekarang) mengakui akan dosa-dosa kami. Oleh itu adakah sebarang jalan untuk (kami) keluar (dari neraka)?"

Sebenarnya ayat ini menjelaskan dialog di antara orang-orang kafir dengan Allah S.W.T. di akhirat di mana mereka ingin mencari jalan keluar daripada seksaan api neraka dengan memohon kepada Allah supaya diberi peluang hidup semula ke dunia, mereka mengaku dan insaf terhadap dosa-dosa yang telah mereka lakukan dahulu. Pengertian ini diperkukuhkan melalui firman Allah yang bermaksud:

"Bagaimana kamu tergamak kufur (mengingkari) Allah padahal kamu dahulunya mati (belum lahir) kemudian Ia menghidupkan kamu, setelah itu Ia memati;L-an kamu, kemudian Ia menghidupkan kamu pula (pada hari akhirat kelak), akhirnya kamu dikembalikan kepada-Nya (untuk diberi balasan bagi segala yang kamu kerjakan)"

(Surah al-Baqarah ayat 28)

Kebangkitan dan hukuman di padang Mahsyar adalah hukuman Allah yang akan dikenakan kepada semua orang, bukan hukuman para Imam, ini telah dijelaskan oleh surah-surah berikut:

"Dan (ingatlah) hari Kami bongkar dan terbangkan gunung ganang dan engkau akan melihat (seluruh) muka bumi terdedah nyata, dan Kami himpunkan mereka (dipadang Mahsyar) sehingga Kami tidak akan tinggalkan seorangpun dari mereka."

(Surah al-Kahfi ayat 47)

Katakanlah (kepada mereka): "Sesungguhnya orang-orang yang telah lalu dan orang-orang yang terkemudian tetap akan dihimpunkan pada masa yang ditentukan pada hari kiamat yang termaklum ."

( Surah al- Waqiah ayat 49)

Di sini dapat dibuat kesimpulan bahawa dalam ayat tersebut tidak ada konsep raj'ah iaitu menuntut bela dan menghukum orang-orang yang melakukan kezaliman ke atas Ahli Bait. Fahaman ini jelas menunjukkan golongan Syiah salah memahami ayat al-Quran tersebut dan salah memahami terhadap ayat-ayat al-Quran boleh membawa kepada penyelewengan akidah.

Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah (2)

3. PENYELEWENGAN FAHAMAN SYIAH
Ajaran dan fahaman Syiah adalah bercanggah dan menyeleweng dari ajaran Islam dan menjadi ancaman kepada perpaduan ummah, keutuhan agama, perpaduan bangsa dan keamanan negara khususnya di Malaysia.
Fahaman dan ajaran ini perlu disekat keseluruhannya dari berkembang di Malaysia berdasarkan beberapa percanggahan yang terdapat di dalam fahaman tersebut sama ada dari sudut akidah, syariah dan pelbagai penyelewengan umum yang lain.

3.2.1 PENYELEWENGAN DARI SUDUT AKIDAH.
i. Khalifah Diwasiatkan Secara Nas
Syiah mempercayai imam-imam telah ditentukan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya secara nas. Ini dinyatakan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh ulama Syiah iaitu Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 78:


Terjemahannya:
Akidah Kami Tentang Imam Itu
Telah Sabit Secara Nas.
Kami (Syiah) beriktikad bahawa imam-imam seperti nabi tidak berlaku melainkan dengan nas daripada Allah S. W. T atau lisan Rasul atau lisan imam yang dilantik secara nas apabila ia hendak menentukan imam selepasnya. Hukum Imamah sama seperti nabi, tidak ada perbezaan. Orang ramai tidak boleh membuat hukum lain terhadap orang yang telah ditentukan oleh Allah, sebagaimana mereka tidak mempunyai hak penentuan, pencalonan dan pemilihan kerana orang yang telah dilantik, telah mempunyai persediaan yang cukup untuk menanggung bebanan Imam dan memimpin masyarakat yang sudah pasti tidak boleh diketahui, kecuali dengan ketentuan Allah dan tidak boleh ditentukan, melainkan dengan ketentuan Allah. Kami mempercayai bahawa Nabi s.a.w. pernah menentukan khalifahnya dan imam di muka bumi ini selepasnya. Lalu baginda menentukan sepupunya Ali bin Abu Talib sebagai Amirul Mukmin pemegang amanah terhadap wahyu dan imam kepada semua makhluk di beberapa tempat. Baginda telah melantiknya dan mengambil baiah kepadanya untuk memerintah orang-orang Islam pada hari Ghadir, Ialu baginda bersabda: " Ketahuilah bahawa sesiapa yang aku telah menjadikannya ketua maka Alilah yang menjadi ketuanya. Wahai Tuhan, lantiklah orang yang menjadikan Ali sebagai pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya dan hinalah orang yang menghinanya. Berilah kebenaran kepada Ali di mana ia berada".

Syiah mempercayai wasi Rasulullah s.a.w. ialah Saidina Ali. Kemudian Saidina Ali mewasiatkannya pula kepada anaknya Hasan dan Hasan mewasiatkannya pula kepada Hussain sehinggalah kepada Imam Dua Belas AI-Mahdi AI-Muntazar. la merupakan sunnah Allah kepada semua Nabi-nabi bermula daripada Nabi Adam sehinggalah kepada Nabi yang terakhir. Perkara ini disebutkan dalam Kitab Aslu Al-Syiah Wa Usuluha oleh Muhammad bin Husain Ali Kasyif al-Ghita', hal. 136:

Terjemahannya:
Maka kita hendaklah kembali kepada menyempurnakan hadith yang dipegang oleh Syiah Imamiah. Maka kami berkata, sesungguhnya Syiah Imamiah mempercayai bahawa Allah S. W. T tidak mengosongkan dunia daripada hamba yang dapat berhujah daripada kalangan nabi atau orang yang memegang wasiat yang nyata masyhur atau yang hilang tersembunyi. Nabi s.a.w. telah menentukan dan mewasiatkan kepada anak Saidina Ali iaitu Hasan dan Saidina Hasan mewasiatkannya pula kepada saudaranya Husain dan demikianlah kepada Imam Dua Belas iaitu Mahdi al-Muntazar. Ini merupakan sunnah Allah kepada semua nabi-nabi daripada Adam sehinggalah nabi yang terakhir.
ULASAN
Tidak terdapat nas dari al-Quran atau Hadith-hadith sahih yang j elas maksudnya bahawa Saidina Ali itu ditentukan sebagai khalifah selepas wafat Rasulullah s.a.w.
Oleh kerana itu, para sahabat telah bersetuju melantik Saidina Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama sebaik sahaja wafat Rasulullah s.a.w. dan Saidina Ali pun sendiri telah bermubaya'ah dengan Saidina Abu Bakar.

ii. Imam adalah maksum
Syiah meyakini bahawa Imam-imam adalah maksum iaitu terpelihara daripada dosa kecil dan besar dari peringkat kanak-kanak sehinggalah meninggal dunia. Kedudukan mereka sama seperti Nabi-nabi. Pada iktikad mereka, Imam-imam tidak melakukan kesalahan dan tidak lupa. Imam adalah pemelihara syariat dan melaksanakan hukum-hukum. Perkara ini dijelaskan oleh Syeikh Mufid, salah seorang tokoh besar Syiah di dalam kitab Awail al-Maqalat yang dipetik oleh Muhamad Jawad Mughniah di dalam kitab al-Syiah Fi al-Mizan hal. 38.
Terjemahannya:
Ismah ialah suatu kekuatan yang menghalang tuannya daripada melakukan maksiat dan kesalahan, di mana ia tidak boleh meninggalkan yang wajib dan tidak boleh melakukan yang haram sekalipun ia mampu untuk berbuat demikian, jika tidak bersifat demikian nescaya ia tidak berhak mendapatpujian dan balasan. Dengan lain perkataan, yang dimaksudkan dengan maksum itu ialah mencapai had ketaqwaan yang tidak boleh dicapai oleh syahwat dan nafsu dan telah mencapai ilmu syariat dan hukum-hukumn a dan sampai ke martabat yang tidak mela'Kukan kesalahan sama sekali. Syiah Imamiah mensyaratkan dengan makna tersebut kepada imam-imam secara seinpurna sebagaimana disyaratkan kepada wali. Syeikh Mufid berkata di dalam kitab Awail al-Maqalat babperbincangan mengenai Imam-imam itu maksum. Imam-imam yang memiliki sifat-sifat maksum itu adalah sama dengan makam nabi dalam melaksanakan hukum-hukum dan menegakkan hudud dan memelihara syariat dan mendidik masyarakat. Mereka itu maksum sepertimana nabi yang bersifat maksum yang tidak harus melakukan dosa besar dan kecil dan tidak harus bagi mereka bersifat lupa terhadap sesuatu berhubung dengan agama bahkan mereka tidak lupa sesuatu tentang hukum. Sifat ini wujud kepada keseluruhan mazhab Syiah Imamiah, kecuali sedikit sahaja yang bersifat ganjil daripada mereka.
Hal ini juga dinyatakan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 72:

Terjemahannya:
Akidah Kami Tentang Imam itu Maksum
Kami mempercayai bahawa imam-imam itu sepetti nabi-nabi, ia wajib maksum dan terpelihara daripada sifat-sifat yang buruk dan keji yang nyata dan yang tersembunyi, semenjak daripada kecil sehinggalah mati, sengaja atau lupa sebagaimana merekajuga terpelihara daripada sifat lupa, tersalah dan lain-lain. Kerana imam-imam itu merupakan pemelihara syariat dan orang-orang yang menegakkan hukum syariat. Keadaan mereka seperti nabi. Bukti yang mendorong kami berpegang bahawa Imam itu maksum ialah dalil yang mengatakan nabi-nabi itu maksum. Tidak ada perbezaan (di antara nabi dan imam).

ULASAN
Jelas terdapat dalam al-Quran dan Hadith-hadith sohih menyatakan bahawa yang maksum hanyalah para rasul dan anbia' sahaja. Oleh itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memerlukan kepada dalil-dalil yang qat'ie. Ini dijelaskan oleh ayat-ayat al-Quran seperti berikut yang bermaksud:
"Dan ia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan ugama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakan itu (sama ada al-Quran dan Hadith) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. "

(An-Najm ayat 3 - 4)

"Demi sesungguhnya adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredaan) Allah dan (balasan baik) hati akhirat, serta ia pula menyebut dan mengingati Allah banyak-banyak (dalam masa susah dan senang)"

(AI-Ahzaab ayat 21)

"la memasamkan muka dan berpaling, kerana ia di datangi orang buta. Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui (tujuannya, wahai Muhammad). Barangkali ia mahu membersihkan hatinya (dengan pelajaran Ugama yang didapatinya daripadamu). Ataupun ia mahu mendapat peringatan, supaya peringatan itu memberi manfa'at kepadanya."

(Surah Abasa ayat 1-4)

Friday, September 08, 2006

Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah

1. Tujuan

1. 1. Buku ini bertujuan untuk memberi maklumat dan penjelasan kepada orang ramai mengenai fahaman Syiah supaya orang Islam dan masyarakat menjauhi dan tidak terpengaruh dengan fahaman ini dan menyedarkan mereka yang terbabit bahawa pegangan fahaman mereka adalah bercanggah dengan ajaran Islam sebenar.


1.2. Kajian penjelasan secara sederhana ini dibuat untuk membantu masyarakat awam mudah memahaminya.

2. Latar Belakang

2.1. Syiah di Malaysia merupakan satu kelompok pecahan dari umat Islam yang merangkumi lebih kurang 10% dari seluruh umat Islam di dunia1. Golongan Syiah ini berpecah kepada beberapa kumpulan. Tetapi di dalam buku penjelasan ini hanya disebut tiga (3) kumpulan yang terbesar iaitu:

i. Syiah Imam Dua Belas (ja'fariyah)
Kumpulan ini merupakan golongan Syiah yang terbesar di Iran dan merangkumi hampir 60% daripada penduduk Iraq. Golongan ini juga menjadi kumpulan minoriti di beberapa buah negara seperti Pakistan, Afghanistan, Lebanon dan Syria.

ii. Syiah Zaidiyah
Kumpulan yang dikenali dengan nama Syiah Imam Lima ini berkembang di Yaman dan hampir 40% daripada penduduk negara tersebut adalah pengikut Syiah Zaidiyah*.

iii. Syiah Ismailiyah
Kumpulan ini mempunyai Imam Tujuh dan pengikutnya dianggarkan seramai 2 juta orang. Kumpulan ini sekarang berpusat di India dan bertaburan di sekitar Asia Tengah, Iran, Syria dan Timur Afrika1.

Di Malaysia terdapat tiga (3) kumpulan Syiah yang berkembang semenjak beberapa tahun yang Ialu iaitu:

i. Syiah Taiyibi Bohra (Dawood Bohra)
Kumpulan ini berasal dari India dan di Malaysia ia dikenali dengan golongan yang memiliki Kedai Bombay. Kumpulan yang berpusat di daerah Kelang ini mempunyai tanah perkuburan dan masjidnya sendiri dan pengikutnya dianggarkan seramai 200 hingga 400 orang (tahun 1996).
(1 Fakta ini dipetik dari buku "The Concise Encylopedia of Islam" oleh Cyril Glasse th.1989 hal. 364-365. Mengikut statistik Bahagian Penyelidikan Jabatan Perdana Menteri, Syiah di negeri Iraq ialah 49%.)

ii. Syiah Ismailiah Agha Khan.
Kumpulan yang dikenali dengan nama Kedai Peerbhai ini bergerak di sekitar Lembah Kelang. Jumlah pengikut tidak diketahui tetapi bilangannya lebih kecil dari kelompok Bohra.

iii. Syiah Ja'fariyah @ Imamiah Ithna Assyariyyah (Imam Dua Belas)
a) Kumpulan Syiah ini dipercayai mula bertapak di Malaysia selepas kejayaan Revolusi Iran pada tahun 1979. Pengaruh ajaran dan fahaman kumpulan ini menular ke negara ini melalui bahan-bahan bacaan dan orang perseorangan sama ada yang berkunjung ke Iran atau yang datang dari Iran.

b) Fahaman Syiah ini bertambah meruncing apabila beberapa orang pensyarah universiti tempatan telah memainkan peranan untuk menyebarkan fahaman Syiah Ja'fariyah secara serius kepada para pelajar di Institut Pengajian Tinggi.

c) Beberapa buah kitab utama Syiah telah dijadikan bahan rujukan dan sebahagiannya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Malaysia, antaranya:

i) Kasyf al-Asrar
Oleh: Ayatullah al-Khomeini

ii) AI-Hukumah al-Islamiah
Oleh: Ayatullah al-Khomeini

iii) Al-Sabah Min al-Salaf
Oleh: Ayatullah al Murtadza az- Zubaidi

iv) AI- Usul Min al-Kaft
Oleh: al-Sheikh Muhammad bin Yaacob al-Kulaini (thn. 1338H)

v) Tahrir al- Wasilah
Oleh: Ayatullah al-Khomeini

vi) Al-Murajaat
Oleh: al-Sheikh Abdul Husin Syarafuddin al-Musawi

vii) Peshawar Nights
Oleh: al-Sayyid Muhammad Rais al-Wahidin

viii) Mafatih al-jittan
Oleh: Sheikh Abbas al-Qummi

ix) Minhaj Kebenaran dan Pendedahannya (Fiqh Lima Mazhab di antara Nas dan ljtihad)
Oleh: al-Hasan bin Yusuf al- Mutahhar al-Hulliyy, diterjemahkan oleh Prof. Madya Dr. Lutpi Ibrahim (thn. 1993)

x) Mengapa Aku Memilih Ahlul Bait a.s?
Oleh: Syeikh Muhammad Mar'i al-Amin al-Antaki - diterjemah oleh Prof. Madya Dr. Lutpi Ibrahim (thn. 1993)

xi) Al-Sahabah
Oleh: Haidar

xii) Ahlu al-Bait
Oleh: Dr. Mahfuz Mohamed


Pengaruh fahaman Syiah ini kian menular ke negeri-negeri di Semenanjung Malaysia, antaranya Kelantan, Johor, Perak, Wilayah Persekutuan dan Selangor. Di Malaysia, pengikut kumpulan ini dianggarkan antara 300 hingga 500 orang.

Antara gejala-gejala Syiah yang timbul akibat dari fahaman dan ajaran Syiah ini ialah:

i. Adanya usaha menghantar pelajar-pelajar melanjutkan pelajaran ke Iran.

ii. Wujudnya kes kahwin Mut'ah

iii. Meluasnya penyebaran buku-buku Syiah

iv. Wujudnya sokongan dari golongan tertentu kepada pengaruh Syiah terutama golongan ahli politik.

v. Wujudnya kesamaran dan keraguan orang ramai terhadap ajaran dan pegangan Islam yang sebenar, contohnya dalam aspek perkahwinan, pengkebumian dan sebagainya.




Wednesday, August 09, 2006

Tariqat Naqsyabandiah

Tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah Syeikh Nazim Al-Haqqan

( Ajaran Tariqat Sesat dan telah diharamkan oleh JAKIM)

Keputusan Fatwa Muzakarah Jawatankuasa Majlis Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam

a)Tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah di bawah pimpinan Syeikh Nazim bertentangan dengan fahaman akidah Ahli Sunnah Wal-Jamaah dan menyeleweng dari ajaran Islam. Pengamal ajaran ini hendaklah segera bertaubat.

b) Semua negeri dikehendaki memfatwa dan mewartakan bahawa tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah di bawah pimpinan Syeikh Nazim diharamkan dan tidak boleh diamalkan oleh umat Islam kerana ia bercanggah dengan ajaran Islam yang sebenar

Oleh : Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-48

Tarikh Keputusan : 3 April 2000

Tarikh Muzakarah : 3 April 2000 hingga 3 April 2000

Ciri-ciri Kesesatan Tariqat Naqsyabandiah Al-aliyyah Syeikh Nazim Al-Haqqani :-



1)- Kekuatan wali.

Petikan dari laman web tariqat Naqsyabandiah

“Terdapat 40 awliya Allah yang tersembunyi di antara Mudzalifah dan Mina. Mereka membantu kepada sesiapa yang dalam kesusahan. 313 berada di Madinah. Di Mekah terletak kerusi kerohanian Yang di Pertuanya (gabenor) di sebelah Hajaratul Aswad. Beliau berada di situ untuk menyaksi siapa yang mencium batu tersebut.

Yang di Pertua gabenor Mekah itu mengarah wali-wali Allah yang lain membuat apa yang dikehendaki oleh beliau. 124,000 awliya Allah menunaikan haji setiap tahun. Tanpa kehadiran mereka, haji manusia lain tidak lengkap. Imam Mahdi (as) juga harus hadir setiap tahun menunaikan haji. Dan di Jabarul Rahmah di Arafah merupakan tempat Imam Mahdi akan muncul pada masa yang akan datang.

Sahabat kita Hanim, ialah seorang yang suka merendahkan diri dan juga pemurah. Hanim tidak peduli tentang kekayaan, tentang berapa kekayaan yang beliau ada. Beliau sentiasa memberi tanpa mengira. Beliau telah banyak berkorban untuk Allah, Rasul (saw) dan awliya Allah. Sifat beliau adalah jarang didapati pada masa kini. Semasa pengkebumian beliau, terlalu ramai para wali Allah dan malaikat berada menghadiri upacara itu. Sekarang ini beliau berada di satu tempat di mana Allah sentiasa melihatnya.

Tidak seorang pun akan memahami apa yang Allah telah kurniakan kepada Hjh. Hanim. Ramai akan menyesal asal kesalahan mereka terhadap beliau – samada melalui prasangka atau perbuatan. Ramai akan memerlukan pertolongan beliau di akhirat kelak. Hanim telah pergi sebagai seorang shaheeda.

Wa minallahi taufiq. Bi huramati habib bi hurmati surah Fatihah”



2- Kuasa Mutlak Khalifah

"Khalifah mentadbir wilayah-wilayahnya. Dia mempunyai kuasa untuk melakukan apa yang dimahu. Apa yang dia lakukan dipersetujui oleh masyaikh rantaian keemasan...Kemulian xxxxxxxx ialah dia adalah seorang khalifah dan semua orang harus menerima apa yang dia telah tentukan..."

Sheikh Muhammad Sheikh Nazim

3)-Khutbah sesat menyentuh konsep waktu, suluk, hakikat dsb

Audhubillah-hi-minash-syaitan-nir-rajeem Bismillah-hir-rahman-nir-rahim Nawaitul arbaa, naiwatul iqtiqaf, naiwataul uzlah, naiwatul ri’adah, lillahita’ala hilaluyul azim Ati’ullah, wa ati’u rasul, wa ulul amri minkum

Allah perintah kita ta’at kepada Dia dan Rasulnya (saw) dan sesiapa yang ta’at kepada Rasul (saw), dia ta’at kepada Allah. Setiap keadaan/saat adalah keadaan/saat yang baru dan setiap sessi adalah sessi yang baru. Keadaan/saat hanyalah sekadar keadaan/saat, tetapi apabila keadaan/saat dikumpul mereka menjadi waktu. Mereka mengeluarkan waktu yang telah berlalu. Oleh yang demikian, waktu adalah (mengikut kefahaman kita) sesuatu yang mempunyai waktu yang lepas, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.

Terdapat tiga dimensi di dalam waktu (begitu juga universe ini) – waktu lampau, waktu sekarang dan waktu akan datang. Apabila kita mati, waktu berakhir. Tetapi bagi Allah, tidak ada zone waktu. Waktu sebenrnaya di hasilkan oleh pergerakan bumi sekeliling matahari. Disebakan oleh pergerakan atau orbit ini, maka terdapatlah siang dan malam – semuanya untuk membolehkan kita mengetahui waktu, yang pada haqiqatnya memberi petanda kepada kita bahawa ajal akan datang.

Apabila Sheikh Abdullah Daghestani (qs) diperintah untuk bersuluk, masa atau waktu bagi dia tidak ada makna. Di dalam suluk, seseorang itu mungkin tidak akan kembali ke dunia lagi. Semasa lima tahun bersuluk, beliau hanya hidup dengan tujuh biji zaitun dan sekeping roti sehari sehaja. Apabila awliya Allah memasuki suluk, mereka sedar bahawa waktu berpoya-poya sudah tamat, yang ada hanyalah berkerja keras.

Sheikh Abdullah (qs) berusia 18 tahun abapila beliau mulai suluk. Amalan yang dilakukan semasa bersuluk ialah membaca Quran dan berzikir. Awliya Allah apabila mengerjakan ibadat tersebut sentiasa mahu memanjangkan waktu tersebut (bagi kita manusia awam, kita mahu memanjangkan waktu untuk memenuhi nafsu kita). Bagi dia waktu bukanlah sesuatu yang perlu di hitung. Mereka sentiasa berada di “waktu sekarang.” Oleh yang demikian, kita perlu selalu merenungi dalaman kita dan pasti kita akan menjumpai “rumah” kita.

Di dalam renungan dalaman kita akan menemui haqiqat, iaitu dimensi kerohanian yang tidak ada batasan waktu. Dan di dalam dalaman ini kita akan jumpa “rumah” kita. Di dalam qalb manusia terletaknya “rumah” Allah. Maka carilah haqiqat tersebut di dalam diri kita. Ia terdapat dalam diri kita.

Terdapat 6 jenis haqiqat – haqiqat jazbah, haqiqat tawajuh, dsb), kesemuanya ini terdapat di dalam kita. Tetapi kesemuanya itu hanya boleh diberi kepada mereka yang boleh dipercayai. Mereka ini tidak mudah di nodai oleh perasaan bongkak, megah dan sebaigainya. Mereka dapat bertahan dengan segala bentuk dugaan dan sentiasa memuji Allah di dalam segala bentuk keadaan.

Allah sentiasa memberi kita keadaan/saat yang baik. Jadilah seorang yang sentiasa bersyukur. Selalu pegang kepada keadaan/saat tersebut.

Dunia yang kita tahu ini akan berakhir. Sesetengah kita akan pergi dahulu daripada berakhirnya dunia ini.Oleh yang demikian kenapa kita sering mengejar dunia (yang di cipta)? Kejarlah si Pencipta. Di alam hadrat ilahi waktu tidak ada erti – kita akan dengar bunyi-bunyian seperti ombak di lautan atau gauman harimau. Jadilah seperti ikan di dalam lautan

Ini adalah nasihat untuk malam ini yang datang daripada Maulana Sheikh Nazim (qs). Saya berniat untuk memberi suhbah daripada nota-nota Sh. Abdullah (qs), tetapi mereka telah mengubah cadangan saya.

Jangan dengar kepada diri yang menyuruh cintakan dunia ini. Dengarlah kepada roh yang suruh mencintai akhirat. Carilah benda-benda yang kekal. Makan makanan kerohanian – ianya tidak akan habis, ianya suci dan bersih.

Moga Allah merahmati kita semua malam ini dan kita tujukan segala kebaikan pada malam ini kepada sahabat kita Hanim. Moga Allah mencucuri roh beliau dengan rahmatNya. Roh Hanim bersama kita pada malam ini. Beliau gembira di mana beliau berada sekarang.

Moga kita disambut oleh para awliya Allah apabila kita meninggalkan dunia ini. Moga Allah merahmati Maulana Sh. Abdullah (qs) dan Maulana Sh. Nazim (qs). Allah panjangkan usia Maulana Sh. Nazim (qs). Wa minallahi taufiq. Bihurmati habib bihurmati surah fatihah

4)-Mengagungkan kubur (berdoa kepada kubur, mencium kubur, menghiaskan kubur )





Maqam-maqam mahaguru tareqat Naqshbandi yang terdapat di Bukhara. Dari kiri maqam Sheikh Muhammad Baha'uddin Shah Naqshband, Sheikh Muhammad Baba as-Samasi, Sheikh Amir Kulal dan Arif ar-Riwakri.

5)-Khutbah sesat menggunakan hadis yang direka tentang cerita seorang ‘wali’ Allah (yang melakukan suluk hanya di bulan Rejab dan bermaksiat di bulan-bulan lain) . Di sini nabi s.a.w., malaikat Jibril dan Sayyidina Abu Bakar dihina, perlakuan maksiat digalakkan dan kuasa suatu doa yang boleh menjadikan seseorang sebagai wali!!! ( dipetik dari laman web tariqat Naqsyabandiah)

“ Satu ketika di zaman Nabi S.A.W, terdapat seorang perompak jalanan yang terkenal. Setiap selepas tengah malam, dia akan menangkap dan merompak sesiapa sahaja yang ditemuinya berjalan berseorangan. Kadang-kala, dia akan memukul dan membunuh orang yang dirompaknya. Selepas merompak, dia terus pulang ke rumah. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap lelaki tersebut. Disebabkan kekejamannya, Nabi S.A.W telah berkata dengan perasaan marah tentang lelaki tersebut: “orang tu jahat, jika dia meninggal, aku tidak akan menyembahyangkan dan mengkebumikannya di tanah perkuburan orang Muslim”.

Selepas beberapa tahun, lelaki tersebut meningggal dunia. Dia mempunyai seorang anak perempuan. Malangnya, anak perempuannya tidak menemui seorang pun yang boleh membantunya menguruskan jenazah ayahnya. Disebabkan Nabi S.A.W pernah mencela perbuatan ayahnya- tidak akan menyembahyangkan dan mengkebumikannya di tanah perkuburan orang Muslim, budak-budak nakal telah membawa jenazah tersebut melalui jalan Madina dan membuangnya ke dalam sebuah perigi kosong serta kering.

Sebaik sahaja jenazah itu dibuang, Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad S.A.W dan berkata, “Ya Habibi ya Muhammad! Wahai kekasih Ku Nabi S.A.W, hari ini seorang daripada wali Ku telah meninggal dunia. Kamu mesti pergi dan memandikannya, mengkafankannya, menyembahyangkkanya serta mengkebumikannya.”

Nabi S.A.W terkejut, sepanjang hidupnya dia telah mencela lelaki tersebut. Sekarang apabila lelaki tersebut meninggal dunia, Allah memberitahu baginda bahawa lelaki tersebut sebenarnya adalah wali-Nya. Bagaimana dia boleh menjadi wali? Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat mencampuri urusan pengetahuan Allah, walaupun Nabi S.A.W. Jika Allah mahu menjadi seorang perompak sebagai wali-Nya, tidak boleh sama sekali kita bertanya “KENAPA?” Kita mesti menerimanya.

Oleh sebab itu, mengikut ajaran Sufi dan ajaran di dalam tarekat Naqshbandi, kita mesti melihat orang disekeliling kita adalah lebih baik daripada kita. Kita tidak tahu jika Allah akan menaikkan makam seseorang kepada makam yang lebih tinggi daripada makam kita; Siapa tahu? Tidak akan ada seorang pun yang akan tahu, oleh yang demikian janganlah kita mencampuri urusan-Nya.

Jangan memandang rendah kepada orang jika kita merasakan kita lebih baik daripada mereka. Kita tidak tahu sama ada orang tersebut, pada pandangan Allah adalah wali ataupun tidak. Siapa yang tahu? Oleh yang demikian, kita perlu memandang tinggi kepada orang lain, menghormati mereka dan sentiasa merendahkan diri sendiri. Jangan sama sekali menunjukkan ego dan sentiasa berpuas hati.

Allah berkata kepada Nabi S.A.W, “Ya Rasulullah, pergi dapatkan dia dan bersihkan dia.” Dengan serta merta, Nabi S.A.W memanggil Saidina Abu Bakar as-Siddiq dan berkata, “Wahai Abu Bakar, kita perlu pergi dan dapatkan ‘lelaki’ tersebut. Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, kamu pernah berkata yang kamu tidak akan mengkebumikan lelaki tersebut di tanah perkuburan orang Islam, dia bukan seorang muslim!” Nabi S.A.W berkata, “Tidak, tinggalkan persoalan Muslim. Allah memberitahuku hari ini yang lelaki tersebut adalah seorang wali!”

Apa yang telah dilakukan oleh perompak tersebut sepanjang hidupnya sehingga dia boleh menjadi seorang wali? Sepanjang hidupnya, dia telah membunuh, merompak dan mencuri. Nabi S.A.W pergi ke perigi tersebut, mengambil mayat lelaki tersebut dengan tangan baginda sendiri, dan membawanya pulang ke rumahnya dengan sahabat-sahabatnya.

Kemudian, baginda membersihkannya, memandikannya, mengkafankannya, menyembahyangkannya dan seterusnya membawa jenazah lelaki tersebut daripada masjid Nabi S.A.W. ke Jannat ul-Baqi. Jarak perjalanan dari masjid ke Jannat ul-Baqi ialah 15 minit jika berjalan kaki. Namun begitu, Nabi S.A.W mengambil masa lebih daripada dua jam untuk sampai dari tempat yang pertama ke tempat yang kedua. Semua sahabat-sahabat baginda berasa hairan apabila melihat cara rasulullah S.A.W. berjalan.

Dengan tangan baginda sendiri baginda telah membersihkan lelaki tersebut, memandikannya dan menyembahyangkannya. Semasa baginda membawa jenazah tersebut ke tanah perkuburan, baginda berjalan menggunakan jari kakinya (secara mengjinjat). Lantas sahabat-sahabat baginda bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapakah engkau berjalan sedemikian?” Baginda menjawab, “Allah telah memerintahkan semua wali daripada timur dan barat, dan semua malaikat daripada tujuh syurga dan semua kerohanian hadir dan mengiringi jenazah ini. Mereka semua terlalu ramai dan memenuhi jalan, dan aku tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kakiku. Sepanjang hidup aku, tidak pernah aku terkejut seperti hari ini.”

Selepas mengkebumikan lelaki tersebut, Nabi S.A.W tidak bercakap dengan sesiapapun sebaliknya baginda terus pulang ke rumah dengan badan yang terketar-ketar. Baginda duduk dengan Saidina Abu Bakar dan bertanya kepada diri baginda tentang apa yang telah dilakukan oleh wali tersebut; menjadi perompak sepanjang hidupnya tetapi mendapat pengiktirafan yang cukup tinggi dari Allah.

Saidina Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, aku berasa malu untuk bertanyakan tentang apa yang telah aku saksikan hari ini, ia sesuatu yang menghairankan.” Kemudian, Nabi S.A.W. menjawab,” Wahai Abu Bakar, aku lebih terkejut dari kamu, dan aku sedang menunggu kehadiran Jibril (s) dan memberitahuku apa yang telah berlaku”

Apabila Jibril (s) datang, Nabi S.A.W berkata,” Wahai Jibril, apakah yang sebenarnya berlaku?” Jibril (s) menjawab,” Wahai Nabi S.A.W., janganlah engkau bertanya aku. Aku juga hairan sepertimu. Oleh sebab itu, jangan berasa hairan kerana Allah boleh lakukan apa sahaja yang orang lain tidak dapat lakukan dan Dia memberitahu kamu untuk bertanyakan anak lelaki tersebut tentang apa yang telah dilakukannya semasa hayatnya.”

Dengan serta-merta dan ditemani oleh Saidina Abu Bakar, Nabi S.A.W. dengan sendirinya pergi ke rumah perompak tersebut. Nabi S.A.W. dengan rendah diri meletakkan kuasa dan statusnya sebagai manusia paling sempurna yang dicintai Allah pergi ke rumah perompak tersebut untuk bertanyakan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya semasa hanyatnya: “Wahai anakku, sila ceritakan kepadaku bagaimanakah kehidupan ayahmu.” Anak perempuan lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, aku begitu malu dengan apa yang akan aku ceritakan kepada kamu. Ayahku seorang pembunuh, seorang pembunuh.

Aku tidak pernah melihat dia melakukan sebarang kebaikan. Dia akan merompak dan mencuri siang dan malam kecuali satu bulan. Apabila bulan tersebut tiba, dia akan berkata: “Bulan ini adalah bulan tuhanku, kerana ayahku pernah mendengar engkau berkata, Rejab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulan Nabi S.A.W. dan Ramadan adalah bulan umat Muhammad.” Kemudian ayahku berkata lagi, “aku tidak kisah dengan bulan Nabi S.A.W. atau bulan umat Muhammad, kecuali bulan tuhanku. Oleh sebab itu aku akan duduk di dalam bilikku bersendiriaan, dan bersuluk sepanjang bulan ini.

Nabi S.A.W bertanya kepada anak perempuan itu lagi, “Apakah jenis suluk yang dia telah lakukan?” Dia menjawab,” Wahai Rasulullah, satu hari ketika ayahku sedang berjalan untuk mencari seseorang yang boleh dirompaknya, dia bertemu dengan seorang lelaki tua yang berumur 70-80 tahun. Lantas ayahku memukulnya sehingga pengsan, dan kemudiannya merompaknya.

Dia menemui sehelai kertas kecil yang tergulung pada orang tua tersebut. Kemudian, dia membukanya dan mendapati di dalamnya ada satu doa. Ayahku amat gembira dengan doa tersebut. Setiap tahun, apabila datang bulan Rejab-bulan Allah , ayahku akan duduk bersendirian dan membaca doa tersebut siang dan malam, menangis dan membaca, kecuali keluar untuk makan dan membersihkan diri. Apabila bulan Rejab berakhir, dia akan bangun dan berkata, bulan Allah telah tamat, sekarang untuk menggembirakan ku aku akan kembali merompak dan mencuri untuk 11 bulan yang akan datang.

Doa (
Doa awliya’ Abbas) yang digunakan oleh lelaki tersebut adalah sangat penting dan kita dinasihatkan untuk membacanya 3 kali sehari ketika bulan Rejab. Maulana Sh. Nazim berkata doa ini mencuci semua dosa dan menjadikan kamu putih seperti bayi yang baru dilahirkan. Doa ini amat terkenal di dalam ajaran sufi. Apabila Nabi S.A.W meminta anak perempuan lelaki tersebut memberikan doa tersebut kepadanya, baginda terus mencium kertas doa tersebut dan menyapunya pada badan baginda. Jangan tinggalkan doa dan amalkannya ketika bulan ini datang, teruskan membacanya, dan Allah akan memberi kepada kita, Insyallah. Bergantung kepada niat masing-masing.

Allah telah berkata kepada Nabi S.A.W., “Wahai Nabi yang Kucintai, orang itu telah datang dan memohon keampunan dari Ku di dalam bulan yang sangat berharga. Oleh sebab itu, kerana dia berkorban sekurang-kurangnya satu bulan dalam setahun untuk Ku, Aku ampunkan semua kesalahannya, dan aku tukarkan semua dosanya kepada ganjaran. Kerana dia mempunyai terlalu banyak dosa, sekarang dia mempunyai banyak ganjaran, dan dia kini menjadi wali besar.” Kerana satu doa, Allah jadikan seseorang yang tidak pernah beribadat sepanjang hidupnya menjadi wali.”

Aqidah Falsafah

Ibnu Arabi telah mengukuhkan aqidahnya yang batil ini dengan dalil-dalil dan hujah-hujah yang ternyata mudah dipatahkan. Tetapi beliau dan kuncu-kuncunya sering mengelirukan orang ramai dengan mendakwa percakapan mereka tidak dapat difahami kecuali oleh sesiapa yang mempunyai perasaan dan citarasa yang sama serta mengenal makrifat mereka.

Sedangkan apa yang diperkatakan oleh Ibnu Arabi dan kuncu-kuncunya itu tidak lebih dari aqidah falsafah yang terdapat di dalam berpuluh-puluh buah buku falsafah. Seperti mana yang diketahui umum, aqidah falsafah itu mengandungi ajaran-ajaran yang boleh mengubah aqidah sebenar kaum muslimin mengenai Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bersifat sempurna di dalam segala-galanya yang tidak diserupai oleh sesiapa dari kalangan makhluk-Nya, bahkan Dialah Allah Yang Maha Esa Lagi Tunggal, yang menjadi tumpuan segala permohonan, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada suatu pun yang setanding dengan–Nya!


Sewaktu menjelaskan aqidahnya yang salah itu, Ibnu Arabi telah menggunakan sepotong hadith maudu’ “من عرف نفسه فقد عرف ربه” (barang siapa telah mengenal dirinya maka sesungguhnya ia telah mengenal tuhannya), dengan berkata: “Nabi a.s. telah bersabda: ”Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal tuhannya! Baginda adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah. Para hukama’ dan Abu Hamid telah mendakwa mengenai tuhan tanpa melihat kepada alam ini adalah salah. Ya, anda telah mengenal zat Qadim yang azali. Anda tidak mengenal ianya tuhan melainkan sehingga dikenali yang dituhankan. Itulah dalilnya. Kemudian selepas ini, di dalam hal yang kedua, anda dikasyafkan bahawa al-Haq sendiri itulah yang menjadi dalil bagi dirinya dan ketuhanannya.

Alam ini hanyalah keserlahannya dalam bentuk-bentuk ain yang tetap yang mustahil berlaku kewujudannya tanpa keserlahannya itu. Keserlahannya berbagai-bagai dan berupa-rupa mengikut hakikat ain-ain tersebut dan keadaannya. Ini selepas kita tahu bahawasanya ia adalah tuhan bagi kita. Kemudian datang pula kasyaf yang lain yang melahirkan kepada anda bentuk-bentuk rupa kita pada-Nya. Maka lahirlah kita sesetengah kita pada pandangan setengah yang lain di dalam al-Haq, dan dengan itu kenallah kita satu sama lain.” (Fususul Hikam, halaman 81-82)

Di sini Ibnu Arabi telah menyangkal Imam al-Ghazali dan sesetengah ahli tasawwuf yang lain yang mengatakan bahawa mengenal al-Haq itu tidak disyaratkan memandang kepada alam buana, bahkan ia datang secara langsung melalui kasyaf tanpa bergantung kepada alam buana yang kelihatan di depan mata sebagai bukti Allah Subhanahu Wa Ta’ala penciptanya. Ibnu Arabi mengatakan cara ini hanya untuk mengenal zat Qadim yang azali sahaja. Untuk mengenal al-Haq, perlulah melalui perbuatan memandang alam buana, agar anda mengetahui apa yang anda saksikan itu ialah al-Haq.

Bentuk-bentuk rupa yang disaksikan di alam buana itulah sebenarnya al-Haq atau Allah, dan itulah buktinya, menurut Ibnu Arabi. Kemudian timbullah kasyaf yang lain di mana manusia itu sendiri merasakan dirinya sebagai satu daripada bentuk-bentuk rupa al-Haq. Pada ketika itu ia mengenal dirinya dan seterusnya mengenal tuhannya. Ia tahu dirinya itulah Allah dan seterusnya mengetahui Allah itu ialah setiap yang wujud!! Demikian kesimpulan Ibnu Arabi.

Selain dari itu Ibnu Arabi juga telah menjadikan kambing kibas yang diturunkan Allah untuk disembelih Nabi Ibrahim a.s. menggantikan anaknya Nabi Ismail a.s. itu sebagai Allah. (Fususul Hikam, halaman 84) Ini berdasarkan kepada aqidah wahdatul wujud yang batil itu. Bahkan ketelanjuran dan kebiadapan Ibnu Arabi begitu menjolok sehingga beliau tidak teragak-agak mendakwa bahawa al-Haq tidak dapat disaksikan dengan sepenuhnya dan tidak diketahui dengan sepenuhnya makrifat kecuali pada diri wanita ketika dalam kelazatan dan syahwat!! (Fususul Hikam, halaman 217-218)

Pendedahan mengenai aqidah Ibnu Arabi yang salah ini dibuat memandangkan kuncu-kuncunya dan penyokong-penyokongnya masih terus terdapat pada masa kini dengan menganggapkan penyeru-penyerunya sebagai wali-wali dan mengkafirkan sesiapa yang menentangnya. Adalah dibimbangkan mereka ini berjaya menyusup masuk di pusat-pusat yang bertanggungjawab dengan dakwah Islamiah di sesetengah negara Islam dan mencemari fikiran orang ramai dengan aqidah yang batil itu tanpa disedari.

Seksaan Neraka Suatu Kenikmatan!

Setiap orang yang beriman tentu takutkan seksaan api neraka dan merasa gerun mendengar mengenainya. Tetapi ternyata ianya tidak mendatangkan sebarang kesan kepada Ibnu Arabi yang bukan sahaja tidak mengendahkannya, sebaliknya menganggapnya suatu kenikmatan yang disediakan oleh Allah kepada mereka setaraf dengan kenikmatan syurga!! Api neraka itu adalah sebagai kulit yang menyembunyikannya, di belakangnya kenikmatan yang berkekalan bagi ahli neraka (Fususul Hikam, halaman 94).

Tetapi Ibnu Arabi juga ada menyebut, “Di antara hamba-hamba Allah ada yang mengalami kepedihan-kepedihan di dalam kehidupan yang lain di tempat yang dinamakan Neraka Jahanam. Namun begitu tiada seorang pun di kalangan ahli ilmu yang mengetahui perkara tersebut dapat mempastikan hamba-hamba Allah itu tidak mengalami kenikmatan yang di khususkan kepada ahli neraka, samada dengan kehilangan kepedihan yang mereka alami yang diangkat dari mereka, dan dengan itu kenikmatan mereka ialah kerehatan dari merasai kepedihan itu, atau kenikmatan itu suatu tambahan yang berasingan seperti nikmat ahli syurga. (Fususul Hikam, halaman 114)

Bagi Ibnu Arabi, api neraka itu adalah sejuk dan selamat bagi penghuni-penghuninya persis seperti api besar yang dinyalakan oleh Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim a.s, tetapi menjadi sejuk dan selamat bagi Nabi Ibrahim a.s. Mengenai hal ini Ibnu Arabi menegaskan: “Adapun ahli-ahli neraka itu, maka nasib mereka adalah kenikmatan tetapi di dalam api neraka.

Kerana tentunya api neraka itu selepas tamat tempoh azab seksanya, ia menjadi sejuk dan selamat bagi sesiapa yang berada di dalamnya. Inilah kenikmatan mereka, iaitu kenikmatan selepas menyempurnakan hak-hak. Ahli neraka itu menghayati kenikmatan yang dirasai Nabi Ibrahim Khalilullah ketika dicampakkan ke dalam api yang sedang marak menyala. Ketika melihatnya, Nabi Ibrahim a.s. merasa terseksa berdasarkan pengetahuannya bahawa api itu suatu rupa bentuk yang menyakitkan bagi sesiapa saja yang mendekatinya dari kalangan yang hidup.” (Fususul Hikam, halaman 161)

Orang Kafir Dikatakan Beriman

Untuk mendedahkan lagi kemungkarannya, Ibnu Arabi mengakui pula kebenaran kaum Nabi Nuh a.s. yang sesat lagi berdosa itu, bahkan beliau menganggapkan semua orang kafir di muka bumi sebagai orang-orang yang beriman dan mentauhidkan Allah, juga sebagai golongan ‘arifin yang berhubungan secara langsung dengan Allah.

Sebaliknya pula beliau mendakwa orang-orang mukmin itu hanya beriman kepada sebahagian kebenaran sahaja dan kufur pada bahagian-bahagian yang lain. Ibnu Arabi juga tidak melupakan Firaun yang dikenali oleh dunia sebelum Ibnu Arabi sebagai manusia paling kafir dan paling zalim, tetapi Ibnu Arabi memasukannya di dalam golongan orang-orang mukmin yang mentauhidkan Allah serta memperolehi syurga. Mengenai hal ini Ibnu Arabi berkata antara lain:

“Oleh kerana Firaun memegang jawatan pemerintah maka dialah pemilik waktu. Dia seorang khalifah dengan kekuatan mata pedang walaupun ia jahat mengikut kebiasaan undang-undang, kerana itu ia berkata: “Aku tuhan kamu yang tertinggi”.


Andainya segala-gala itu merupakan tuhan-tuhan berdasarkan kepada sesuatu, tetapi aku adalah tuhan kamu yang tertinggi dari kalangan mereka, kerana pada lahirnya aku telah memberinya kuasa pemerintahan ke atas kamu, dan apabila ahli-ahli sihir mengetahui kebenarannya di dalam kata-katanya itu dan mereka tidak mengingkarinya bahkan menyetujuinya dengan berkata: “Sesungguhnya engkau memerintah kehidupan dunia ini, maka hukumlah apa yang engkau mahu hukumkan! Kerajaan itu kepunyaan mu”, maka betullah kata-kata itu: “Aku ialah tuhan kamu yang tertinggi”. (Fususul Hikam,halaman 210-211).

Kata-kata Ibnu Arabi ini setara dengan kata-kata al-Hallaj mengenai Firaun seperti mana yang telah disebutkan di dalam siri yang terdahulu. Ini membuktikan bahawa aqidah yang didakwakan oleh golongan bertasawuf itu adalah sama saja. Selain dari itu, seperkara lagi yang harus disedari pembaca ialah tentang keceluparan Ibnu Arabi menyebut bahawa Firaun itu khalifah dengan kekuatan mata pedang. Beliau telah menqiaskan Firaun sebagai “Khalifah” dengan lafaz khalifah di dalam firman Allah kepada Nabi Daud a.s. : “يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ “ (Surah Shad, Ayat 26) Maksudnya lebih kurang: “Wahai Daud! Sesungguhnya kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi.”

Sedangkan Khalifah Nabi Daud a.s. itu ialah khalifah kenabian dari kurniaan Allah, sementara Firaun ialah seorang raja yang terkenal zalim dan jahat di dalam sejarah pemerintahan negeri Mesir! Di samping itu Ibnu Arabi telah melebihkan syariat Nabi Musa a.s. itu sebagai “uruf” iaitu apa yang diketahui oleh Nabi Musa a.s. sahaja, tidak lebih dari itu. Kerana itulah sesetengah golongan bertasawuf menuduh Nabi Musa a.s. bersifat jahil, sebaliknya menganggapkan Firaun sebagai berilmu dan bermakrifat!

Berdasarkan kepada aqidah yang batil itu jugalah Ibnu Arabi membenari sikap as-Samiri dan tindakannya membuat patung anak lembu yang telah mempersonakan Bani Israel sehingga mereka menyembahnya sebagai ganti menyembah Allah! Ibnu Arabi telah menyalahkan Nabi Harun a.s. kerana dikatakan tidak mengenal al-Haq dan mengingkari perbuatan Bani Israel itu. Ibnu Arabi mendakwa bahawa Nabi Musa a.s. telah mengenal al-Haq dan mengancam as-Samiri kerana membataskan tuhan hanya kepada satu benda sahaja, Sedangkan ain sesuatu itu ialah ain tuhan itu sendiri, iaitulah Ain al-Haq! Mengenai ini Ibnu Arabi menegaskan:

“Kemudian Harun telah berkata kepada Nabi Musa a.s. : Sesungguhnya aku takut engkau akan berkata kepada aku : Engkau telah memecahbelahkan Bani Israel (seperti mana firman Allah di dalam surah Thoha, ayat 94 -penulis) dan engkau menjadikan aku sebagai penyebab pecah belah mereka. Sebenarnya penyembahan terhadap patung anak lembu itulah yang telah memecahbelahkan mereka. Di antara mereka ada yang menyembahnya mengikuti perbuatan as-Samiri dan menirunya. Ada yang tidak menyembahnya sehingga Nabi Musa a.s. datang semula kepada mereka dan mereka menanyakannya mengenai perkara itu. Harun a.s takut pecah belah mereka dikatakan berpunca darinya.


Nabi Musa a.s. lebih mengetahui perkara itu daripada Harun, kerana tahu apa yang disembah oleh penyembah-penyembah patung anak lembu itu. Sebab menurut pengetahuannya, Allah telah memerintahkan supaya tidak disembah melainkan Dia… Allah tidak memerintahkan dengan sesuatu melainkan ianya berlaku… kecaman Nabi Musa a.s. ke atas saudaranya Harun itu ialah kerana pengingkaran Harun terhadap perbuatan Bani Israel menyembah patung anak lembu dan kerana kekurangan pengetahuannya. Sesungguhnya orang yang arif itu ialah siapa yang melihat al-Haq pada segala sesuatu, bahkan melihatnya pada ain setiap sesuatu.” (Fususul Hikam, halaman 192).

Di sini jelas kepada para pembaca bahawa Ibnu Arabi mendakwa Nabi Musa a.s. mengetahui penyembah-penyembah patung anak lembu itu sebenarnya menyembah Allah kerana Allah telah berfirman : “وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ” (Surah Al-Isra’, Ayat 23) Maksudnya lebih kurang: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan jangan kamu menyembah melainkan Dia.” Ibnu Arabi telah menjadikan perintah ini sebagai suatu perintah menyembah seluruh alam buana mengikut yang telah ditetapkan, dan bahawa Allah tidak memerintahkan dengan sesuatu melainkan ianya tetap berlaku. Menurut Ibnu Arabi, ini bererti bahawa setiap ma’bud (yang disembah) di muka bumi ialah Allah, dan manusia tidak menyembah sesuatu seperti batu atau sebagainya melainkan ia menyembah Allah dengan berdasarkan kepada lafaz “qada” yang bererti “telah memerintahkan” yang mana ini adalah hukum syarak!

Ibnu Arabi mengakhiri ungkapannya tadi dengan menyebut: “Orang yang arif ialah yang melihat al-Haq pada segala sesuatu bahkan melihatnya pada ain setiap sesuatu.” Inilah kemuncak aqidah tasawuf. Istilah “al-Haq” menurut dakwaan Ibnu Arabi dan konco-konconya ialah Allah sendiri!

Ibnu Arabi telah menghuraikan aqidahnya yang salah itu dengan menyelewengkan maksud firman Allah Ta’ala: “فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ” (Surah Thoha, 95) Maksudnya lebih kurang: “Bagaimana halmu, wahai Samiri?” Menurut Ibnu Arabi erti ayat ini ialah mengapa engkau khususkan anak lembu saja sebagai tuhan, sedangkan aqidah ini menganjurkan bahawa segala-gala itu ialah Allah? Kerana itulah Nabi Musa a.s. membakar patung anak lembu itu agar gambaran tuhan tidak terbatas pada satu benda sahaja! Nabi Musa a.s. telah berkata kepadanya: “وَانظُرْ إِلَى إِلَهِكَ” (Surah Thoha, ayat 97) Maksudnya lebih kurang: “Dan lihatlah kepada tuhanmu!” Nabi Musa a.s. menamakan patung anak lembu itu tuhan untuk menyedarkan as-Samiri dengan tujuan mengajarnya bahawa patung anak lembu itu ialah sebahagian dari gambaran-gambaran nyata Ilahi.” (Fususul Hikam, halaman 192)

Selepas memberikan tafsiran yang salah lagi menyesatkan mengenai cerita Nabi Musa a.s. dengan saudaranya Harun dan as-Samiri dengan patung anak lembu ciptaannya itu, Ibnu Arabi menyentuh pula perbuatan dan amalan kaum musyrikin Quraisy yang menyembah berhala dan patung-patung di Kota Mekah. Orang-orang kafir Quraisy itu telah memberi alasan terhadap perbuatan mereka tersebut seperti mana yang difirmankan oleh Allah: ” مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى” (Surah az-Zumar, Ayat 3) Maksudnya lebih kurang: “Kami tidak menyembahnya melainkan supaya menghampirkan kami kepada Allah dengan sehampir-hampirnya”. Ibnu Arabi mendakwa kaum musyrikin Quraisy itu tidak mengingkari Allah, sebaliknya mengkagumi-Nya.


Kerana mereka berdiri tegak bersama-sama dengan gambaran-gambaran dan rupa-rupa bentuk yang mereka namakan tuhan-tuhan. Beliau juga mendakwa Rasulullah s.a.w datang menyeru kaum musyrikin Quraisy itu menyembah tuhan yang dikenali dengan sifat-sifatnya sahaja, bukan yang boleh disaksikan dengan mata kepala! Kata Ibnu Arabi: “Dia (iaitu Rasulullah s.a.w) telah menyeru supaya disembah tuhan yang menjadi tumpuan segala permohonan dan yang diketahui secara ringkas, tidak boleh disaksikan dan tidak ditanggap pandangan.

Ia halus dan mengalir pada ain segala benda, tidak dapat ditanggap penglihatan. Ianya maha halus, lagi maha mengetahui. Pengetahuan itu adalah citarasa, dan citarasa itu ialah Tajalli (keserlahan), dan tajalli dalam rupa-rupa bentuk itu adalah suatu kemestian. Siapa yang melihatnya mesti menyembahnya dengan sepenuh keberahian, jika anda faham ………..” Kemudian dengan mengejek mereka yang tidak memahami kata-katanya itu Ibnu Arabi berkata: “Kepada Allah segala tujuan.” (Fususul Hikam, halaman 192)

Menukar Pengertian Ayat Al-Quran

Kelancangan Ibnu Arabi menukar pengertian sebenar ayat–ayat al-Qur'an berterusan tanpa tanda–tanda yang menunjukkan bahawa beliau melakukannya tanpa disengajakan. Mengenai firman Allah : “وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالاً” (Janganlah engkau tambahkan kepada orang-orang yang zalim itu melainkan kesesatan – Surah Nuh ayat 24), Ibnu Arabi mentafsirkannya sebagai “orang-orang yang zalim itu tidak menambahkan bagi diri mereka melainkan kehairanan.” (Fususul Hikam halaman 73)

Pada ayat seterusnya “مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا” (Surah Nuh, ayat 25, maksudnya lebih kurang: “Oleh kerana kesalahan–kesalahan mereka, lalu mereka ditenggelamkan”), Ibnu Arabi mentafsirkannya: “Dari yang telah digariskan bagi mereka, lalu kaum Nabi Nuh a.s. tenggelam di dalam samudera ilmu mengenai Allah.” (Fususul Hikam, halaman 33)

فَلَمْ يَجِدُوا لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ أَنصَاراً” (Surah Nuh, Ayat 25) Maksudnya lebih kurang: “Maka mereka tidak memperolehi penolong-penolong selain Allah.” Ibnu Arabi mentafsirkan: “Allah itulah penolong mereka, lalu mereka musnah padanya selama-lama.” (Fususul Hikam, halaman 33).

Mengenai doa Nabi Nuh a.s. seperti mana firman Allah: ” إِنَّكَ إِن تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ” (Surah Nuh, Ayat 27). Maksudnya lebih kurang: ”Sesungguhnya Engkau, jika meningggalkan mereka, nescaya mereka menyesatkan hamba-hamba Mu…… .” Ibnu Arabi mentafsirkannya: “Jika engkau tinggalkan mereka, nescaya mereka membingungkan hamba-hamba Mu dan mengeluarkan mereka dari keadaan ‘Ubudiah kepada keadaan berada di tengah-tengah rahsia Rububiah, lalu mereka melihat diri mereka sendiri sebagai tuhan-tuhan selepas menjadi sebagai hamba-hamba. Dengan itu mereka ialah hamba-hamba dan juga tuhan-tuhan. (Fususul Hikam, halaman 74)

Tafsiran Ibnu Arabi ini semakin memperlihatkan betapa jauhnya kesesatan dan kefasikan beliau kerana menjadikannya kesesatan kaum Nabi Nuh a.s. itu sebagai kebingungan sahaja, sebab mereka sebenarnya, menurut dakwaan Ibnu Arabi, mengetahui rahsia-rahsia ketuhanan dan bahawa setiap yang wujud itu ialah Allah, dan dengan itu mereka sendiri menjadi tuhan-tuhan!!

Ayat terakhir surah Nuh iaitu:

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِناً وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَاراً”. (Surah Nuh Ayat 28) Maksudnya lebih kurang: ”Wahai Tuhanku! Ampunilah bagiku dan bagi kedua ibu bapaku dan bagi sesiapa yang memasuki rumahku sebagai orang mukmin, dan bagi orang mukmin lelaki dan perempuan, dan janganlah engkau tambahkan kepada orang-orang yang zalim itu kecuali kebinasaan.”

Ibnu Arabi telah mentafsirkannya dengan berkata: “Ianya kata-kata Nabi Nuh a.s. selebihnya yang bererti: “Wahai tuhanku! Lindungilah aku, dan bagi akal dan tabiatku, bagi hatiku, bagi akal, bagi diri dan jiwa, dan janganlah engkau tambahkan kepada ahli-ahli ghaib itu melainkan kebinasaan sebab mereka tidak mengenal diri-diri mereka kerana penyaksian mereka terhadap wajah al-Haq di depan mereka.” Kemudian Ibnu Arabi berkata pula selepas itu, “Barang siapa mahu mengetahui rahsia-rahsia Nabi Nuh a.s., maka ia hendaklah menaiki bahtera Nabi Nuh. Bagi kami ianya berada di tanah rendah Maushul, dan Allah mengatakan yang benar.” (Fususul Hikam, Ayat 210-211)

Antara Isi Kandungan Fususul Hikam.

Seperti mana yang telah disebutkan, buku “Fususul Hikam” merupakan himpunan seluruh aqidah kepercayaan Ibnu Arabi. Ia menyentuh hal-hal mengenai Allah, agama-agamanya, hidayah serta nur yang diperolehi oleh Ibnu Arabi secara langsung dari sumbernya yang asal menurut dakwaannya. Di bawah ini diperturunkan sebahagian dari dakwaan-dakwaannya yang terkandung di dalam bukunya itu.

Ibnu Arabi mendakwa bahawa kaum Nabi Nuh a.s. telah memberikan jawapan yang betul dan benar kepada Nabi Nuh apabila mereka mengatakan Nabi Nuh a.s. telah memperdayakan mereka, lalu mereka memperdayanya balik, dan bahawa pegangan mereka kepada berhala–berhala sembahan mereka itu adalah pegangan yang hak mahu di hapuskan oleh Nabi Nuh a.s! Di antara ungkapan Ibnu Arabi mengenai hal ini ialah :

“Orang yang berilmu mengenai Allah tahu apa yang diisyaratkan Nabi Nuh a.s. mengenai hak-hak kaumnya dengan memuji mereka melalui kata-kata celaan ke atas mereka. Nabi Nuh a.s. tahu bahawa mereka tidak menyahut dakwahnya disebabkan mengandungi Furqan (pemisah di antara haq dan batil) sedangkan perintah itu ialah al-Qur'an bukan Furqan. Barang siapa yang telah ditegakkan dengan al-Qur'an tentunya ia tidak mendengar kepada Furqan, walaupun Furqan itu terdapat di dalam al-Qur'an. Nabi Nuh a.s. menyeru mereka dengan tujuan untuk mengumpulkan mereka bukan untuk mendedahkan kesalahan mereka, dan mereka memahaminya.


Kerana itu mereka meletakkan jari di telinga masing-masing dan menutup kepala mereka dengan kain. Semua ini merupakan gambaran perlindungan yang diserukan Nabi Nuh a.s. kepada kaum nya, dan mereka telah menjawab seruannya itu dengan perbuatan bukan dengan lafaz Labaik (Ya! Kami menyahut seruan mu! – penulis).

“Nabi Nuh a.s. berkata di dalam pesanan hikmatnya kepada kaumnya : “يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً” iaitu “Dia mengutuskan langit kepada kamu dengan makrifat makrifat aqliah di dalam pengertian dan pengamatan”. “وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ” iaitu “Dia membekalkan kamu dengan apa yang mencorakkan kamu kepadaNya.” Barang siapa berkhayal telah melihat-Nya, ia sebenarnya tidak tahu. Adapun siapa di antara kamu yang tahu ia telah melihat dirinys sendiri, maka ia itulah yang mengetahui atau yang arif.” (Fususul Hikam, halaman 71).

Di sini ternyata Ibnu Arabi secara berani mentafsirkan … مِّدْرَاراً… yang bererti hujan dan kesuburan yang merupakan hasil amalan soleh, ketaqwaan, keimanan dan istighfar itu sebagai makrifat, aqliah, dan mentafsirkan “ِأَمْوَالٍ” bererti iaitu harta benda sebagai sesuatu yang mencederungkan kaum Nabi Nuh a.s. kepadanya, lalu mereka dapat melihat bentuk mereka padanya! Inilah konsep Wahdatul Wujud. Kerana itulah kemudian Ibnu Arabi berkata “Maka barangsiapa di antara kamu berkhayal telah melihatnya, ia sebenarnya tidak tahu. Adapun sesiapa di antara kamu yang telah melihat dirinya sendiri, maka ia itulah yang mengetahui atau yang arif!”

Kemudian Ibnu Arabi berkata lagi mengenai firman Allah “وَمَكَرُوا مَكْراً كُبَّاراً” (Dan mereka telah menipu daya tipuan yang besar”). Ini adalah sesuatu penipuan terhadap pihak yang didakwah. Nabi Nuh a.s. berkata: “Aku menyeru kepada Allah, ini adalah suatu tipu daya dalam keasliannya. Lalu mereka menjawap Nabi Nuh a.s. dengan suatu tipu daya juga seperti mana ia menyeru mereka.” (Fususul Hikam, halaman 72)

Di sini pembaca dapat menanggap bagaimana Ibnu Arabi telah menjadikan dakwah kepada Allah itu suatu cara tipu daya terhadap pihak-pihak yang didakwah, bahkan ianya tipudaya yang sejati! Kemudian Ibnu Arabi menerangkan pula jenis tipu daya yang dibalas oleh kaum Nabi Nuh a.s. kepada nabi mereka itu dengan berkata: “Lalu mereka pun berkata di dalam tipu daya mereka: Janganlah kamu tinggalkan tuhan-tuhan kamu! Dan janganlah kamu tinggalkan Wad, Suwa’ Yaghuts, Ya’uk, Nasr! Sesungguhnya jika mereka meninggalkan tuhan-tuhan mereka bererti mereka jahil tentang al-Haq mengikut kadar mereka meninggalkannya. Kerana sesungguhnya al-Haq itu ada wajahnya pada semua ma’bud (yang disembah) yang diketahui oleh sesiapa yang mengetahui, dan dijahili oleh sesiapa yang jahil ……. Tidak disembah selain Allah pada setiap ma’bud.” (Fususul Hikam, halaman 73)

Ini menunjukkan Ibnu Arabi telah menjadikan berhala-berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh a.s. itu sebagai tuhan-tuhan yang sebenar kerana menurutnya berhala–berhala itu merupakan satu daripada wajah–wajah Allah Yang Maha Haq. Dengan itu mereka sebenarnya adalah menyembah Allah!!

Buku Fususul Hikam

Di dalam bukunya Fususul Hikam yang merupakan penamat karya-karyanya dan penghimpun seluruh aqidah kepercayaannya, Ibnu Arabi merakamkan di dalam kata-kata pendahuluannya sebagai berikut:

Amma Ba’du, Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah s.a.w berwajah gembira. Aku mimpikannya pada sepuluh terakhir bulan Muharram tahun 627 di Mahrusah, Damsyik, dan di tangannya ada sebuah kitab. Baginda berkata: “Ini ialah kitab Fususul Hikam. Ambillah dan terbitkanlah kepada orang ramai supaya mereka manfaatkannya.” Aku menjawab: “Kami dengar dan kami patuh kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil amri dari kalangan kami seperti mana yang diperintahkan kepada kami.”

Kemudian Ibnu Arabi berkata lagi, “Lalu aku laksanakan harapan itu, aku tuluskan niat dan aku betulkan tekad dan tujuan untuk menonjolkan kitab ini seperti mana yang ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w tanpa tambahan dan kekurangan.” (Fususul Hikam, halaman 47, Cetakan Beirut).

Di halaman lain selepas menyebut maudu’–maudu’ kitab itu, Ibnu Arabi berkata: “Aku berpada menyebut hikmah di dalam kitab ini mengikut yang telah sabith di dalam Ummul Kitab (al-Qur'an–penulis). Aku mengikuti mana yang telah digariskan kepadaku dan aku berhenti setakat mana yang telah ditetapkan kepadaku. Andainya aku mahu menambahkan lebih dari itu nescaya aku tidak bermaya melakukannya kerana hadhrat menahanku berbuat demikian.” (Fususul Hikam, halaman 58)

Di dalam bab فص حكمة علوية في كلمة موسوية “ (Permata Hikmah Tertinggi Pada Kata-Kata Nabi Musa), Ibnu Arabi berkata: “Insya Allah, aku akan menyebutkan sebahagian darinya di dalam kitab ini mengikut sekadar perintah Ilahi yang terlontar di dalam hatiku. Ia adalah yang pertama sekali di pertuturkan kepada ku di dalam bab ini.” (Fususul Hikam, halaman 58)

Petikan-petikan dari Muqadimmah buku “Fususul Hikam” ini, juga dari celah-celah lembaran yang lain, menyarankan kepada kita ketegasan Ibnu Arabi yang mendakwa bahawa beliau telah menaqal secara langsung dari Allah bahkan secara mulut, terus dari Luh Mahfuz dan dari Rasulullah s.a.w yang menyuruhnya, di dalam mimpi yang didakwanya itu, supaya menerbitkan buku tersebut kepada orang ramai.


Monday, July 31, 2006

Konsep Wahdatul Wujud

Menurut aqidah tasawuf, Wahdatul Wujud bererti tiada yang wujud di alam buana ini selain Allah. Segala bentuk rupa makhluk yang kelihatan hanyalah gambaran luaran bagi hakikat yang satu iaitulah hakikat Allah (تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا). Kewujudan rupa bentuk hakikat ini di alam buana yang kelihatan itu adalah berbagai-bagai aneka. Tetapi alam buana ini, menurut aqidah batil yang mereka dakwakan itu, adalah Allah sendiri (تعالى الله عن ذلك).

Al-Hallaj umpamanya telah meluahkan aqidah ini secara terus terang seperti yang telah disebutkan di dalam siri yang lalu. As-Syibli juga telah menyebutkannya secara tidak langsung dan berputar belit. Sementara Al-Junaid pula telah menyebutnya dengan lebih berhati-hati dan cermat.

Pada mulanya aqidah ini tinggal tetap di dalam pengetahuan segolongan manusia tertentu yang dikatakan telah tiba di penghujung tarekat tasawwuf, tetapi mereka ini tidak mempernyatakannya kecuali melalui ungkapan–ungkapan yang berputar belit lagi kabur dan samar-samar pengertiannya, yang tidak difahami selain orang-orang yang sejalan dan sealiran dengan mereka, atau sama seperasaan dengan mereka dan yang berkebolehan menyingkap rahsia-rahsia kekaburan percakapan mereka!


Ibnu Arabi dan Dakwaannya.

Penghujung abad ke-enam hijriyah dan penjelangan abad ke-tujuh telah menyaksikan kemunculan seorang tokoh luar biasa yang telah menggubah aqidah ini dalam suatu bentuk yang lengkap dengan membawakan beribu-ribu contoh, menghasilkan cabang-cabangnya yang berlainan di dalam i’ktiqad dan fahaman, dan menyusun berpuluh-puluh buah buku mengenainya.

Tokoh tersebut ialah Mahyuddin bin Arabi yang meninggal dunia pada tahun 638 hijriyah. Beliau dibesarkan di Andalusia dan menetap di negeri Syam. Walaupun beliau telah dilabelkan sebagai kafir, mulhid, zindiq dan pendusta, namun aqidahnya dan mazhabnya telah mengangkat Ibnu Arabi sebagaimana beliau mengangkatkan dirinya sendiri ke martabat kewalian, malahan ke martabat penamat wali-wali dan martabat syeikh tasawuf teragung yang menghidupkan agama!!

Ibnu Arabi mendakwa beliau telah menaqal ilmunya dan kitab-kitabnya secara langsung dari Rasulullah s.a.w, dan menulis dari Luh Mahfuz tanpa perantaraan (wasitah). Beliau menggubah aqidah Wahdatul Wujud secara berani dan tanpa sebarang keraguan, tetapi dengan menyembunyikan kecacatan–kecacatan dan dengan keterangan-keterangan yang berputar belit. Beliau telah menyelewengkan pengertian ayat-ayat al-Qur'an dengan dakwaannya bahawa kaum Nabi Hud yang kafir itu mengikuti jalan yang lurus dan mereka sebenarnya bukan kafir ; Firaun adalah seorang mukmin yang sempurna keimanannya ; kaum Nabi Nuh yang menolak dakwah nabi mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan Allah telah memberi balasan kepada mereka dengan menengelamkan mereka di dalam lautan banjir wahdah, serta memasukkan mereka ke dalam api neraka kecintaan ilahi agar mereka memperolehi kenikmatan bersenang lenang di dalamnya!

Nabi Harun telah melakukan kesalahan kerana melarang Bani Israel menyembah patung anak lembu yang mereka buat, sedangkan patung anak lembu itulah tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya, atau satu daripada bentuk-bentuk ma’bud yang sebenar!! Kaum Nabi Nuh adalah betul apabila mereka terus menyembah berhala Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, kerana berhala-berhala itu ialah bentuk-bentuk luaran bagi tuhan yang satu! Api neraka itu suatu kenikmatan bukan siksaan! Setiap manusia itu dirahmati dan diredhai belaka tanpa pengecualian! Dan bahawa Allah tidak mengetahui apa-apa sebelum kewujudan-Nya kerana kewujudan sesuatu itu ialah kewujudan alam, bahkan kewujudan segala sesuatu adalah terjemahan bagi kewujudan Allah!!

Di sebalik dakwaan-dakwaan Ibnu Arabi yang karut dan biadap ini, dan di sebalik pendustaannya yang mendakwa bahawa beliau telah menaqal semua itu tanpa tambahan dan pengurangan dari Rasulullah s.a.w yang konon menyuruhnya sampaikan kepada manusia sekalian, anehnya beliau telah berjaya menarik ramai para penyokong dan pengikut sejak zaman penonjolannya hinggalah ke hari ini dari kalangan umat Islam yang setiap hari berkali-kali mengucapkan dua kalimah syahadah.