Monday, March 26, 2007

Sufi Hadramaut



Asalnya komentar daripada Dr Asri merujuk kepada upacara keagamaan di yaman hardamaut. Maka seorang blogger yang selalu melakukan komen sinis terhadap beliau, menyebut Komentar Dr Asri satu Fitnah. Di usahakan video ini untuk mereka dan nilailah sama ada ia fitnah atau pun tidak,, Kita cuma tertanya-tanya agama apa mereka ini.

Saturday, March 17, 2007

Berkat Dan Keramat

Sudah diketahui umum bahawa semua orang khususnya kaum muslimin mengharapkan barakah di dalam hidupnya. Usaha untuk mendapatkannya, yang sering diistilahkan sebagai “Tabarruk” atau mencari barakah, ternyata sangat berkait rapat dengan tauhid seorang muslim.

Oleh kerana itu perlu bagi kita mengenali permasalahan besar ini. Ini kerana sering berlaku keinginan untuk mendapatkan barakah menjadi jalan untuk mendatangkan murka daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendatangkan Barakah, dan menodai tauhid seseorang. Wal ‘iyadzubillah.


Agama Islam telah menetapkan bahwa tabarruk merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia. Sehingga tidak asing lagi banyak kaum muslimin yang menunaikannya. Akan tetapi, para pembaca, suatu ibadah tentunya tidak akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barakah tersebut tidak tercapai melainkan dengan terpenuhinya dua syarat mutlak :

1. Adakah ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata kerana Allah SWT?

2. Sesuaikah amalan itu dengan tuntutan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?

Dalam mewujudkan dan memperkukuh syarat yang pertama, hendaklah seseorang meyakini bahwa barakah itu hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Dialah Dzat yang memiliki kesempurnaan, keagungan, dan keluasan barakah.

Tersebut dalam Bada’iut Tafsir 3/282, Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menerangkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :


تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا


“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al Furqon : 1)

Beliau rahimahullah mengatakan, “Dan sebahagian yang lain (para salaf, -pent) berkata, ‘Maknanya, barakah itu datang dari sisi-Nya dan barakah ini seluruhnya dari-Nya’”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memberitakan tentang kekuasaan-Nya yang sempurna dan mutlak dengan do’anya :

اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

“Ya Allah, tidak ada satu pun yang menhalang suatu perkara yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi sesuatu yang Engkau halang. Tidak bermanfaat seorang yang mempunyai kemuliaan di hadapan kemuliaan yang datang dari-Mu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Adapun dalam rangka menumbuhkan amalan tabarruk, sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam maka perlu kita mengenal bagaimana tabarruk yang disyariatkan dan sekaligus menjauhi tabarruk yang terlarang.

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid 1/191 berkata: “Dan meminta barakah tidaklah terlepas daripada dua perkara:

1. Hendaklah bertabarruk dengan perkara-perkara yang syar’i misalnya Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ


“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan barakah ...” (Q.S. Shaad: 29).

Di antara barakahnya ialah sesiapa yang berpegang teguh dengannya, maka baginya kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkan banyak umat daripada kesyirikan dengan Al Qur’an. Di antara barakahnya ialah satu hurufnya dibalas dengan sepuluh kebaikan. Hal itu menambahkan motivasi dan semangat pada manusia. Dan lain sebagainya daripada barakah Al Qur’an yang banyak.

2. Tabarruk dengan perkara hissi (yang mampu dirasa oleh pancaindera), misalnya ilmu, dakwah, dan semisalnya. Maka seseorang akan bertabarruk dengan ilmu dan dakwahnya yang mengajak kepada kebaikan. Jadilah perkara ini sebagai barakah kerana kita mendapat banyak kebaikan yang melimpah dengan sebab ilmu dan dakwahnya.

Para pembaca yang mulia, ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:

1. Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:



اقْرَأُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّه يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه


“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat pembacanya pada hari kiamat.”

2. Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim bahwa beliau (Utsman) berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :



مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَاللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ

”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya.”

3. Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di dalamnya. Di antaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah dan Syam.

4. Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.

Di dalam bingkai tabarruk yang syar’i ini pada hakikatnya adalah sebuah pengagungan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah memerintahkan bentuk-bentuk tabarruk tadi, bukan kerana semata-mata dzat perkara-perkara (tabarruk) tadi. Kita renungkan ucapan Umar bin Al Khaththab Radiyallahu ‘anhu tatkala mengusap Hajar Aswad:

أم والله لقد علمت أنك حجر. ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبّلك ما قبّلتك.

“Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahawa engkau adalah batu tidak memberikan mudharat dan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari memberi komentar ucapan Umar RA tersebut: “Dan di dalam ucapan Umar ini terdapat penyerahan diri kepada peletak syariat di dalam perkara-perkara agama, dan ittiba’ (mengikuti) di dalam perkara yang tidak diketahui maknanya. Ini adalah kaedah agung tentang ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam apa yang beliau kerjakan walaupun tidak diketahui hikmahnya, dan di dalamnya (ucapan Umar) terkandung bantahan terhadap apa yang terdapat pada sebagian orang-orang bodoh, bahawa Hajar Aswad memiliki kekhususan pada dzatnya”.

Namun, saudara-saudara yang mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi barakah dengan risalah ini, realitinya di samping berjenis-jenis tabarruk yang telah diajarkan agama yang mulia dan suci ini, terdapat macam-macam tabarruk yang menodai kemuliaan dan kesucian tadi.

Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari jalan Abu Waqid Al Laitsi Radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menuju Hunain sedangkan kami orang-orang yang baru keluar daripada kekufuran, Orang-orang musyrikin memiliki pohon yang mereka i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon tersebut (di dalam rangka tabarruk, pent). Pohon tersebut dinamakan “Dzatu Anwath”. Maka kami melewati pohon itu lalu kami berkata: “Ya Rasulullah buatkan kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki “Dzatu Anwath”. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini adalah jejak (orang-orang sebelum kalian). Demi dzatku yang ada di tangan-Nya, kalian telah mengucapkan seperti ucapan Bani Isra’il kepada Musa: “Buatkanlah kepada kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al A’raaf: 138), sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak-jejak orang-orang sebelum kalian.”

Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullh di dalam Ma’arijul Qabul 2/645 mengatakan: “Dan oleh kerana itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menamai i’tikaf dekat pohon-pohon dan menggantungkan senjata padanya di dalam rangka pengagungan kepadanya sebagai suatu peribadatan.”

Di antara saudara-saudara kita, yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah mereka, bertabarruk dengan mengusap-usap tembok Ka’bah, Maqam Ibrahim, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, mengumpulkan tanah-tanah atau bebatuan dari kota Makkah, Madinah, pergi ke kubur-kubur Nabi dan Rasul untuk berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di sisi kubur-kubur tadi dengan anggapan barakah dan keutamaan yang ada pada tempat-tempat tadi.

Pergi ke gua Hira’, gua Tsur, bukit Thur dengan anggapan seperti tadi, mengkhususkan waktu-waktu tertentu dengan perayaan dan ibadah-ibadah seperti Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, Isra’ Mi’raj, hari hijrah nabi, hari Badr dan selainnya daripada bermacam-macam tabarruk yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam Iqtidha’ Shirathil Mustaqim 2/193 berkata: “Maka jika seseorang berniat shalat di samping sebahagian kubur para nabi dan orang-orang shalih di dalam rangka tabarruk di tempat-tempat tersebut, maka ini adalah inti penentangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam, penyimpangan terhadap agama, bid’ah yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala.

Soalan dan Jawapan:

Soalan : Apakah hukum mencari barakah dari bekas-bekas orang-orang sholih atau tempat-tempat mulia ?

Jawapan : Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah di dalam Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid halaman 167–168 menyatakan, bahawa tabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih termasuk bentuk tabarruk yang terlarang, kerana beberapa sebab:

1) Bahawa orang-orang yang awal mula masuk Islam dari kalangan Shahabat dan setelah mereka tidak pernah melakukan hal itu kepada orang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, tidak ketika hidupnya atau setelah wafatnya. Kalau seandainya hal itu baik, maka nescaya mereka akan mendahului kita dalam mengamalkannya.

2) Tidak boleh seorangpun daripada umat ini diqiaskan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam perkara ini (tabarruk kepada dzat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam), kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki pengkhususan-pengkhususan ketika hidupnya yang tidak disamai oleh seorang pun.

3. Larangan tersebut sebagai pintu yang menutup jalan menuju kesyirikan yang tidak samar lagi.



Untaian Fatwa :

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidhahulloh di dalam Al Muntaqa di dalam fatwa beliau 1/220 berkata: “Sujud di atas tanah yang disebut ‘tanah kuburan wali’, jika dimaksudkan sebagai tabarruk dengan tanah itu dan mendekatkan diri kepada wali tersebut maka ini adalah syirik besar.

Adapun jika yang dikehendaki adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan adanya keyakinan tentang keutamaan-keutamaan tersebut, dan sujud di atasnya merupakan suatu keutamaan sebagaimana keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada tanah-tanah suci di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha, maka ini merupakan bid’ah di dalam agama, satu ucapan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa didasari ilmu, syariat yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sarana dari sarana-sarana agama yang mengantarkan kepada kesyirikan.

Hal itu kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan kekhususan pada suatu tempat selain tempat-tempat syi’ar yang suci dan tiga masjid tersebut. Hatta tempat-tempat syi’ar dan tiga masjid tersebut tidak disyari’atkan untuk kita mengambil tanahnya kemudian sujud di atasnya. Hanyalah kita disyari’atkan untuk berhaji ke rumah-Nya (Ka’bah, pent) dan shalat di tiga masjid tadi.”

Wallahu A’lam Bish Shawab.

(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 13/II/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Sikap Berlebihan terhadap Orang-Orang Shalih". Penulis Abdurrahman. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)

http://al-ahkam.net/home/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=15496