tag:blogger.com,1999:blog-279043942024-03-13T15:01:13.075-07:00tarekat satu analisismohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.comBlogger22125tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-21594118895976500902007-03-26T20:11:00.000-07:002007-03-26T20:19:37.567-07:00Sufi Hadramaut<object width="425" height="350"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/61_ySWlyDxA"></param><param name="wmode" value="transparent"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/61_ySWlyDxA" type="application/x-shockwave-flash" wmode="transparent" width="425" height="350"></embed></object><br /><br />Asalnya komentar daripada Dr Asri merujuk kepada upacara keagamaan di yaman hardamaut. Maka seorang blogger yang selalu melakukan komen sinis terhadap beliau, menyebut Komentar Dr Asri satu Fitnah. Di usahakan video ini untuk mereka dan nilailah sama ada ia fitnah atau pun tidak,, Kita cuma tertanya-tanya agama apa mereka ini.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-83370505897811159202007-03-17T01:02:00.000-07:002007-03-17T01:07:15.995-07:00Berkat Dan KeramatSudah diketahui umum bahawa semua orang khususnya kaum muslimin mengharapkan barakah di dalam hidupnya. Usaha untuk mendapatkannya, yang sering diistilahkan sebagai “Tabarruk” atau mencari barakah, ternyata sangat berkait rapat dengan tauhid seorang muslim.<br /><br />Oleh kerana itu perlu bagi kita mengenali permasalahan besar ini. Ini kerana sering berlaku keinginan untuk mendapatkan barakah menjadi jalan untuk mendatangkan murka daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mendatangkan Barakah, dan menodai tauhid seseorang. Wal ‘iyadzubillah.<br /><br /><br />Agama Islam telah menetapkan bahwa tabarruk merupakan salah satu bentuk ibadah yang mulia. Sehingga tidak asing lagi banyak kaum muslimin yang menunaikannya. Akan tetapi, para pembaca, suatu ibadah tentunya tidak akan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan barakah tersebut tidak tercapai melainkan dengan terpenuhinya dua syarat mutlak :<br /><br />1. Adakah ibadah itu dilakukan ikhlas semata-mata kerana Allah SWT?<br /><br />2. Sesuaikah amalan itu dengan tuntutan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?<br /><br />Dalam mewujudkan dan memperkukuh syarat yang pertama, hendaklah seseorang meyakini bahwa barakah itu hanya datang dari sisi Allah Ta’ala. Dialah Dzat yang memiliki kesempurnaan, keagungan, dan keluasan barakah.<br /><br />Tersebut dalam Bada’iut Tafsir 3/282, Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menerangkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :<br /><br /><br />تَ<strong>بَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا </strong><br /><br /><br /><em>“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Q.S. Al Furqon : 1)<br /></em><br />Beliau rahimahullah mengatakan, “Dan sebahagian yang lain (para salaf, -pent) berkata, ‘Maknanya, barakah itu datang dari sisi-Nya dan barakah ini seluruhnya dari-Nya’”.<br /><br />Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memberitakan tentang kekuasaan-Nya yang sempurna dan mutlak dengan do’anya :<br /><br />ا<strong>للَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ </strong><br /><br /><em>“Ya Allah, tidak ada satu pun yang menhalang suatu perkara yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi sesuatu yang Engkau halang. Tidak bermanfaat seorang yang mempunyai kemuliaan di hadapan kemuliaan yang datang dari-Mu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)<br /></em><br />Adapun dalam rangka menumbuhkan amalan tabarruk, sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam maka perlu kita mengenal bagaimana tabarruk yang disyariatkan dan sekaligus menjauhi tabarruk yang terlarang.<br /><br />Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid 1/191 berkata: “Dan meminta barakah tidaklah terlepas daripada dua perkara:<br /><br />1. Hendaklah bertabarruk dengan perkara-perkara yang syar’i misalnya Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:<br /><br /><br /><br /><strong>كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ</strong><br /><br /><br /><em>“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan barakah ...” (Q.S. Shaad: 29).<br /></em><br />Di antara barakahnya ialah sesiapa yang berpegang teguh dengannya, maka baginya kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyelamatkan banyak umat daripada kesyirikan dengan Al Qur’an. Di antara barakahnya ialah satu hurufnya dibalas dengan sepuluh kebaikan. Hal itu menambahkan motivasi dan semangat pada manusia. Dan lain sebagainya daripada barakah Al Qur’an yang banyak.<br /><br />2. Tabarruk dengan perkara hissi (yang mampu dirasa oleh pancaindera), misalnya ilmu, dakwah, dan semisalnya. Maka seseorang akan bertabarruk dengan ilmu dan dakwahnya yang mengajak kepada kebaikan. Jadilah perkara ini sebagai barakah kerana kita mendapat banyak kebaikan yang melimpah dengan sebab ilmu dan dakwahnya.<br /><br />Para pembaca yang mulia, ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:<br /><br />1. Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:<br /><br /><br /><br /><strong>اقْرَأُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّه يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه</strong><br /><br /><br /><em>“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat pembacanya pada hari kiamat.”<br /></em><br />2. Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim bahwa beliau (Utsman) berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :<br /><br /><br /><br /><strong>مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَاللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ<br /></strong><br /><em>”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu sholat bersama manusia atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah mengampuni dosa-dosanya.”<br /></em><br />3. Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di dalamnya. Di antaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah dan Syam.<br /><br />4. Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.<br /><br />Di dalam bingkai tabarruk yang syar’i ini pada hakikatnya adalah sebuah pengagungan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah memerintahkan bentuk-bentuk tabarruk tadi, bukan kerana semata-mata dzat perkara-perkara (tabarruk) tadi. Kita renungkan ucapan Umar bin Al Khaththab Radiyallahu ‘anhu tatkala mengusap Hajar Aswad:<br /><br /><strong>أم والله لقد علمت أنك حجر. ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبّلك ما قبّلتك.</strong><br /><br /><em>“Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui bahawa engkau adalah batu tidak memberikan mudharat dan manfaat. Kalau seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menciummu, maka aku tidak akan menciummu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)<br /></em><br />Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari memberi komentar ucapan Umar RA tersebut: “Dan di dalam ucapan Umar ini terdapat penyerahan diri kepada peletak syariat di dalam perkara-perkara agama, dan ittiba’ (mengikuti) di dalam perkara yang tidak diketahui maknanya. Ini adalah kaedah agung tentang ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam apa yang beliau kerjakan walaupun tidak diketahui hikmahnya, dan di dalamnya (ucapan Umar) terkandung bantahan terhadap apa yang terdapat pada sebagian orang-orang bodoh, bahawa Hajar Aswad memiliki kekhususan pada dzatnya”.<br /><br />Namun, saudara-saudara yang mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi barakah dengan risalah ini, realitinya di samping berjenis-jenis tabarruk yang telah diajarkan agama yang mulia dan suci ini, terdapat macam-macam tabarruk yang menodai kemuliaan dan kesucian tadi.<br /><br /><em>Al Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari jalan Abu Waqid Al Laitsi Radiyallahu ‘anhu beliau berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menuju Hunain sedangkan kami orang-orang yang baru keluar daripada kekufuran, Orang-orang musyrikin memiliki pohon yang mereka i’tikaf dan menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon tersebut (di dalam rangka tabarruk, pent). Pohon tersebut dinamakan “Dzatu Anwath”. Maka kami melewati pohon itu lalu kami berkata: “Ya Rasulullah buatkan kami “Dzatu Anwath” sebagaimana mereka memiliki “Dzatu Anwath”. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini adalah jejak (orang-orang sebelum kalian). Demi dzatku yang ada di tangan-Nya, kalian telah mengucapkan seperti ucapan Bani Isra’il kepada Musa: “Buatkanlah kepada kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan. Dia berkata: “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al A’raaf: 138), sungguh kalian pasti akan mengikuti jejak-jejak orang-orang sebelum kalian.”<br /></em><br />Asy Syaikh Hafidz bin Ahmad Al Hakami rahimahullh di dalam Ma’arijul Qabul 2/645 mengatakan: “Dan oleh kerana itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam menamai i’tikaf dekat pohon-pohon dan menggantungkan senjata padanya di dalam rangka pengagungan kepadanya sebagai suatu peribadatan.”<br /><br />Di antara saudara-saudara kita, yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala beri hidayah mereka, bertabarruk dengan mengusap-usap tembok Ka’bah, Maqam Ibrahim, Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, mengumpulkan tanah-tanah atau bebatuan dari kota Makkah, Madinah, pergi ke kubur-kubur Nabi dan Rasul untuk berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di sisi kubur-kubur tadi dengan anggapan barakah dan keutamaan yang ada pada tempat-tempat tadi.<br /><br />Pergi ke gua Hira’, gua Tsur, bukit Thur dengan anggapan seperti tadi, mengkhususkan waktu-waktu tertentu dengan perayaan dan ibadah-ibadah seperti Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, Isra’ Mi’raj, hari hijrah nabi, hari Badr dan selainnya daripada bermacam-macam tabarruk yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam Iqtidha’ Shirathil Mustaqim 2/193 berkata: “Maka jika seseorang berniat shalat di samping sebahagian kubur para nabi dan orang-orang shalih di dalam rangka tabarruk di tempat-tempat tersebut, maka ini adalah inti penentangan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam, penyimpangan terhadap agama, bid’ah yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala.<br /><br />Soalan dan Jawapan:<br /><br />Soalan : Apakah hukum mencari barakah dari bekas-bekas orang-orang sholih atau tempat-tempat mulia ?<br /><br />Jawapan : Asy Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh rahimahullah di dalam Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid halaman 167–168 menyatakan, bahawa tabarruk dengan bekas-bekas orang-orang shalih termasuk bentuk tabarruk yang terlarang, kerana beberapa sebab:<br /><br />1) Bahawa orang-orang yang awal mula masuk Islam dari kalangan Shahabat dan setelah mereka tidak pernah melakukan hal itu kepada orang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, tidak ketika hidupnya atau setelah wafatnya. Kalau seandainya hal itu baik, maka nescaya mereka akan mendahului kita dalam mengamalkannya.<br /><br />2) Tidak boleh seorangpun daripada umat ini diqiaskan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam perkara ini (tabarruk kepada dzat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam), kerana Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam memiliki pengkhususan-pengkhususan ketika hidupnya yang tidak disamai oleh seorang pun.<br /><br />3. Larangan tersebut sebagai pintu yang menutup jalan menuju kesyirikan yang tidak samar lagi.<br /><br /><br /><br />Untaian Fatwa :<br /><br />Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidhahulloh di dalam Al Muntaqa di dalam fatwa beliau 1/220 berkata: “Sujud di atas tanah yang disebut ‘tanah kuburan wali’, jika dimaksudkan sebagai tabarruk dengan tanah itu dan mendekatkan diri kepada wali tersebut maka ini adalah syirik besar.<br /><br />Adapun jika yang dikehendaki adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bersamaan dengan adanya keyakinan tentang keutamaan-keutamaan tersebut, dan sujud di atasnya merupakan suatu keutamaan sebagaimana keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan pada tanah-tanah suci di Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha, maka ini merupakan bid’ah di dalam agama, satu ucapan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa didasari ilmu, syariat yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sarana dari sarana-sarana agama yang mengantarkan kepada kesyirikan.<br /><br />Hal itu kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan kekhususan pada suatu tempat selain tempat-tempat syi’ar yang suci dan tiga masjid tersebut. Hatta tempat-tempat syi’ar dan tiga masjid tersebut tidak disyari’atkan untuk kita mengambil tanahnya kemudian sujud di atasnya. Hanyalah kita disyari’atkan untuk berhaji ke rumah-Nya (Ka’bah, pent) dan shalat di tiga masjid tadi.”<br /><br />Wallahu A’lam Bish Shawab.<br /><br />(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 13/II/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Sikap Berlebihan terhadap Orang-Orang Shalih". Penulis Abdurrahman. Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)<br /><br /><a href="http://al-ahkam.net/home/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=15496">http://al-ahkam.net/home/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=15496</a>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1160449711855065012006-10-09T20:06:00.000-07:002006-10-09T20:08:32.586-07:00Ajaib Golongan Sufi Dan TarekatKisah-kisah ajaib ini adalah sambungan terhadap beberapa kisah ajaib yang telah disiarkan dalam ahkam.net sebelum ini. Maklumat di dalam artikel ini saya ambil daripada buku Haqiqat al-Sufiyyah Fi Dhau’ al-Kitab wa al-Sunnah – Dr. Muhammad Ibn Rabi’ – Universiti Islam Madinah dan buku al-Toriqah al-Naqsyabandiyyah – Abd. Rahman Dimasyqiyyah – www.frqan.com.<br /><br />Sebelum kita mengikuti beberapa kisah ajaib, elok kita mulakan dengan pendapat seorang ulama al-Azhar, Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya ‘Ibn Taimiyyah’. Menurut beliau, kemunculan tasawwuf adalah berasal daripada beberapa punca yang berbeza iaitu:<br /><br />1-Kecenderungan sebahagian ahli ibadat daripada kalangan umat Islam ke arah zuhud dan beribadah sepenuh masa. Ia bermula sejak zaman Rasulullah SAW lagi apabila ada sebahagian sahabat yang ingin beribadah sepenuh masa lalu mereka dilarang oleh Rasulullah SAW seperti di dalam hadith riwayat al-Bukhari dan Muslim yang menceritakan tentang kisah tiga orang sahabat yang datang ke rumah Rasulullah SAW untuk bertanyakan kepada isteri Rasulullah SAW tentang ibadah baginda.<br /><br />Setiap seorang daripada mereka telah berazam untuk melakukan ibadah melebihi yang dituntut oleh syariat iaitu berpuasa setiap hari, tidak berkahwin dan juga tidak tidur malam untuk solat sunat. Maka Rasulullah SAW melarang mereka dan menyatakan bahawa baginda sendiri tidak melakukan ibadah ke tahap yang demikian. Namun setelah baginda wafat, zaman seterusnya menyaksikan kecenderungan sebegini muncul kembali.<br /><br />2-Pemikiran ahli falsafah yang menganggap bahawa ilmu itu akan datang ke dalam hati disebabkan kita melakukan beberapa amalam rohani dan teknik pengawalan diri.<br /><br />3-Konsep bahawa tuhan akan menghuni diri seseorang yang bersih hatinya. Konsep ini berasal daripada agama Kristian yang kita sedia maklum. Maka timbullah gerakan-gerakan ‘batiniyyah’ yang membawa pemikiran dan konsep songsang ini dalam bentuk atau pakaian tarekat sufi.<br /><br />4-Pemikiran songsang yang menyatakan bahawa terdapat maksud zahir bagi setiap nas sama ada daripada Al-Quran atau hadith.<br /><br />(Haqiqat al-Sufiyyah – m/surat 13 hingga 15)<br /><br />Berikut adalah beberapa kisah ajaib / pelik yang saya temui (di dalam dua buku rujukan untuk artikel ini) berserta sumber asal kisah tersebut:<br /><br />1-Kata-kata Muhammad Uthman al-Sufi dalam buku al-Hibat al-Muqtabasah bahawa di antara adab-adab seorang murid bersama syeikh tarekat ialah: duduk di hadapannya seperti duduk dalam solat, jangan duduk di atas hamparan syeikh, jangan berwudhu’ daripada bekas wudhu’nya, dan ingatlah pesanan orang-orang suci: ‘sesiapa yang berkata kepada syeikhnya ‘kenapa?’ dia tidak akan berjaya’.<br /><br />2-Menurut Ibn ‘Arabi dalam bukunya al-Fusus: dan seseorang yang sempurna hatinya akan melihat setiap sembahan manusia itu adalah jelmaan daripada Allah sama ada batu, pokok, haiwan, manusia, bintang, malaikat dan lain-lain lagi.<br /><br />3-Al-Damamini menghidupkan burung yang sudah pun dimasak sebagai hidangan (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)<br /><br />4-Al-Kilani ketika memakan daging ayam yang telah dimasak meletakkan tangannya ke atas ayam itu dan berkata: bangunlah dengan izin Allah. Maka ayam itu bangun. (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)<br /><br />5-Salah seorang murid Abu Yusuf al-Dahmani telah kematian anaknya. Maka Abu Yusuf telah menghidupkannya kembali. (al-Kawakib al-Durriyyah, al-Munawi)<br /><br />6-Pada suatu hari, syeikh al-‘Ajmi telah memandang kepada seekor anjing lalu dengan tiba-tiba anjing itu menjadi tumpuan semua anjing yang datang meminta hajat. Setelah anjing itu mati, semua anjing lain datang menziarahi kuburnya sehinggalah mereka juga mati. Maka al-Sya’rani telah berkata: itulah apa yang berlaku setelah beliau memandang kepada seekor anjing, maka bagaimanakah pula sekiranya beliau memandang kepada manusia?!. (Tobaqaat, Sya’rani – biodata al-‘Ajmi)<br /><br />7-Sya’rani menyatakan bahawa beliau bersalam dengan syeikh Ahmad al-Badwi daripada dalam kuburnya apabila keluar tangan syeikh untuk bersalam dengannya. (Tobaqaat, Sya’rani – biodata al-Badwi)<br /><br />8-Syeikh Ibrahim al-‘Uryan telah menaiki mimbar lalu berkhutbah dalam keadaan berbogel. (Tobaqaat, Sya’rani)<br /><br />9-Seorang wali boleh memasukkan tangannya ke dalam poket mana-mana orang yang disukainya lalu mengambil beberapa dirham sedangkan orang itu tidak menyedarinya. (al-Ibriz, al-Dabbagh)<br /><br />10-Seorang sufi bernama Abu Turab menyatakan bahawa melihat syeikhnya iaitu Abu Yazid al-Bastami lebih baik daripada 70 kali melihat Allah. (Ihya’ ‘Ulumiddin, al-Ghazali).<br /><br />11-Kaabah telah keluar dari tempat asalnya dan akan pergi menziarahi kubur-kubur para wali atau pun menziarahi para wali yang masih hidup. Peristiwa ini dikatakan pernah berlaku pada Ibn Arabi (Jami’ Karamat al-Auliya’, al-Nabhani).<br /><br />12-Seorang syeikh bernama Muhammad al-Ma’shum menceritakan bahawa ketika dia pergi haji, malaikat datang membawa surat bahawa hajinya telah diterima oleh Allah. Kaabah pula datang memeluknya dan ketika di Madinah, Rasulullah SAW keluar dari kuburnya dan memeluknya. (al-Hadaiq al-Wirdiyyah)<br /><br />14-Syeikh Baha’uddin telah mengambil zikir khafiy (zikir senyap) daripada syeikh Abd. Qadir al-Ghajduwani yang telah meninggal dunia dengan cara memasuki kuburnya. (al-Mawahib al-Sarmadiyyah).<br /><br />15-Syeikh Baha’uddin pernah berkata kepada seorang lelaki ‘matilah engkau’ maka matilah lelaki itu. Lalu beliau berkata pula ‘hiduplah engkau’, maka hiduplah lelaki itu sedikit demi sedikit. (Jami’ Karamat al-Auliya’).<br /><br />Begitulah sebahagian lagi kisah ajaib dan pelik daripada sebahagian…sebahagian…sebahagian…tarekat sufi dan para pengikutnya. Sengaja saya ulang perkataan ‘sebahagian’ tiga kali untuk memahamkan orang-orang yang mungkin melatah lalu menyatakan ‘tarekat aku tak macam tu!’. Alhamdulillah tarekat anda tidak begitu. Ada pun bagi sebahagian tarekat, mereka menerima kisah ajaib dan pelik ini.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1158321844247272362006-09-15T05:02:00.000-07:002006-09-15T05:08:43.433-07:00Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah (3)iii. Ilmu Allah Berubah-ubah Mengikut Sesuatu Peristiwa Yang Berlaku Kepada Manusia (al-Bada')<br />Dari segi bahasa al-Bada' bermaksud lahir sesudah tersembunyi. Menurut akidah Syiah, al-Bada' ialah Allah mengetahui sesuatu perkara setelah berlaku peristiwa berkenaan yang sebelum itu dianggap tersembunyi daripada-Nya. Perkara ini j elas menganggap Allah itu j ahil atau tidak mempunyai ilmu yang meliputi. Ini amat jelas seperti yang disebutkan oleh al-Tabatabai dalam kitab al-Usul Min al-Kafi oleh al-Kulaini Juzu' 1 hal 146.<br />Terjemahannya:<br /><br />"AI-Bada" ialah zahir perbuatan yang tersembunyi disebabkan ternyata tersembunyi ilmu kerana adanya maslahah. Kemudian diluaskan penggunaannya, maka kami maksudkan dengan al-Bada' itu ialah lahirnya setiap perbuatan yang sebelumnya itu adalah tersembunyi (daripada Allah S.W.T)".<br /><br /><br />Mengikut akidah Syiah, ilmu Tuhan itu akan berubah dan bersesuaian dengan fenomena baru. Tuhan akan berubah kehendak-Nya terhadap sesuatu perkara sesuai dengan keadaan yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Kitab al-Usul Min al-Kafi, oleh al-Kulaini, Juzu' 1, hal. 146:<br /><br />Terjemahannya;<br /><br />Bab al-Bada'<br />Muhammad bin Yahya daripada Ahmad bin Muhamad bin Isa, daripada al-Hajjal daripada Abu Ishak Tha'labah daripada Zararah bin Ayun daripada salah seorang daripada keduanya a.s. katanya, "Tidak ada ibadat yang paling utama seperti al-Bada'. Di dalam riwayat daripada Ibn Abu Umair daripada Hisham bin Salim daripada Abdullah a.s., "Tidak ada perkara yang paling agung di sisi Allah seperti al-Bada'.<br /><br />Ali bin Ibrahim daripada bapanya daripada Ibnu Abu Umar daripada Hisham bin Salim dan Hafs bin al-Bukhturi dan selain dadpada keduanya daripada Abu Abdullah a.s. katanya mengenai ayat ini maksudnya; "Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan apa yang Ia kehendaki".<br /><br />Sebagai contoh kepada pengertian al-Bada', An-Naubakhti menyebut bahawa Ja'far bin Muhammad Al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam secara nas semasa hidupnya lagi. Tetapi ternyata kemudiannya Ismail meninggal dunia, sedangkan bapanya Ja'far bin Muhammad al-Baqir masih hidup, katanya:<br /><br />Terjemahannya:<br /><br />"An-Naubakti menyebut bahawa Jafar bin Muhammad al-Baqir telah menentukan anaknya Ismail sebagai imam semasa beliau masih hidup. Tiba-tiba Ismail mati Iebih dahulu daripadanya, maka Jafar berkata, "Tidak ternyata kepada Allah mengenai sesuatu perkara sebagaimana tersembunyi kepada-Nya mengenaiperistiwa anakku Ismail".<br /><br />(Kenyataan ini dipetik daripada kitab Fatawa Min Aqaid al-Syiah oleh Muhamad Umar Ba Abdillah hal. 15)<br /><br />ULASAN<br />Pendapat yang mengatakan ilmu Allah berubah-ubah mengikut peristiwa yang berlaku kepada manusia adalah bertentangan dengan al-Quran al-Karim yang menyebut bahawa Allah mengetahui secara terperinci dan menyeluruh sepertimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat berikut yang bermaksud:<br />"Allah mengetahui pengkhianatan (keserongan dan ketiadaan jujur) pandangan mata seseorang. Serta mengetahui akan apa yang tersembunyi di dalam hati."<br /><br />(Surah al-Mukmin ayat 19)<br /><br />Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi kepada-Nya sesuatupun yang ada di bumi dan juga yang ada di langit".<br /><br />(Surah A-li Imran ayat 3)<br /><br />"Dan pada sisi Allah jualah anak kunci perbendaharaan segala yang ghaib, tiada sesiapa yang mengetahuinya melainkan Dialah sahaja dan Ia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut dan tidak gugur sehelai daunpun melainkan In mengetahuinya dan tidak gugur sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak gugur yang basah dan yang kering melainkan (semuanya) ada tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) yang terang nyata."<br /><br />(Surah al-An'am ayat 59)<br /><br />"Demi TuhanKu yang mengetahui segala perkara yang ghaib, hari kiamat itu sesungguhnya akan datang kepada kamu. Tidak tersembunyi datipengetahuan-Nya barang seberat debu yang ada di langit atau di bumi dan tidak ada yang lebih kecil day! itu atau yang lebih besar melainkan semuanya tertulis di dalam kitab yang terang nyata. "<br /><br />(Surah Saba'ayat 3)<br /><br />"Allah yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat"<br /><br />(Surah al-Ikhlas ayat 2)<br /><br />iv. Kemunculan Semula Imam Mahdi Dan Kumpulan Orang Yang Telah Mati Untuk Memberi Keadilan (ar-Raj'ah)<br /><br />Mengikut akidah Syiah bahawa golongan Syiah dikehendaki mempercayai bahawa Allah S.W.T. akan menghidupkan semula orang-orang yang telah mati ke dunia ini bersama-sama Imam Mahdi untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan kezaliman. Mereka terinasuk para sahabat Rasulullah seperti Saidina Abu Bakar, Omar, Uthman, Aisyah, Hafsah, Muawiyah dan lain-lain. Fakta ini dijelaskan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh al-Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 83.<br /><br />Terjemahannya;<br /><br />Akidah Kami Tentang Raj'ah<br /><br />"Sesungguhnya pendapat Syiah Imamiah tentang Rajlah itu ialah kerana mengambil daripada Ahli Bait a.s., di manaallah S. W. E akan mengembalikan sesuatu kaum yang telah mati ke dunia ini di dalam bentukyang asa4 Ialu sebahagian daripada golongan memuliakan satu puak dan menghina satu puak yang lain dan ia menunjukkan mana golongan yang benar dan mana golongan yang salah dan menunjukkan golongan yang melakukan kezaliman. Peristiwa ini berlaku ketika bangunnya Mahdi keluarga Nabi Muhammad s.aw. dan tidak kembali ke dunia ini kecuali orang yang tinggi darjat imannya ataupun orang yang paling jahat.<br /><br />Kemudian mereka akan mati semula. Begitulah juga dengan orang-orang yang selepasnya sehinggalah dibangkitktin semula dan mereka akan menerima pahala atau siksaan. Sebagaimana Allah S.W.T menceritakan dalam al-Quran al-Karim, di mana orang-orang yang akan dikembalikan di dunia ini bercita-cita untuk kembali ke dunia, sedangkan mereka itu tidak boleh kembali lagi ke dunia ini. Mereka akan mendapat kemurkaan Allah bahawa mereka akan kembali ke dunia ini kali ketiga dengan harapan mereka dapat berbuat kebaikan."<br /><br />Firman Allah yang bermaksud..<br /><br />" Mereka berkata, wahai tuhan kami engkau telah mematikan kami dua kali dan menghidupkan kami dua kali, lalu kami mengakui dosa-dosa kami, maka adakah jalan keluar (daripada neraka?)"<br /><br />(Surah al-Mukmin ayat 11)<br /><br />ULASAN<br />Konsep raj'ah Syiah ialah mereka mempercayai Allah akan menghidupkan semula Ahli Bait dan Imam-imam mereka untuk menghukum para sahabat Rasulullah s.a.w. yang dianggap telah melakukan kezaliman.<br /><br />Kemudian mereka mempercayai orang-orang yang telah dihukum ini akan mati semula dan akan menerima pembalasan daripada Allah S.W.T. Ini berdasarkan firman Allah surah al-Mu'min ayat 11 yang bermaksud:<br />"Mereka menjawab; Wahai Tuhan kami Engkau telah menjadikan kami berkeadaan mati dua kali dan telah menjadikan kami bersifat hidup dua kali, maka kami (sekarang) mengakui akan dosa-dosa kami. Oleh itu adakah sebarang jalan untuk (kami) keluar (dari neraka)?"<br /><br />Sebenarnya ayat ini menjelaskan dialog di antara orang-orang kafir dengan Allah S.W.T. di akhirat di mana mereka ingin mencari jalan keluar daripada seksaan api neraka dengan memohon kepada Allah supaya diberi peluang hidup semula ke dunia, mereka mengaku dan insaf terhadap dosa-dosa yang telah mereka lakukan dahulu. Pengertian ini diperkukuhkan melalui firman Allah yang bermaksud:<br /><br />"Bagaimana kamu tergamak kufur (mengingkari) Allah padahal kamu dahulunya mati (belum lahir) kemudian Ia menghidupkan kamu, setelah itu Ia memati;L-an kamu, kemudian Ia menghidupkan kamu pula (pada hari akhirat kelak), akhirnya kamu dikembalikan kepada-Nya (untuk diberi balasan bagi segala yang kamu kerjakan)"<br /><br />(Surah al-Baqarah ayat 28)<br /><br />Kebangkitan dan hukuman di padang Mahsyar adalah hukuman Allah yang akan dikenakan kepada semua orang, bukan hukuman para Imam, ini telah dijelaskan oleh surah-surah berikut:<br /><br />"Dan (ingatlah) hari Kami bongkar dan terbangkan gunung ganang dan engkau akan melihat (seluruh) muka bumi terdedah nyata, dan Kami himpunkan mereka (dipadang Mahsyar) sehingga Kami tidak akan tinggalkan seorangpun dari mereka."<br /><br />(Surah al-Kahfi ayat 47)<br /><br />Katakanlah (kepada mereka): "Sesungguhnya orang-orang yang telah lalu dan orang-orang yang terkemudian tetap akan dihimpunkan pada masa yang ditentukan pada hari kiamat yang termaklum ."<br /><br />( Surah al- Waqiah ayat 49)<br /><br />Di sini dapat dibuat kesimpulan bahawa dalam ayat tersebut tidak ada konsep raj'ah iaitu menuntut bela dan menghukum orang-orang yang melakukan kezaliman ke atas Ahli Bait. Fahaman ini jelas menunjukkan golongan Syiah salah memahami ayat al-Quran tersebut dan salah memahami terhadap ayat-ayat al-Quran boleh membawa kepada penyelewengan akidah.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1158321534901874922006-09-15T04:56:00.000-07:002006-09-15T04:59:03.460-07:00Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah (2)3. PENYELEWENGAN FAHAMAN SYIAH <br />Ajaran dan fahaman Syiah adalah bercanggah dan menyeleweng dari ajaran Islam dan menjadi ancaman kepada perpaduan ummah, keutuhan agama, perpaduan bangsa dan keamanan negara khususnya di Malaysia. <br />Fahaman dan ajaran ini perlu disekat keseluruhannya dari berkembang di Malaysia berdasarkan beberapa percanggahan yang terdapat di dalam fahaman tersebut sama ada dari sudut akidah, syariah dan pelbagai penyelewengan umum yang lain. <br /><br />3.2.1 PENYELEWENGAN DARI SUDUT AKIDAH. <br />i. Khalifah Diwasiatkan Secara Nas <br />Syiah mempercayai imam-imam telah ditentukan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya secara nas. Ini dinyatakan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh ulama Syiah iaitu Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 78: <br /><br /><br />Terjemahannya: <br />Akidah Kami Tentang Imam Itu <br />Telah Sabit Secara Nas.<br />Kami (Syiah) beriktikad bahawa imam-imam seperti nabi tidak berlaku melainkan dengan nas daripada Allah S. W. T atau lisan Rasul atau lisan imam yang dilantik secara nas apabila ia hendak menentukan imam selepasnya. Hukum Imamah sama seperti nabi, tidak ada perbezaan. Orang ramai tidak boleh membuat hukum lain terhadap orang yang telah ditentukan oleh Allah, sebagaimana mereka tidak mempunyai hak penentuan, pencalonan dan pemilihan kerana orang yang telah dilantik, telah mempunyai persediaan yang cukup untuk menanggung bebanan Imam dan memimpin masyarakat yang sudah pasti tidak boleh diketahui, kecuali dengan ketentuan Allah dan tidak boleh ditentukan, melainkan dengan ketentuan Allah. Kami mempercayai bahawa Nabi s.a.w. pernah menentukan khalifahnya dan imam di muka bumi ini selepasnya. Lalu baginda menentukan sepupunya Ali bin Abu Talib sebagai Amirul Mukmin pemegang amanah terhadap wahyu dan imam kepada semua makhluk di beberapa tempat. Baginda telah melantiknya dan mengambil baiah kepadanya untuk memerintah orang-orang Islam pada hari Ghadir, Ialu baginda bersabda: " Ketahuilah bahawa sesiapa yang aku telah menjadikannya ketua maka Alilah yang menjadi ketuanya. Wahai Tuhan, lantiklah orang yang menjadikan Ali sebagai pemimpin dan musuhilah orang yang memusuhinya dan tolonglah orang yang menolongnya dan hinalah orang yang menghinanya. Berilah kebenaran kepada Ali di mana ia berada". <br /><br />Syiah mempercayai wasi Rasulullah s.a.w. ialah Saidina Ali. Kemudian Saidina Ali mewasiatkannya pula kepada anaknya Hasan dan Hasan mewasiatkannya pula kepada Hussain sehinggalah kepada Imam Dua Belas AI-Mahdi AI-Muntazar. la merupakan sunnah Allah kepada semua Nabi-nabi bermula daripada Nabi Adam sehinggalah kepada Nabi yang terakhir. Perkara ini disebutkan dalam Kitab Aslu Al-Syiah Wa Usuluha oleh Muhammad bin Husain Ali Kasyif al-Ghita', hal. 136: <br /><br />Terjemahannya: <br />Maka kita hendaklah kembali kepada menyempurnakan hadith yang dipegang oleh Syiah Imamiah. Maka kami berkata, sesungguhnya Syiah Imamiah mempercayai bahawa Allah S. W. T tidak mengosongkan dunia daripada hamba yang dapat berhujah daripada kalangan nabi atau orang yang memegang wasiat yang nyata masyhur atau yang hilang tersembunyi. Nabi s.a.w. telah menentukan dan mewasiatkan kepada anak Saidina Ali iaitu Hasan dan Saidina Hasan mewasiatkannya pula kepada saudaranya Husain dan demikianlah kepada Imam Dua Belas iaitu Mahdi al-Muntazar. Ini merupakan sunnah Allah kepada semua nabi-nabi daripada Adam sehinggalah nabi yang terakhir. <br />ULASAN <br />Tidak terdapat nas dari al-Quran atau Hadith-hadith sahih yang j elas maksudnya bahawa Saidina Ali itu ditentukan sebagai khalifah selepas wafat Rasulullah s.a.w. <br />Oleh kerana itu, para sahabat telah bersetuju melantik Saidina Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama sebaik sahaja wafat Rasulullah s.a.w. dan Saidina Ali pun sendiri telah bermubaya'ah dengan Saidina Abu Bakar. <br /><br />ii. Imam adalah maksum <br />Syiah meyakini bahawa Imam-imam adalah maksum iaitu terpelihara daripada dosa kecil dan besar dari peringkat kanak-kanak sehinggalah meninggal dunia. Kedudukan mereka sama seperti Nabi-nabi. Pada iktikad mereka, Imam-imam tidak melakukan kesalahan dan tidak lupa. Imam adalah pemelihara syariat dan melaksanakan hukum-hukum. Perkara ini dijelaskan oleh Syeikh Mufid, salah seorang tokoh besar Syiah di dalam kitab Awail al-Maqalat yang dipetik oleh Muhamad Jawad Mughniah di dalam kitab al-Syiah Fi al-Mizan hal. 38. <br />Terjemahannya: <br />Ismah ialah suatu kekuatan yang menghalang tuannya daripada melakukan maksiat dan kesalahan, di mana ia tidak boleh meninggalkan yang wajib dan tidak boleh melakukan yang haram sekalipun ia mampu untuk berbuat demikian, jika tidak bersifat demikian nescaya ia tidak berhak mendapatpujian dan balasan. Dengan lain perkataan, yang dimaksudkan dengan maksum itu ialah mencapai had ketaqwaan yang tidak boleh dicapai oleh syahwat dan nafsu dan telah mencapai ilmu syariat dan hukum-hukumn a dan sampai ke martabat yang tidak mela'Kukan kesalahan sama sekali. Syiah Imamiah mensyaratkan dengan makna tersebut kepada imam-imam secara seinpurna sebagaimana disyaratkan kepada wali. Syeikh Mufid berkata di dalam kitab Awail al-Maqalat babperbincangan mengenai Imam-imam itu maksum. Imam-imam yang memiliki sifat-sifat maksum itu adalah sama dengan makam nabi dalam melaksanakan hukum-hukum dan menegakkan hudud dan memelihara syariat dan mendidik masyarakat. Mereka itu maksum sepertimana nabi yang bersifat maksum yang tidak harus melakukan dosa besar dan kecil dan tidak harus bagi mereka bersifat lupa terhadap sesuatu berhubung dengan agama bahkan mereka tidak lupa sesuatu tentang hukum. Sifat ini wujud kepada keseluruhan mazhab Syiah Imamiah, kecuali sedikit sahaja yang bersifat ganjil daripada mereka. <br />Hal ini juga dinyatakan dalam Kitab Aqaid al-Imamiah oleh Syeikh Muhammad Redha al-Muzaffar, hal. 72: <br /><br />Terjemahannya: <br />Akidah Kami Tentang Imam itu Maksum <br />Kami mempercayai bahawa imam-imam itu sepetti nabi-nabi, ia wajib maksum dan terpelihara daripada sifat-sifat yang buruk dan keji yang nyata dan yang tersembunyi, semenjak daripada kecil sehinggalah mati, sengaja atau lupa sebagaimana merekajuga terpelihara daripada sifat lupa, tersalah dan lain-lain. Kerana imam-imam itu merupakan pemelihara syariat dan orang-orang yang menegakkan hukum syariat. Keadaan mereka seperti nabi. Bukti yang mendorong kami berpegang bahawa Imam itu maksum ialah dalil yang mengatakan nabi-nabi itu maksum. Tidak ada perbezaan (di antara nabi dan imam). <br /><br />ULASAN <br />Jelas terdapat dalam al-Quran dan Hadith-hadith sohih menyatakan bahawa yang maksum hanyalah para rasul dan anbia' sahaja. Oleh itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah, memerlukan kepada dalil-dalil yang qat'ie. Ini dijelaskan oleh ayat-ayat al-Quran seperti berikut yang bermaksud: <br />"Dan ia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan ugama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakan itu (sama ada al-Quran dan Hadith) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. " <br /><br />(An-Najm ayat 3 - 4) <br /><br />"Demi sesungguhnya adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik iaitu bagi orang yang sentiasa mengharapkan (keredaan) Allah dan (balasan baik) hati akhirat, serta ia pula menyebut dan mengingati Allah banyak-banyak (dalam masa susah dan senang)" <br /><br />(AI-Ahzaab ayat 21) <br /><br />"la memasamkan muka dan berpaling, kerana ia di datangi orang buta. Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui (tujuannya, wahai Muhammad). Barangkali ia mahu membersihkan hatinya (dengan pelajaran Ugama yang didapatinya daripadamu). Ataupun ia mahu mendapat peringatan, supaya peringatan itu memberi manfa'at kepadanya." <br /><br />(Surah Abasa ayat 1-4)mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1157782450572585962006-09-08T23:04:00.000-07:002006-09-15T04:37:31.373-07:00Penjelasan Terhadap Fahaman Syiah<span style="font-family:trebuchet ms;"><span style="color:#ff0000;">1. Tujuan<br /></span><br />1. 1. Buku ini bertujuan untuk memberi maklumat dan penjelasan kepada orang ramai mengenai fahaman Syiah supaya orang Islam dan masyarakat menjauhi dan tidak terpengaruh dengan fahaman ini dan menyedarkan mereka yang terbabit bahawa pegangan fahaman mereka adalah bercanggah dengan ajaran Islam sebenar. </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;"><br />1.2. Kajian penjelasan secara sederhana ini dibuat untuk membantu masyarakat awam mudah memahaminya.<br /><br /><span style="color:#ff0000;">2.</span> <span style="color:#ff0000;">Latar Belakang</span><br /><span style="color:#ff0000;"></span><br />2.1. Syiah di Malaysia merupakan satu kelompok pecahan dari umat Islam yang merangkumi lebih kurang 10% dari seluruh umat Islam di dunia<sup>1</sup>. Golongan Syiah ini berpecah kepada beberapa kumpulan. Tetapi di dalam buku penjelasan ini hanya disebut tiga (3) kumpulan yang terbesar iaitu:<br /><br /><span style="color:#ff0000;">i. Syiah Imam Dua Belas (ja'fariyah)</span><br />Kumpulan ini merupakan golongan Syiah yang terbesar di Iran dan merangkumi hampir 60% daripada penduduk Iraq. Golongan ini juga menjadi kumpulan minoriti di beberapa buah negara seperti Pakistan, Afghanistan, Lebanon dan Syria.<br /><br /><span style="color:#ff0000;">ii. Syiah Zaidiyah<br /></span>Kumpulan yang dikenali dengan nama Syiah Imam Lima ini berkembang di Yaman dan hampir 40% daripada penduduk negara tersebut adalah pengikut Syiah Zaidiyah*.<br /><br /><span style="color:#ff0000;">iii. Syiah Ismailiyah</span><br />Kumpulan ini mempunyai Imam Tujuh dan pengikutnya dianggarkan seramai 2 juta orang. Kumpulan ini sekarang berpusat di India dan bertaburan di sekitar Asia Tengah, Iran, Syria dan Timur Afrika<sup>1</sup>.<br /><br /><span style="color:#ffcc33;">Di Malaysia terdapat tiga (3) kumpulan Syiah yang berkembang semenjak beberapa tahun yang Ialu iaitu:<br /></span><br /><span style="color:#ff0000;">i. Syiah Taiyibi Bohra (Dawood Bohra)<br /></span>Kumpulan ini berasal dari India dan di Malaysia ia dikenali dengan golongan yang memiliki Kedai Bombay. Kumpulan yang berpusat di daerah Kelang ini mempunyai tanah perkuburan dan masjidnya sendiri dan pengikutnya dianggarkan seramai 200 hingga 400 orang (tahun 1996).<br />(<sup>1 </sup>Fakta ini dipetik dari buku "The Concise Encylopedia of Islam" oleh Cyril Glasse th.1989 hal. 364-365. Mengikut statistik Bahagian Penyelidikan Jabatan Perdana Menteri, Syiah di negeri Iraq ialah 49%.)<br /><br /><span style="color:#ff0000;">ii. Syiah Ismailiah Agha Khan.</span><br />Kumpulan yang dikenali dengan nama Kedai Peerbhai ini bergerak di sekitar Lembah Kelang. Jumlah pengikut tidak diketahui tetapi bilangannya lebih kecil dari kelompok Bohra.<br /><br /><span style="color:#ff0000;">iii. Syiah Ja'fariyah @ Imamiah Ithna Assyariyyah (Imam Dua Belas)</span><br />a) Kumpulan Syiah ini dipercayai mula bertapak di Malaysia selepas kejayaan Revolusi Iran pada tahun 1979. Pengaruh ajaran dan fahaman kumpulan ini menular ke negara ini melalui bahan-bahan bacaan dan orang perseorangan sama ada yang berkunjung ke Iran atau yang datang dari Iran.<br /><br />b) Fahaman Syiah ini bertambah meruncing apabila beberapa orang pensyarah universiti tempatan telah memainkan peranan untuk menyebarkan fahaman Syiah Ja'fariyah secara serius kepada para pelajar di Institut Pengajian Tinggi.<br /><br />c) Beberapa buah kitab utama Syiah telah dijadikan bahan rujukan dan sebahagiannya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Malaysia, antaranya:<br /><br /><span style="color:#993399;">i) Kasyf al-Asrar<br />Oleh: Ayatullah al-Khomeini<br /><br />ii) AI-Hukumah al-Islamiah<br />Oleh: Ayatullah al-Khomeini<br /><br />iii) Al-Sabah Min al-Salaf<br />Oleh: Ayatullah al Murtadza az- Zubaidi<br /><br />iv) AI- Usul Min al-Kaft<br />Oleh: al-Sheikh Muhammad bin Yaacob al-Kulaini (thn. 1338H)<br /><br />v) Tahrir al- Wasilah<br />Oleh: Ayatullah al-Khomeini<br /><br />vi) Al-Murajaat<br />Oleh: al-Sheikh Abdul Husin Syarafuddin al-Musawi<br /><br />vii) Peshawar Nights<br />Oleh: al-Sayyid Muhammad Rais al-Wahidin<br /><br /></span><span style="color:#993399;">viii) Mafatih al-jittan<br />Oleh: Sheikh Abbas al-Qummi<br /><br />ix) Minhaj Kebenaran dan Pendedahannya (Fiqh Lima Mazhab di antara Nas dan ljtihad)<br />Oleh: al-Hasan bin Yusuf al- Mutahhar al-Hulliyy, diterjemahkan oleh Prof. Madya Dr. Lutpi Ibrahim (thn. 1993)<br /><br />x) Mengapa Aku Memilih Ahlul Bait a.s?<br />Oleh: Syeikh Muhammad Mar'i al-Amin al-Antaki - diterjemah oleh Prof. Madya Dr. Lutpi Ibrahim (thn. 1993)<br /><br />xi) Al-Sahabah<br />Oleh: Haidar<br /><br />xii) Ahlu al-Bait<br />Oleh: Dr. Mahfuz Mohamed</span><br /><br />Pengaruh fahaman Syiah ini kian menular ke negeri-negeri di Semenanjung Malaysia, antaranya Kelantan, Johor, Perak, Wilayah Persekutuan dan Selangor. Di Malaysia, pengikut kumpulan ini dianggarkan antara 300 hingga 500 orang.<br /><br /><strong>Antara gejala-gejala Syiah yang timbul akibat dari fahaman dan ajaran Syiah ini ialah:</strong><br /><br /><span style="color:#3333ff;">i. Adanya usaha menghantar pelajar-pelajar melanjutkan pelajaran ke Iran.<br /><br />ii. Wujudnya kes kahwin Mut'ah<br /><br />iii. Meluasnya penyebaran buku-buku Syiah<br /><br />iv. Wujudnya sokongan dari golongan tertentu kepada pengaruh Syiah terutama golongan ahli politik.<br /><br />v. Wujudnya kesamaran dan keraguan orang ramai terhadap ajaran dan pegangan Islam yang sebenar, contohnya dalam aspek perkahwinan, pengkebumian dan sebagainya. </span><br /><br /><br /><br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155111893127089752006-08-09T01:07:00.000-07:002006-08-30T06:02:46.363-07:00Tariqat Naqsyabandiah<span style="font-family:courier new;"><strong>Tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah Syeikh Nazim Al-Haqqan<br /></strong><br />( Ajaran Tariqat Sesat dan telah diharamkan oleh JAKIM)<br /><br />Keputusan Fatwa Muzakarah Jawatankuasa Majlis Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam<br /><br />a)Tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah di bawah pimpinan Syeikh Nazim bertentangan dengan fahaman akidah Ahli Sunnah Wal-Jamaah dan menyeleweng dari ajaran Islam. Pengamal ajaran ini hendaklah segera bertaubat.<br /><br />b) Semua negeri dikehendaki memfatwa dan mewartakan bahawa tariqat Naqsyabandiah Al-Aliyyah di bawah pimpinan Syeikh Nazim diharamkan dan tidak boleh diamalkan oleh umat Islam kerana ia bercanggah dengan ajaran Islam yang sebenar<br /><br />Oleh : Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia Kali Ke-48<br /><br />Tarikh Keputusan : 3 April 2000<br /><br />Tarikh Muzakarah : 3 April 2000 hingga 3 April 2000<br /><br />Ciri-ciri Kesesatan Tariqat Naqsyabandiah Al-aliyyah Syeikh Nazim Al-Haqqani :-<br /><br /><br /><br /><strong>1)- Kekuatan wali.</strong><br /><br />Petikan dari laman web tariqat Naqsyabandiah<br /><br />“Terdapat 40 awliya Allah yang tersembunyi di antara Mudzalifah dan Mina. Mereka membantu kepada sesiapa yang dalam kesusahan. 313 berada di Madinah. Di Mekah terletak kerusi kerohanian Yang di Pertuanya (gabenor) di sebelah Hajaratul Aswad. Beliau berada di situ untuk menyaksi siapa yang mencium batu tersebut.<br /><br />Yang di Pertua gabenor Mekah itu mengarah wali-wali Allah yang lain membuat apa yang dikehendaki oleh beliau. 124,000 awliya Allah menunaikan haji setiap tahun. Tanpa kehadiran mereka, haji manusia lain tidak lengkap. Imam Mahdi (as) juga harus hadir setiap tahun menunaikan haji. Dan di Jabarul Rahmah di Arafah merupakan tempat Imam Mahdi akan muncul pada masa yang akan datang.<br /><br />Sahabat kita Hanim, ialah seorang yang suka merendahkan diri dan juga pemurah. Hanim tidak peduli tentang kekayaan, tentang berapa kekayaan yang beliau ada. Beliau sentiasa memberi tanpa mengira. Beliau telah banyak berkorban untuk Allah, Rasul (saw) dan awliya Allah. Sifat beliau adalah jarang didapati pada masa kini. Semasa pengkebumian beliau, terlalu ramai para wali Allah dan malaikat berada menghadiri upacara itu. Sekarang ini beliau berada di satu tempat di mana Allah sentiasa melihatnya.<br /><br />Tidak seorang pun akan memahami apa yang Allah telah kurniakan kepada Hjh. Hanim. Ramai akan menyesal asal kesalahan mereka terhadap beliau – samada melalui prasangka atau perbuatan. Ramai akan memerlukan pertolongan beliau di akhirat kelak. Hanim telah pergi sebagai seorang shaheeda.<br /><br />Wa minallahi taufiq. Bi huramati habib bi hurmati surah Fatihah”<br /><br /><br /><br /><strong>2- Kuasa Mutlak Khalifah</strong><br /><br />"Khalifah mentadbir wilayah-wilayahnya. Dia mempunyai kuasa untuk melakukan apa yang dimahu. Apa yang dia lakukan dipersetujui oleh masyaikh rantaian keemasan...Kemulian xxxxxxxx ialah dia adalah seorang khalifah dan semua orang harus menerima apa yang dia telah tentukan..."<br /><br />Sheikh Muhammad Sheikh Nazim<br /><br /><strong>3)-Khutbah sesat menyentuh konsep waktu, suluk, hakikat dsb</strong><br /><br />Audhubillah-hi-minash-syaitan-nir-rajeem Bismillah-hir-rahman-nir-rahim Nawaitul arbaa, naiwatul iqtiqaf, naiwataul uzlah, naiwatul ri’adah, lillahita’ala hilaluyul azim Ati’ullah, wa ati’u rasul, wa ulul amri minkum<br /><br />Allah perintah kita ta’at kepada Dia dan Rasulnya (saw) dan sesiapa yang ta’at kepada Rasul (saw), dia ta’at kepada Allah. Setiap keadaan/saat adalah keadaan/saat yang baru dan setiap sessi adalah sessi yang baru. Keadaan/saat hanyalah sekadar keadaan/saat, tetapi apabila keadaan/saat dikumpul mereka menjadi waktu. Mereka mengeluarkan waktu yang telah berlalu. Oleh yang demikian, waktu adalah (mengikut kefahaman kita) sesuatu yang mempunyai waktu yang lepas, waktu sekarang dan waktu yang akan datang.<br /><br />Terdapat tiga dimensi di dalam waktu (begitu juga universe ini) – waktu lampau, waktu sekarang dan waktu akan datang. Apabila kita mati, waktu berakhir. Tetapi bagi Allah, tidak ada zone waktu. Waktu sebenrnaya di hasilkan oleh pergerakan bumi sekeliling matahari. Disebakan oleh pergerakan atau orbit ini, maka terdapatlah siang dan malam – semuanya untuk membolehkan kita mengetahui waktu, yang pada haqiqatnya memberi petanda kepada kita bahawa ajal akan datang.<br /><br />Apabila Sheikh Abdullah Daghestani (qs) diperintah untuk bersuluk, masa atau waktu bagi dia tidak ada makna. Di dalam suluk, seseorang itu mungkin tidak akan kembali ke dunia lagi. Semasa lima tahun bersuluk, beliau hanya hidup dengan tujuh biji zaitun dan sekeping roti sehari sehaja. Apabila awliya Allah memasuki suluk, mereka sedar bahawa waktu berpoya-poya sudah tamat, yang ada hanyalah berkerja keras.<br /><br />Sheikh Abdullah (qs) berusia 18 tahun abapila beliau mulai suluk. Amalan yang dilakukan semasa bersuluk ialah membaca Quran dan berzikir. Awliya Allah apabila mengerjakan ibadat tersebut sentiasa mahu memanjangkan waktu tersebut (bagi kita manusia awam, kita mahu memanjangkan waktu untuk memenuhi nafsu kita). Bagi dia waktu bukanlah sesuatu yang perlu di hitung. Mereka sentiasa berada di “waktu sekarang.” Oleh yang demikian, kita perlu selalu merenungi dalaman kita dan pasti kita akan menjumpai “rumah” kita.<br /><br />Di dalam renungan dalaman kita akan menemui haqiqat, iaitu dimensi kerohanian yang tidak ada batasan waktu. Dan di dalam dalaman ini kita akan jumpa “rumah” kita. Di dalam qalb manusia terletaknya “rumah” Allah. Maka carilah haqiqat tersebut di dalam diri kita. Ia terdapat dalam diri kita.<br /><br />Terdapat 6 jenis haqiqat – haqiqat jazbah, haqiqat tawajuh, dsb), kesemuanya ini terdapat di dalam kita. Tetapi kesemuanya itu hanya boleh diberi kepada mereka yang boleh dipercayai. Mereka ini tidak mudah di nodai oleh perasaan bongkak, megah dan sebaigainya. Mereka dapat bertahan dengan segala bentuk dugaan dan sentiasa memuji Allah di dalam segala bentuk keadaan.<br /><br />Allah sentiasa memberi kita keadaan/saat yang baik. Jadilah seorang yang sentiasa bersyukur. Selalu pegang kepada keadaan/saat tersebut.<br /><br />Dunia yang kita tahu ini akan berakhir. Sesetengah kita akan pergi dahulu daripada berakhirnya dunia ini.Oleh yang demikian kenapa kita sering mengejar dunia (yang di cipta)? Kejarlah si Pencipta. Di alam hadrat ilahi waktu tidak ada erti – kita akan dengar bunyi-bunyian seperti ombak di lautan atau gauman harimau. Jadilah seperti ikan di dalam lautan<br /><br />Ini adalah nasihat untuk malam ini yang datang daripada Maulana Sheikh Nazim (qs). Saya berniat untuk memberi suhbah daripada nota-nota Sh. Abdullah (qs), tetapi mereka telah mengubah cadangan saya.<br /><br />Jangan dengar kepada diri yang menyuruh cintakan dunia ini. Dengarlah kepada roh yang suruh mencintai akhirat. Carilah benda-benda yang kekal. Makan makanan kerohanian – ianya tidak akan habis, ianya suci dan bersih.<br /><br />Moga Allah merahmati kita semua malam ini dan kita tujukan segala kebaikan pada malam ini kepada sahabat kita Hanim. Moga Allah mencucuri roh beliau dengan rahmatNya. Roh Hanim bersama kita pada malam ini. Beliau gembira di mana beliau berada sekarang.<br /><br />Moga kita disambut oleh para awliya Allah apabila kita meninggalkan dunia ini. Moga Allah merahmati Maulana Sh. Abdullah (qs) dan Maulana Sh. Nazim (qs). Allah panjangkan usia Maulana Sh. Nazim (qs). Wa minallahi taufiq. Bihurmati habib bihurmati surah fatihah<br /><br /><strong>4)-Mengagungkan kubur (berdoa kepada kubur, mencium kubur, menghiaskan kubur )<br /></strong><br /></span><a href="http://i70.photobucket.com/albums/i113/sabja114/kuburian.jpg"><span style="font-family:courier new;"><img style="FLOAT: left; MARGIN: 0px 10px 10px 0px; WIDTH: 320px; CURSOR: hand" alt="" src="http://i70.photobucket.com/albums/i113/sabja114/kuburian.jpg" border="0" /></span></a><span style="font-family:courier new;"><br /><br /><br /><br />Maqam-maqam mahaguru tareqat Naqshbandi yang terdapat di Bukhara. Dari kiri maqam Sheikh Muhammad Baha'uddin Shah Naqshband, Sheikh Muhammad Baba as-Samasi, Sheikh Amir Kulal dan Arif ar-Riwakri.<br /><br />5)-Khutbah sesat menggunakan hadis yang direka tentang cerita seorang ‘wali’ Allah (yang melakukan suluk hanya di bulan Rejab dan bermaksiat di bulan-bulan lain) . Di sini nabi s.a.w., malaikat Jibril dan Sayyidina Abu Bakar dihina, perlakuan maksiat digalakkan dan kuasa suatu doa yang boleh menjadikan seseorang sebagai wali!!! ( dipetik dari laman web tariqat Naqsyabandiah)<br /><br />“ Satu ketika di zaman Nabi S.A.W, terdapat seorang perompak jalanan yang terkenal. Setiap selepas tengah malam, dia akan menangkap dan merompak sesiapa sahaja yang ditemuinya berjalan berseorangan. Kadang-kala, dia akan memukul dan membunuh orang yang dirompaknya. Selepas merompak, dia terus pulang ke rumah. Tidak ada seorang pun yang mampu menangkap lelaki tersebut. Disebabkan kekejamannya, Nabi S.A.W telah berkata dengan perasaan marah tentang lelaki tersebut: “orang tu jahat, jika dia meninggal, aku tidak akan menyembahyangkan dan mengkebumikannya di tanah perkuburan orang Muslim”.<br /><br />Selepas beberapa tahun, lelaki tersebut meningggal dunia. Dia mempunyai seorang anak perempuan. Malangnya, anak perempuannya tidak menemui seorang pun yang boleh membantunya menguruskan jenazah ayahnya. Disebabkan Nabi S.A.W pernah mencela perbuatan ayahnya- tidak akan menyembahyangkan dan mengkebumikannya di tanah perkuburan orang Muslim, budak-budak nakal telah membawa jenazah tersebut melalui jalan Madina dan membuangnya ke dalam sebuah perigi kosong serta kering.<br /><br />Sebaik sahaja jenazah itu dibuang, Allah telah berfirman kepada Nabi Muhammad S.A.W dan berkata, “Ya Habibi ya Muhammad! Wahai kekasih Ku Nabi S.A.W, hari ini seorang daripada wali Ku telah meninggal dunia. Kamu mesti pergi dan memandikannya, mengkafankannya, menyembahyangkkanya serta mengkebumikannya.”<br /><br />Nabi S.A.W terkejut, sepanjang hidupnya dia telah mencela lelaki tersebut. Sekarang apabila lelaki tersebut meninggal dunia, Allah memberitahu baginda bahawa lelaki tersebut sebenarnya adalah wali-Nya. Bagaimana dia boleh menjadi wali? Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat mencampuri urusan pengetahuan Allah, walaupun Nabi S.A.W. Jika Allah mahu menjadi seorang perompak sebagai wali-Nya, tidak boleh sama sekali kita bertanya “KENAPA?” Kita mesti menerimanya.<br /><br />Oleh sebab itu, mengikut ajaran Sufi dan ajaran di dalam tarekat Naqshbandi, kita mesti melihat orang disekeliling kita adalah lebih baik daripada kita. Kita tidak tahu jika Allah akan menaikkan makam seseorang kepada makam yang lebih tinggi daripada makam kita; Siapa tahu? Tidak akan ada seorang pun yang akan tahu, oleh yang demikian janganlah kita mencampuri urusan-Nya.<br /><br />Jangan memandang rendah kepada orang jika kita merasakan kita lebih baik daripada mereka. Kita tidak tahu sama ada orang tersebut, pada pandangan Allah adalah wali ataupun tidak. Siapa yang tahu? Oleh yang demikian, kita perlu memandang tinggi kepada orang lain, menghormati mereka dan sentiasa merendahkan diri sendiri. Jangan sama sekali menunjukkan ego dan sentiasa berpuas hati.<br /><br />Allah berkata kepada Nabi S.A.W, “Ya Rasulullah, pergi dapatkan dia dan bersihkan dia.” Dengan serta merta, Nabi S.A.W memanggil Saidina Abu Bakar as-Siddiq dan berkata, “Wahai Abu Bakar, kita perlu pergi dan dapatkan ‘lelaki’ tersebut. Abu Bakar berkata, “Ya Rasulullah, kamu pernah berkata yang kamu tidak akan mengkebumikan lelaki tersebut di tanah perkuburan orang Islam, dia bukan seorang muslim!” Nabi S.A.W berkata, “Tidak, tinggalkan persoalan Muslim. Allah memberitahuku hari ini yang lelaki tersebut adalah seorang wali!”<br /><br />Apa yang telah dilakukan oleh perompak tersebut sepanjang hidupnya sehingga dia boleh menjadi seorang wali? Sepanjang hidupnya, dia telah membunuh, merompak dan mencuri. Nabi S.A.W pergi ke perigi tersebut, mengambil mayat lelaki tersebut dengan tangan baginda sendiri, dan membawanya pulang ke rumahnya dengan sahabat-sahabatnya.<br /><br />Kemudian, baginda membersihkannya, memandikannya, mengkafankannya, menyembahyangkannya dan seterusnya membawa jenazah lelaki tersebut daripada masjid Nabi S.A.W. ke Jannat ul-Baqi. Jarak perjalanan dari masjid ke Jannat ul-Baqi ialah 15 minit jika berjalan kaki. Namun begitu, Nabi S.A.W mengambil masa lebih daripada dua jam untuk sampai dari tempat yang pertama ke tempat yang kedua. Semua sahabat-sahabat baginda berasa hairan apabila melihat cara rasulullah S.A.W. berjalan.<br /><br />Dengan tangan baginda sendiri baginda telah membersihkan lelaki tersebut, memandikannya dan menyembahyangkannya. Semasa baginda membawa jenazah tersebut ke tanah perkuburan, baginda berjalan menggunakan jari kakinya (secara mengjinjat). Lantas sahabat-sahabat baginda bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapakah engkau berjalan sedemikian?” Baginda menjawab, “Allah telah memerintahkan semua wali daripada timur dan barat, dan semua malaikat daripada tujuh syurga dan semua kerohanian hadir dan mengiringi jenazah ini. Mereka semua terlalu ramai dan memenuhi jalan, dan aku tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kakiku. Sepanjang hidup aku, tidak pernah aku terkejut seperti hari ini.”<br /><br />Selepas mengkebumikan lelaki tersebut, Nabi S.A.W tidak bercakap dengan sesiapapun sebaliknya baginda terus pulang ke rumah dengan badan yang terketar-ketar. Baginda duduk dengan Saidina Abu Bakar dan bertanya kepada diri baginda tentang apa yang telah dilakukan oleh wali tersebut; menjadi perompak sepanjang hidupnya tetapi mendapat pengiktirafan yang cukup tinggi dari Allah.<br /><br />Saidina Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, aku berasa malu untuk bertanyakan tentang apa yang telah aku saksikan hari ini, ia sesuatu yang menghairankan.” Kemudian, Nabi S.A.W. menjawab,” Wahai Abu Bakar, aku lebih terkejut dari kamu, dan aku sedang menunggu kehadiran Jibril (s) dan memberitahuku apa yang telah berlaku”<br /><br />Apabila Jibril (s) datang, Nabi S.A.W berkata,” Wahai Jibril, apakah yang sebenarnya berlaku?” Jibril (s) menjawab,” Wahai Nabi S.A.W., janganlah engkau bertanya aku. Aku juga hairan sepertimu. Oleh sebab itu, jangan berasa hairan kerana Allah boleh lakukan apa sahaja yang orang lain tidak dapat lakukan dan Dia memberitahu kamu untuk bertanyakan anak lelaki tersebut tentang apa yang telah dilakukannya semasa hayatnya.”<br /><br />Dengan serta-merta dan ditemani oleh Saidina Abu Bakar, Nabi S.A.W. dengan sendirinya pergi ke rumah perompak tersebut. Nabi S.A.W. dengan rendah diri meletakkan kuasa dan statusnya sebagai manusia paling sempurna yang dicintai Allah pergi ke rumah perompak tersebut untuk bertanyakan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya semasa hanyatnya: “Wahai anakku, sila ceritakan kepadaku bagaimanakah kehidupan ayahmu.” Anak perempuan lelaki tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, aku begitu malu dengan apa yang akan aku ceritakan kepada kamu. Ayahku seorang pembunuh, seorang pembunuh.<br /><br />Aku tidak pernah melihat dia melakukan sebarang kebaikan. Dia akan merompak dan mencuri siang dan malam kecuali satu bulan. Apabila bulan tersebut tiba, dia akan berkata: “Bulan ini adalah bulan tuhanku, kerana ayahku pernah mendengar engkau berkata, Rejab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulan Nabi S.A.W. dan Ramadan adalah bulan umat Muhammad.” Kemudian ayahku berkata lagi, “aku tidak kisah dengan bulan Nabi S.A.W. atau bulan umat Muhammad, kecuali bulan tuhanku. Oleh sebab itu aku akan duduk di dalam bilikku bersendiriaan, dan bersuluk sepanjang bulan ini.<br /><br />Nabi S.A.W bertanya kepada anak perempuan itu lagi, “Apakah jenis suluk yang dia telah lakukan?” Dia menjawab,” Wahai Rasulullah, satu hari ketika ayahku sedang berjalan untuk mencari seseorang yang boleh dirompaknya, dia bertemu dengan seorang lelaki tua yang berumur 70-80 tahun. Lantas ayahku memukulnya sehingga pengsan, dan kemudiannya merompaknya.<br /><br />Dia menemui sehelai kertas kecil yang tergulung pada orang tua tersebut. Kemudian, dia membukanya dan mendapati di dalamnya ada satu doa. Ayahku amat gembira dengan doa tersebut. Setiap tahun, apabila datang bulan Rejab-bulan Allah , ayahku akan duduk bersendirian dan membaca doa tersebut siang dan malam, menangis dan membaca, kecuali keluar untuk makan dan membersihkan diri. Apabila bulan Rejab berakhir, dia akan bangun dan berkata, bulan Allah telah tamat, sekarang untuk menggembirakan ku aku akan kembali merompak dan mencuri untuk 11 bulan yang akan datang.<br /><br />Doa (</span><a style="COLOR: black; TEXT-DECORATION: underline; text-underline: single" href="http://www.naqshbandi-utara.org/Haqqani/amalan_bulan_rejab.htm"><span style="font-family:courier new;">Doa awliya’ Abbas</span></a><span style="font-family:courier new;">) yang digunakan oleh lelaki tersebut adalah sangat penting dan kita dinasihatkan untuk membacanya 3 kali sehari ketika bulan Rejab. Maulana Sh. Nazim berkata doa ini mencuci semua dosa dan menjadikan kamu putih seperti bayi yang baru dilahirkan. Doa ini amat terkenal di dalam ajaran sufi. Apabila Nabi S.A.W meminta anak perempuan lelaki tersebut memberikan doa tersebut kepadanya, baginda terus mencium kertas doa tersebut dan menyapunya pada badan baginda. Jangan tinggalkan doa dan amalkannya ketika bulan ini datang, teruskan membacanya, dan Allah akan memberi kepada kita, Insyallah. Bergantung kepada niat masing-masing.<br /><br />Allah telah berkata kepada Nabi S.A.W., “Wahai Nabi yang Kucintai, orang itu telah datang dan memohon keampunan dari Ku di dalam bulan yang sangat berharga. Oleh sebab itu, kerana dia berkorban sekurang-kurangnya satu bulan dalam setahun untuk Ku, Aku ampunkan semua kesalahannya, dan aku tukarkan semua dosanya kepada ganjaran. Kerana dia mempunyai terlalu banyak dosa, sekarang dia mempunyai banyak ganjaran, dan dia kini menjadi wali besar.” Kerana satu doa, Allah jadikan seseorang yang tidak pernah beribadat sepanjang hidupnya menjadi wali.”<br /><br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155110437780711222006-08-09T00:58:00.000-07:002006-08-09T01:00:37.870-07:00Aqidah Falsafah<span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ibnu Arabi telah mengukuhkan aqidahnya yang batil ini dengan dalil-dalil dan hujah-hujah yang ternyata mudah dipatahkan. Tetapi beliau dan kuncu-kuncunya sering mengelirukan orang ramai dengan mendakwa percakapan mereka tidak dapat difahami kecuali oleh sesiapa yang mempunyai perasaan dan citarasa yang sama serta mengenal makrifat mereka.<br /><br />Sedangkan apa yang diperkatakan oleh Ibnu Arabi dan kuncu-kuncunya itu tidak lebih dari aqidah falsafah yang terdapat di dalam berpuluh-puluh buah buku falsafah. Seperti mana yang diketahui umum, aqidah falsafah itu mengandungi ajaran-ajaran yang boleh mengubah aqidah sebenar kaum muslimin mengenai Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bersifat sempurna di dalam segala-galanya yang tidak diserupai oleh sesiapa dari kalangan makhluk-Nya, bahkan Dialah Allah Yang Maha Esa Lagi Tunggal, yang menjadi tumpuan segala permohonan, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada suatu pun yang setanding dengan–Nya!<br /><br /><br />Sewaktu menjelaskan aqidahnya yang salah itu, Ibnu Arabi telah menggunakan sepotong hadith maudu’ “<strong>من عرف نفسه فقد عرف ربه”</strong> (barang siapa telah mengenal dirinya maka sesungguhnya ia telah mengenal tuhannya), dengan berkata: “Nabi a.s. telah bersabda: ”Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal tuhannya! Baginda adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah. Para hukama’ dan Abu Hamid telah mendakwa mengenai tuhan tanpa melihat kepada alam ini adalah salah. Ya, anda telah mengenal zat Qadim yang azali. Anda tidak mengenal ianya tuhan melainkan sehingga dikenali yang dituhankan. Itulah dalilnya. Kemudian selepas ini, di dalam hal yang kedua, anda dikasyafkan bahawa al-Haq sendiri itulah yang menjadi dalil bagi dirinya dan ketuhanannya.<br /><br />Alam ini hanyalah keserlahannya dalam bentuk-bentuk ain yang tetap yang mustahil berlaku kewujudannya tanpa keserlahannya itu. Keserlahannya berbagai-bagai dan berupa-rupa mengikut hakikat ain-ain tersebut dan keadaannya. Ini selepas kita tahu bahawasanya ia adalah tuhan bagi kita. Kemudian datang pula kasyaf yang lain yang melahirkan kepada anda bentuk-bentuk rupa kita pada-Nya. Maka lahirlah kita sesetengah kita pada pandangan setengah yang lain di dalam al-Haq, dan dengan itu kenallah kita satu sama lain.” (Fususul Hikam, halaman 81-82)<br /><br />Di sini Ibnu Arabi telah menyangkal Imam al-Ghazali dan sesetengah ahli tasawwuf yang lain yang mengatakan bahawa mengenal al-Haq itu tidak disyaratkan memandang kepada alam buana, bahkan ia datang secara langsung melalui kasyaf tanpa bergantung kepada alam buana yang kelihatan di depan mata sebagai bukti Allah Subhanahu Wa Ta’ala penciptanya. Ibnu Arabi mengatakan cara ini hanya untuk mengenal zat Qadim yang azali sahaja. Untuk mengenal al-Haq, perlulah melalui perbuatan memandang alam buana, agar anda mengetahui apa yang anda saksikan itu ialah al-Haq.<br /><br />Bentuk-bentuk rupa yang disaksikan di alam buana itulah sebenarnya al-Haq atau Allah, dan itulah buktinya, menurut Ibnu Arabi. Kemudian timbullah kasyaf yang lain di mana manusia itu sendiri merasakan dirinya sebagai satu daripada bentuk-bentuk rupa al-Haq. Pada ketika itu ia mengenal dirinya dan seterusnya mengenal tuhannya. Ia tahu dirinya itulah Allah dan seterusnya mengetahui Allah itu ialah setiap yang wujud!! Demikian kesimpulan Ibnu Arabi.<br /><br />Selain dari itu Ibnu Arabi juga telah menjadikan kambing kibas yang diturunkan Allah untuk disembelih Nabi Ibrahim a.s. menggantikan anaknya Nabi Ismail a.s. itu sebagai Allah. (Fususul Hikam, halaman 84) Ini berdasarkan kepada aqidah wahdatul wujud yang batil itu. Bahkan ketelanjuran dan kebiadapan Ibnu Arabi begitu menjolok sehingga beliau tidak teragak-agak mendakwa bahawa al-Haq tidak dapat disaksikan dengan sepenuhnya dan tidak diketahui dengan sepenuhnya makrifat kecuali pada diri wanita ketika dalam kelazatan dan syahwat!! (Fususul Hikam, halaman 217-218)<br /><br />Pendedahan mengenai aqidah Ibnu Arabi yang salah ini dibuat memandangkan kuncu-kuncunya dan penyokong-penyokongnya masih terus terdapat pada masa kini dengan menganggapkan penyeru-penyerunya sebagai wali-wali dan mengkafirkan sesiapa yang menentangnya. Adalah dibimbangkan mereka ini berjaya menyusup masuk di pusat-pusat yang bertanggungjawab dengan dakwah Islamiah di sesetengah negara Islam dan mencemari fikiran orang ramai dengan aqidah yang batil itu tanpa disedari.<br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155110272427875882006-08-09T00:56:00.000-07:002006-08-09T00:57:52.496-07:00Seksaan Neraka Suatu Kenikmatan!<span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Setiap orang yang beriman tentu takutkan seksaan api neraka dan merasa gerun mendengar mengenainya. Tetapi ternyata ianya tidak mendatangkan sebarang kesan kepada Ibnu Arabi yang bukan sahaja tidak mengendahkannya, sebaliknya menganggapnya suatu kenikmatan yang disediakan oleh Allah kepada mereka setaraf dengan kenikmatan syurga!! Api neraka itu adalah sebagai kulit yang menyembunyikannya, di belakangnya kenikmatan yang berkekalan bagi ahli neraka (Fususul Hikam, halaman 94).<br /><br />Tetapi Ibnu Arabi juga ada menyebut, “Di antara hamba-hamba Allah ada yang mengalami kepedihan-kepedihan di dalam kehidupan yang lain di tempat yang dinamakan Neraka Jahanam. Namun begitu tiada seorang pun di kalangan ahli ilmu yang mengetahui perkara tersebut dapat mempastikan hamba-hamba Allah itu tidak mengalami kenikmatan yang di khususkan kepada ahli neraka, samada dengan kehilangan kepedihan yang mereka alami yang diangkat dari mereka, dan dengan itu kenikmatan mereka ialah kerehatan dari merasai kepedihan itu, atau kenikmatan itu suatu tambahan yang berasingan seperti nikmat ahli syurga. (Fususul Hikam, halaman 114)<br /><br />Bagi Ibnu Arabi, api neraka itu adalah sejuk dan selamat bagi penghuni-penghuninya persis seperti api besar yang dinyalakan oleh Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim a.s, tetapi menjadi sejuk dan selamat bagi Nabi Ibrahim a.s. Mengenai hal ini Ibnu Arabi menegaskan: “Adapun ahli-ahli neraka itu, maka nasib mereka adalah kenikmatan tetapi di dalam api neraka.<br /><br />Kerana tentunya api neraka itu selepas tamat tempoh azab seksanya, ia menjadi sejuk dan selamat bagi sesiapa yang berada di dalamnya. Inilah kenikmatan mereka, iaitu kenikmatan selepas menyempurnakan hak-hak. Ahli neraka itu menghayati kenikmatan yang dirasai Nabi Ibrahim Khalilullah ketika dicampakkan ke dalam api yang sedang marak menyala. Ketika melihatnya, Nabi Ibrahim a.s. merasa terseksa berdasarkan pengetahuannya bahawa api itu suatu rupa bentuk yang menyakitkan bagi sesiapa saja yang mendekatinya dari kalangan yang hidup.” (Fususul Hikam, halaman 161)<br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155110146139441552006-08-09T00:51:00.000-07:002006-08-09T00:55:46.230-07:00Orang Kafir Dikatakan Beriman<span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Untuk mendedahkan lagi kemungkarannya, Ibnu Arabi mengakui pula kebenaran kaum Nabi Nuh a.s. yang sesat lagi berdosa itu, bahkan beliau menganggapkan semua orang kafir di muka bumi sebagai orang-orang yang beriman dan mentauhidkan Allah, juga sebagai golongan ‘arifin yang berhubungan secara langsung dengan Allah. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Sebaliknya pula beliau mendakwa orang-orang mukmin itu hanya beriman kepada sebahagian kebenaran sahaja dan kufur pada bahagian-bahagian yang lain. Ibnu Arabi juga tidak melupakan Firaun yang dikenali oleh dunia sebelum Ibnu Arabi sebagai manusia paling kafir dan paling zalim, tetapi Ibnu Arabi memasukannya di dalam golongan orang-orang mukmin yang mentauhidkan Allah serta memperolehi syurga. Mengenai hal ini Ibnu Arabi berkata antara lain:<br /><br />“Oleh kerana Firaun memegang jawatan pemerintah maka dialah pemilik waktu. Dia seorang khalifah dengan kekuatan mata pedang walaupun ia jahat mengikut kebiasaan undang-undang, kerana itu ia berkata: “Aku tuhan kamu yang tertinggi”. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Andainya segala-gala itu merupakan tuhan-tuhan berdasarkan kepada sesuatu, tetapi aku adalah tuhan kamu yang tertinggi dari kalangan mereka, kerana pada lahirnya aku telah memberinya kuasa pemerintahan ke atas kamu, dan apabila ahli-ahli sihir mengetahui kebenarannya di dalam kata-katanya itu dan mereka tidak mengingkarinya bahkan menyetujuinya dengan berkata: “Sesungguhnya engkau memerintah kehidupan dunia ini, maka hukumlah apa yang engkau mahu hukumkan! Kerajaan itu kepunyaan mu”, maka betullah kata-kata itu: “Aku ialah tuhan kamu yang tertinggi”. (Fususul Hikam,halaman 210-211).<br /><br />Kata-kata Ibnu Arabi ini setara dengan kata-kata al-Hallaj mengenai Firaun seperti mana yang telah disebutkan di dalam siri yang terdahulu. Ini membuktikan bahawa aqidah yang didakwakan oleh golongan bertasawuf itu adalah sama saja. Selain dari itu, seperkara lagi yang harus disedari pembaca ialah tentang keceluparan Ibnu Arabi menyebut bahawa Firaun itu khalifah dengan kekuatan mata pedang. Beliau telah menqiaskan Firaun sebagai “Khalifah” dengan lafaz khalifah di dalam firman Allah kepada Nabi Daud a.s. : “<strong>يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ</strong> “ (Surah Shad, Ayat 26) Maksudnya lebih kurang: “Wahai Daud! Sesungguhnya kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi.”<br /><br />Sedangkan Khalifah Nabi Daud a.s. itu ialah khalifah kenabian dari kurniaan Allah, sementara Firaun ialah seorang raja yang terkenal zalim dan jahat di dalam sejarah pemerintahan negeri Mesir! Di samping itu Ibnu Arabi telah melebihkan syariat Nabi Musa a.s. itu sebagai “uruf” iaitu apa yang diketahui oleh Nabi Musa a.s. sahaja, tidak lebih dari itu. Kerana itulah sesetengah golongan bertasawuf menuduh Nabi Musa a.s. bersifat jahil, sebaliknya menganggapkan Firaun sebagai berilmu dan bermakrifat!<br /><br />Berdasarkan kepada aqidah yang batil itu jugalah Ibnu Arabi membenari sikap as-Samiri dan tindakannya membuat patung anak lembu yang telah mempersonakan Bani Israel sehingga mereka menyembahnya sebagai ganti menyembah Allah! Ibnu Arabi telah menyalahkan Nabi Harun a.s. kerana dikatakan tidak mengenal al-Haq dan mengingkari perbuatan Bani Israel itu. Ibnu Arabi mendakwa bahawa Nabi Musa a.s. telah mengenal al-Haq dan mengancam as-Samiri kerana membataskan tuhan hanya kepada satu benda sahaja, Sedangkan ain sesuatu itu ialah ain tuhan itu sendiri, iaitulah Ain al-Haq! Mengenai ini Ibnu Arabi menegaskan:<br /><br />“Kemudian Harun telah berkata kepada Nabi Musa a.s. : Sesungguhnya aku takut engkau akan berkata kepada aku : Engkau telah memecahbelahkan Bani Israel (seperti mana firman Allah di dalam surah Thoha, ayat 94 -penulis) dan engkau menjadikan aku sebagai penyebab pecah belah mereka. Sebenarnya penyembahan terhadap patung anak lembu itulah yang telah memecahbelahkan mereka. Di antara mereka ada yang menyembahnya mengikuti perbuatan as-Samiri dan menirunya. Ada yang tidak menyembahnya sehingga Nabi Musa a.s. datang semula kepada mereka dan mereka menanyakannya mengenai perkara itu. Harun a.s takut pecah belah mereka dikatakan berpunca darinya. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Nabi Musa a.s. lebih mengetahui perkara itu daripada Harun, kerana tahu apa yang disembah oleh penyembah-penyembah patung anak lembu itu. Sebab menurut pengetahuannya, Allah telah memerintahkan supaya tidak disembah melainkan Dia… Allah tidak memerintahkan dengan sesuatu melainkan ianya berlaku… kecaman Nabi Musa a.s. ke atas saudaranya Harun itu ialah kerana pengingkaran Harun terhadap perbuatan Bani Israel menyembah patung anak lembu dan kerana kekurangan pengetahuannya. Sesungguhnya orang yang arif itu ialah siapa yang melihat al-Haq pada segala sesuatu, bahkan melihatnya pada ain setiap sesuatu.” (Fususul Hikam, halaman 192).<br /><br />Di sini jelas kepada para pembaca bahawa Ibnu Arabi mendakwa Nabi Musa a.s. mengetahui penyembah-penyembah patung anak lembu itu sebenarnya menyembah Allah kerana Allah telah berfirman : “<strong>وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ”</strong> (Surah Al-Isra’, Ayat 23) Maksudnya lebih kurang: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan jangan kamu menyembah melainkan Dia.” Ibnu Arabi telah menjadikan perintah ini sebagai suatu perintah menyembah seluruh alam buana mengikut yang telah ditetapkan, dan bahawa Allah tidak memerintahkan dengan sesuatu melainkan ianya tetap berlaku. Menurut Ibnu Arabi, ini bererti bahawa setiap ma’bud (yang disembah) di muka bumi ialah Allah, dan manusia tidak menyembah sesuatu seperti batu atau sebagainya melainkan ia menyembah Allah dengan berdasarkan kepada lafaz “qada” yang bererti “telah memerintahkan” yang mana ini adalah hukum syarak!<br /><br />Ibnu Arabi mengakhiri ungkapannya tadi dengan menyebut: “Orang yang arif ialah yang melihat al-Haq pada segala sesuatu bahkan melihatnya pada ain setiap sesuatu.” Inilah kemuncak aqidah tasawuf. Istilah “al-Haq” menurut dakwaan Ibnu Arabi dan konco-konconya ialah Allah sendiri!<br /><br />Ibnu Arabi telah menghuraikan aqidahnya yang salah itu dengan menyelewengkan maksud firman Allah Ta’ala: “<strong>فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ”</strong> (Surah Thoha, 95) Maksudnya lebih kurang: “Bagaimana halmu, wahai Samiri?” Menurut Ibnu Arabi erti ayat ini ialah mengapa engkau khususkan anak lembu saja sebagai tuhan, sedangkan aqidah ini menganjurkan bahawa segala-gala itu ialah Allah? Kerana itulah Nabi Musa a.s. membakar patung anak lembu itu agar gambaran tuhan tidak terbatas pada satu benda sahaja! Nabi Musa a.s. telah berkata kepadanya: “<strong>وَانظُرْ إِلَى إِلَهِكَ”</strong> (Surah Thoha, ayat 97) Maksudnya lebih kurang: “Dan lihatlah kepada tuhanmu!” Nabi Musa a.s. menamakan patung anak lembu itu tuhan untuk menyedarkan as-Samiri dengan tujuan mengajarnya bahawa patung anak lembu itu ialah sebahagian dari gambaran-gambaran nyata Ilahi.” (Fususul Hikam, halaman 192)<br /><br />Selepas memberikan tafsiran yang salah lagi menyesatkan mengenai cerita Nabi Musa a.s. dengan saudaranya Harun dan as-Samiri dengan patung anak lembu ciptaannya itu, Ibnu Arabi menyentuh pula perbuatan dan amalan kaum musyrikin Quraisy yang menyembah berhala dan patung-patung di Kota Mekah. Orang-orang kafir Quraisy itu telah memberi alasan terhadap perbuatan mereka tersebut seperti mana yang difirmankan oleh Allah: ” <strong>مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى”</strong> (Surah az-Zumar, Ayat 3) Maksudnya lebih kurang: “Kami tidak menyembahnya melainkan supaya menghampirkan kami kepada Allah dengan sehampir-hampirnya”. Ibnu Arabi mendakwa kaum musyrikin Quraisy itu tidak mengingkari Allah, sebaliknya mengkagumi-Nya. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Kerana mereka berdiri tegak bersama-sama dengan gambaran-gambaran dan rupa-rupa bentuk yang mereka namakan tuhan-tuhan. Beliau juga mendakwa Rasulullah s.a.w datang menyeru kaum musyrikin Quraisy itu menyembah tuhan yang dikenali dengan sifat-sifatnya sahaja, bukan yang boleh disaksikan dengan mata kepala! Kata Ibnu Arabi: “Dia (iaitu Rasulullah s.a.w) telah menyeru supaya disembah tuhan yang menjadi tumpuan segala permohonan dan yang diketahui secara ringkas, tidak boleh disaksikan dan tidak ditanggap pandangan. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ia halus dan mengalir pada ain segala benda, tidak dapat ditanggap penglihatan. Ianya maha halus, lagi maha mengetahui. Pengetahuan itu adalah citarasa, dan citarasa itu ialah Tajalli (keserlahan), dan tajalli dalam rupa-rupa bentuk itu adalah suatu kemestian. Siapa yang melihatnya mesti menyembahnya dengan sepenuh keberahian, jika anda faham ………..” Kemudian dengan mengejek mereka yang tidak memahami kata-katanya itu Ibnu Arabi berkata: “Kepada Allah segala tujuan.” (Fususul Hikam, halaman 192)<br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155109815287940402006-08-09T00:46:00.000-07:002006-08-09T00:50:15.373-07:00Menukar Pengertian Ayat Al-Quran<span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Kelancangan Ibnu Arabi menukar pengertian sebenar ayat–ayat al-Qur'an berterusan tanpa tanda–tanda yang menunjukkan bahawa beliau melakukannya tanpa disengajakan. Mengenai firman Allah : “<strong>وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالاً”</strong> (Janganlah engkau tambahkan kepada orang-orang yang zalim itu melainkan kesesatan – Surah Nuh ayat 24), Ibnu Arabi mentafsirkannya sebagai “orang-orang yang zalim itu tidak menambahkan bagi diri mereka melainkan kehairanan.” (Fususul Hikam halaman 73)<br /><br />Pada ayat seterusnya “<strong>مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا”</strong> (Surah Nuh, ayat 25, maksudnya lebih kurang: “Oleh kerana kesalahan–kesalahan mereka, lalu mereka ditenggelamkan”), Ibnu Arabi mentafsirkannya: “Dari yang telah digariskan bagi mereka, lalu kaum Nabi Nuh a.s. tenggelam di dalam samudera ilmu mengenai Allah.” (Fususul Hikam, halaman 33)<br /><br />“<strong>فَلَمْ يَجِدُوا لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ أَنصَاراً”</strong> (Surah Nuh, Ayat 25) Maksudnya lebih kurang: “Maka mereka tidak memperolehi penolong-penolong selain Allah.” Ibnu Arabi mentafsirkan: “Allah itulah penolong mereka, lalu mereka musnah padanya selama-lama.” (Fususul Hikam, halaman 33).<br /><br />Mengenai doa Nabi Nuh a.s. seperti mana firman Allah: ” <strong>إِنَّكَ إِن تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ”</strong> (Surah Nuh, Ayat 27). Maksudnya lebih kurang: ”Sesungguhnya Engkau, jika meningggalkan mereka, nescaya mereka menyesatkan hamba-hamba Mu…… .” Ibnu Arabi mentafsirkannya: “Jika engkau tinggalkan mereka, nescaya mereka membingungkan hamba-hamba Mu dan mengeluarkan mereka dari keadaan ‘Ubudiah kepada keadaan berada di tengah-tengah rahsia Rububiah, lalu mereka melihat diri mereka sendiri sebagai tuhan-tuhan selepas menjadi sebagai hamba-hamba. Dengan itu mereka ialah hamba-hamba dan juga tuhan-tuhan. (Fususul Hikam, halaman 74)<br /><br />Tafsiran Ibnu Arabi ini semakin memperlihatkan betapa jauhnya kesesatan dan kefasikan beliau kerana menjadikannya kesesatan kaum Nabi Nuh a.s. itu sebagai kebingungan sahaja, sebab mereka sebenarnya, menurut dakwaan Ibnu Arabi, mengetahui rahsia-rahsia ketuhanan dan bahawa setiap yang wujud itu ialah Allah, dan dengan itu mereka sendiri menjadi tuhan-tuhan!!<br /><br />Ayat terakhir surah Nuh iaitu:<br /><br />” <strong>رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِناً وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَاراً”.</strong> (Surah Nuh Ayat 28) Maksudnya lebih kurang: ”Wahai Tuhanku! Ampunilah bagiku dan bagi kedua ibu bapaku dan bagi sesiapa yang memasuki rumahku sebagai orang mukmin, dan bagi orang mukmin lelaki dan perempuan, dan janganlah engkau tambahkan kepada orang-orang yang zalim itu kecuali kebinasaan.”<br /><br />Ibnu Arabi telah mentafsirkannya dengan berkata: “Ianya kata-kata Nabi Nuh a.s. selebihnya yang bererti: “Wahai tuhanku! Lindungilah aku, dan bagi akal dan tabiatku, bagi hatiku, bagi akal, bagi diri dan jiwa, dan janganlah engkau tambahkan kepada ahli-ahli ghaib itu melainkan kebinasaan sebab mereka tidak mengenal diri-diri mereka kerana penyaksian mereka terhadap wajah al-Haq di depan mereka.” Kemudian Ibnu Arabi berkata pula selepas itu, “Barang siapa mahu mengetahui rahsia-rahsia Nabi Nuh a.s., maka ia hendaklah menaiki bahtera Nabi Nuh. Bagi kami ianya berada di tanah rendah Maushul, dan Allah mengatakan yang benar.” (Fususul Hikam, Ayat 210-211)<br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155109511151271762006-08-09T00:41:00.000-07:002006-08-09T00:45:11.256-07:00Antara Isi Kandungan Fususul Hikam.<span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Seperti mana yang telah disebutkan, buku “Fususul Hikam” merupakan himpunan seluruh aqidah kepercayaan Ibnu Arabi. Ia menyentuh hal-hal mengenai Allah, agama-agamanya, hidayah serta nur yang diperolehi oleh Ibnu Arabi secara langsung dari sumbernya yang asal menurut dakwaannya. Di bawah ini diperturunkan sebahagian dari dakwaan-dakwaannya yang terkandung di dalam bukunya itu.<br /><br />Ibnu Arabi mendakwa bahawa kaum Nabi Nuh a.s. telah memberikan jawapan yang betul dan benar kepada Nabi Nuh apabila mereka mengatakan Nabi Nuh a.s. telah memperdayakan mereka, lalu mereka memperdayanya balik, dan bahawa pegangan mereka kepada berhala–berhala sembahan mereka itu adalah pegangan yang hak mahu di hapuskan oleh Nabi Nuh a.s! Di antara ungkapan Ibnu Arabi mengenai hal ini ialah :<br /><br />“Orang yang berilmu mengenai Allah tahu apa yang diisyaratkan Nabi Nuh a.s. mengenai hak-hak kaumnya dengan memuji mereka melalui kata-kata celaan ke atas mereka. Nabi Nuh a.s. tahu bahawa mereka tidak menyahut dakwahnya disebabkan mengandungi Furqan (pemisah di antara haq dan batil) sedangkan perintah itu ialah al-Qur'an bukan Furqan. Barang siapa yang telah ditegakkan dengan al-Qur'an tentunya ia tidak mendengar kepada Furqan, walaupun Furqan itu terdapat di dalam al-Qur'an. Nabi Nuh a.s. menyeru mereka dengan tujuan untuk mengumpulkan mereka bukan untuk mendedahkan kesalahan mereka, dan mereka memahaminya. </span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"></span><br /><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Kerana itu mereka meletakkan jari di telinga masing-masing dan menutup kepala mereka dengan kain. Semua ini merupakan gambaran perlindungan yang diserukan Nabi Nuh a.s. kepada kaum nya, dan mereka telah menjawab seruannya itu dengan perbuatan bukan dengan lafaz Labaik (Ya! Kami menyahut seruan mu! – penulis).<br /><br />“Nabi Nuh a.s. berkata di dalam pesanan hikmatnya kepada kaumnya : “<strong>يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً”</strong> iaitu “Dia mengutuskan langit kepada kamu dengan makrifat makrifat aqliah di dalam pengertian dan pengamatan”. “<strong>وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ”</strong> iaitu “Dia membekalkan kamu dengan apa yang mencorakkan kamu kepadaNya.” Barang siapa berkhayal telah melihat-Nya, ia sebenarnya tidak tahu. Adapun siapa di antara kamu yang tahu ia telah melihat dirinys sendiri, maka ia itulah yang mengetahui atau yang arif.” (Fususul Hikam, halaman 71).<br /><br />Di sini ternyata Ibnu Arabi secara berani mentafsirkan … <strong>مِّدْرَاراً…</strong> yang bererti hujan dan kesuburan yang merupakan hasil amalan soleh, ketaqwaan, keimanan dan istighfar itu sebagai makrifat, aqliah, dan mentafsirkan “ِأَ<strong>مْوَالٍ</strong>” bererti iaitu harta benda sebagai sesuatu yang mencederungkan kaum Nabi Nuh a.s. kepadanya, lalu mereka dapat melihat bentuk mereka padanya! Inilah konsep Wahdatul Wujud. Kerana itulah kemudian Ibnu Arabi berkata “Maka barangsiapa di antara kamu berkhayal telah melihatnya, ia sebenarnya tidak tahu. Adapun sesiapa di antara kamu yang telah melihat dirinya sendiri, maka ia itulah yang mengetahui atau yang arif!”<br /><br />Kemudian Ibnu Arabi berkata lagi mengenai firman Allah “<strong>وَمَكَرُوا مَكْراً كُبَّاراً”</strong> (Dan mereka telah menipu daya tipuan yang besar”). Ini adalah sesuatu penipuan terhadap pihak yang didakwah. Nabi Nuh a.s. berkata: “Aku menyeru kepada Allah, ini adalah suatu tipu daya dalam keasliannya. Lalu mereka menjawap Nabi Nuh a.s. dengan suatu tipu daya juga seperti mana ia menyeru mereka.” (Fususul Hikam, halaman 72)<br /><br />Di sini pembaca dapat menanggap bagaimana Ibnu Arabi telah menjadikan dakwah kepada Allah itu suatu cara tipu daya terhadap pihak-pihak yang didakwah, bahkan ianya tipudaya yang sejati! Kemudian Ibnu Arabi menerangkan pula jenis tipu daya yang dibalas oleh kaum Nabi Nuh a.s. kepada nabi mereka itu dengan berkata: “Lalu mereka pun berkata di dalam tipu daya mereka: Janganlah kamu tinggalkan tuhan-tuhan kamu! Dan janganlah kamu tinggalkan Wad, Suwa’ Yaghuts, Ya’uk, Nasr! Sesungguhnya jika mereka meninggalkan tuhan-tuhan mereka bererti mereka jahil tentang al-Haq mengikut kadar mereka meninggalkannya. Kerana sesungguhnya al-Haq itu ada wajahnya pada semua ma’bud (yang disembah) yang diketahui oleh sesiapa yang mengetahui, dan dijahili oleh sesiapa yang jahil ……. Tidak disembah selain Allah pada setiap ma’bud.” (Fususul Hikam, halaman 73)<br /><br />Ini menunjukkan Ibnu Arabi telah menjadikan berhala-berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh a.s. itu sebagai tuhan-tuhan yang sebenar kerana menurutnya berhala–berhala itu merupakan satu daripada wajah–wajah Allah Yang Maha Haq. Dengan itu mereka sebenarnya adalah menyembah Allah!! </span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1155109121847188772006-08-09T00:35:00.000-07:002006-08-09T00:38:51.773-07:00Buku Fususul Hikam<span style="font-family:trebuchet ms;">Di dalam bukunya Fususul Hikam yang merupakan penamat karya-karyanya dan penghimpun seluruh aqidah kepercayaannya, Ibnu Arabi merakamkan di dalam kata-kata pendahuluannya sebagai berikut:<br /><br />Amma Ba’du, Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah s.a.w berwajah gembira. Aku mimpikannya pada sepuluh terakhir bulan Muharram tahun 627 di Mahrusah, Damsyik, dan di tangannya ada sebuah kitab. Baginda berkata: “Ini ialah kitab Fususul Hikam. Ambillah dan terbitkanlah kepada orang ramai supaya mereka manfaatkannya.” Aku menjawab: “Kami dengar dan kami patuh kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil amri dari kalangan kami seperti mana yang diperintahkan kepada kami.”<br /><br />Kemudian Ibnu Arabi berkata lagi, “Lalu aku laksanakan harapan itu, aku tuluskan niat dan aku betulkan tekad dan tujuan untuk menonjolkan kitab ini seperti mana yang ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w tanpa tambahan dan kekurangan.” (Fususul Hikam, halaman 47, Cetakan Beirut).<br /><br />Di halaman lain selepas menyebut maudu’–maudu’ kitab itu, Ibnu Arabi berkata: “Aku berpada menyebut hikmah di dalam kitab ini mengikut yang telah sabith di dalam Ummul Kitab (al-Qur'an–penulis). Aku mengikuti mana yang telah digariskan kepadaku dan aku berhenti setakat mana yang telah ditetapkan kepadaku. Andainya aku mahu menambahkan lebih dari itu nescaya aku tidak bermaya melakukannya kerana hadhrat menahanku berbuat demikian.” (Fususul Hikam, halaman 58)<br /><br />Di dalam bab <strong>“</strong> <strong>فص حكمة علوية في كلمة موسوية “</strong> (Permata Hikmah Tertinggi Pada Kata-Kata Nabi Musa), Ibnu Arabi berkata: “Insya Allah, aku akan menyebutkan sebahagian darinya di dalam kitab ini mengikut sekadar perintah Ilahi yang terlontar di dalam hatiku. Ia adalah yang pertama sekali di pertuturkan kepada ku di dalam bab ini.” (Fususul Hikam, halaman 58)<br /><br />Petikan-petikan dari Muqadimmah buku “Fususul Hikam” ini, juga dari celah-celah lembaran yang lain, menyarankan kepada kita ketegasan Ibnu Arabi yang mendakwa bahawa beliau telah menaqal secara langsung dari Allah bahkan secara mulut, terus dari Luh Mahfuz dan dari Rasulullah s.a.w yang menyuruhnya, di dalam mimpi yang didakwanya itu, supaya menerbitkan buku tersebut kepada orang ramai.<br /><br /><br /></span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1154408223729472532006-07-31T21:54:00.000-07:002006-07-31T21:57:14.740-07:00Konsep Wahdatul Wujud<span style="font-family:trebuchet ms;">Menurut aqidah tasawuf, Wahdatul Wujud bererti tiada yang wujud di alam buana ini selain Allah. Segala bentuk rupa makhluk yang kelihatan hanyalah gambaran luaran bagi hakikat yang satu iaitulah hakikat Allah (<strong>تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا</strong>). Kewujudan rupa bentuk hakikat ini di alam buana yang kelihatan itu adalah berbagai-bagai aneka. Tetapi alam buana ini, menurut aqidah batil yang mereka dakwakan itu, adalah Allah sendiri (<strong>تعالى الله عن ذلك</strong>).<br /><br />Al-Hallaj umpamanya telah meluahkan aqidah ini secara terus terang seperti yang telah disebutkan di dalam siri yang lalu. As-Syibli juga telah menyebutkannya secara tidak langsung dan berputar belit. Sementara Al-Junaid pula telah menyebutnya dengan lebih berhati-hati dan cermat.<br /><br />Pada mulanya aqidah ini tinggal tetap di dalam pengetahuan segolongan manusia tertentu yang dikatakan telah tiba di penghujung tarekat tasawwuf, tetapi mereka ini tidak mempernyatakannya kecuali melalui ungkapan–ungkapan yang berputar belit lagi kabur dan samar-samar pengertiannya, yang tidak difahami selain orang-orang yang sejalan dan sealiran dengan mereka, atau sama seperasaan dengan mereka dan yang berkebolehan menyingkap rahsia-rahsia kekaburan percakapan mereka!<br /></span><br /><br /><span style="font-size:130%;"><strong>Ibnu Arabi dan Dakwaannya.<br /></strong></span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Penghujung abad ke-enam hijriyah dan penjelangan abad ke-tujuh telah menyaksikan kemunculan seorang tokoh luar biasa yang telah menggubah aqidah ini dalam suatu bentuk yang lengkap dengan membawakan beribu-ribu contoh, menghasilkan cabang-cabangnya yang berlainan di dalam i’ktiqad dan fahaman, dan menyusun berpuluh-puluh buah buku mengenainya.<br /><br />Tokoh tersebut ialah Mahyuddin bin Arabi yang meninggal dunia pada tahun 638 hijriyah. Beliau dibesarkan di Andalusia dan menetap di negeri Syam. Walaupun beliau telah dilabelkan sebagai kafir, mulhid, zindiq dan pendusta, namun aqidahnya dan mazhabnya telah mengangkat Ibnu Arabi sebagaimana beliau mengangkatkan dirinya sendiri ke martabat kewalian, malahan ke martabat penamat wali-wali dan martabat syeikh tasawuf teragung yang menghidupkan agama!!<br /><br />Ibnu Arabi mendakwa beliau telah menaqal ilmunya dan kitab-kitabnya secara langsung dari Rasulullah s.a.w, dan menulis dari Luh Mahfuz tanpa perantaraan (wasitah). Beliau menggubah aqidah Wahdatul Wujud secara berani dan tanpa sebarang keraguan, tetapi dengan menyembunyikan kecacatan–kecacatan dan dengan keterangan-keterangan yang berputar belit. Beliau telah menyelewengkan pengertian ayat-ayat al-Qur'an dengan dakwaannya bahawa kaum Nabi Hud yang kafir itu mengikuti jalan yang lurus dan mereka sebenarnya bukan kafir ; Firaun adalah seorang mukmin yang sempurna keimanannya ; kaum Nabi Nuh yang menolak dakwah nabi mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan Allah telah memberi balasan kepada mereka dengan menengelamkan mereka di dalam lautan banjir wahdah, serta memasukkan mereka ke dalam api neraka kecintaan ilahi agar mereka memperolehi kenikmatan bersenang lenang di dalamnya!<br /><br />Nabi Harun telah melakukan kesalahan kerana melarang Bani Israel menyembah patung anak lembu yang mereka buat, sedangkan patung anak lembu itulah tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya, atau satu daripada bentuk-bentuk ma’bud yang sebenar!! Kaum Nabi Nuh adalah betul apabila mereka terus menyembah berhala Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr, kerana berhala-berhala itu ialah bentuk-bentuk luaran bagi tuhan yang satu! Api neraka itu suatu kenikmatan bukan siksaan! Setiap manusia itu dirahmati dan diredhai belaka tanpa pengecualian! Dan bahawa Allah tidak mengetahui apa-apa sebelum kewujudan-Nya kerana kewujudan sesuatu itu ialah kewujudan alam, bahkan kewujudan segala sesuatu adalah terjemahan bagi kewujudan Allah!!<br /> </span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Di sebalik dakwaan-dakwaan Ibnu Arabi yang karut dan biadap ini, dan di sebalik pendustaannya yang mendakwa bahawa beliau telah menaqal semua itu tanpa tambahan dan pengurangan dari Rasulullah s.a.w yang konon menyuruhnya sampaikan kepada manusia sekalian, anehnya beliau telah berjaya menarik ramai para penyokong dan pengikut sejak zaman penonjolannya hinggalah ke hari ini dari kalangan umat Islam yang setiap hari berkali-kali mengucapkan dua kalimah syahadah.</span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1151036847815365362006-06-22T21:26:00.000-07:002006-07-16T21:45:37.706-07:00Kisah Mimpi AJaib Di Kota Bharu<span style="font-size:85%;">Saya dijemput oleh Jabatan Agama Islam Kelantan dan Gabungan Professional Kelantan untuk membentangkan kertas kerja dalam seminar “Ahli Sunnah Arus Perdana”. Turut membentang beberapa tokoh yang lain. Mereka semua tentunya jauh lebih senior dari saya. Antara mereka; yang dikasihi Dr. Johari Mat, Rektor KIAS, orang Kota Bharu. Secara keseluruhannya, peserta yang hadir kelihatan tertarik dan bergembira dengan tajuk-tajuk yang dibentangkan. Namun sebilangan para pelajar pondok dan juga guru-guru mereka yang turut hadir nampaknya amat tidak selesa dengan seminar tersebut.<br /><br /><br />Dalam sessi soal jawab di sebelah petang, mereka melaungkan takbir, bising, enggan duduk dengan sopan dan marah-marah. Semoga ALLAH mengampuni semua pihak. Mungkin ada fakta-fakta yang dibentang oleh para pembentang tidak selari atau selaras dengan pengetahuan mereka. Sedangkan kertas-kertas kerja itu disertai dengan rujukan dari sumber-sumber muktabar dan kertas telah dicetak dalam bentuk buku. Mereka tidak banyak bertanya. Sebaliknya meluahkan perasaan yang tidak jelas dan bercampur baur.<br /><br />Mungkin juga mereka kurang biasa dengan pendekatan seminar, sehingga kelihatan sangat sukar untuk mereka mengingati perkara yang telah dijelaskan. Kita juga mengambil keputusan untuk tidak banyak menjawab demi menjaga perasaan masing-masing dan keharmonian majlis. Di samping soalan yang sebenar amat sedikit.<br /><br />Namun antara yang menarik hati saya ialah hujah seorang tuan guru yang memperkenalkan dirinya dan pondoknya lalu diikuti dengan cerita keistimewaan dirinya. Selepas menyebut namanya dan nama pondoknya, dia menceritakan ketika ibunya mengandungkannya, ibunya telah bermimpi. Dalam mimpi tersebut dilihat sebutir bintang jatuh ke perut ibunya. Ibunya diberitahu akan lahirlah dari perutnya seorang anak yang bertuah. Anak itu adalah dirinya. Mesejnya yang boleh difahami beliau insan istimewa, maka pendapatnya tidak dipertikaikan. Jika pembaca berminat, boleh menghubungi pihak penganjur dan meminta rakaman program tersebut.<br /><br />Saya rasa semua kita faham dalam agama mimpi tidak dijadikan hujah bagi mengukur sesuatu fakta syarak. Mimpi tidak pernah menjadi ukuran bagi menentukan kebenaran pegangan agama seseorang. Paling banyak, mimpi boleh menjadi khabar gembira untuk perkara yang sememangnya syarak izinkan. Atau mimpi menjadi amaran dalam perkara tertentu.<br /><br />Berbeza dengan mimpi para nabi. Mimpi mereka adalah wahyu. Atau mimpi seseorang yang diiktiraf oleh nabi. Juga dianggap hujah. Selain mereka, mimpi bukan hujah. Ya, Islam tidak menolak kemungkinan sesuatu mimpi itu benar. Namun mimpi hanya disaksikan oleh seorang insan yang mendakwa tanpa bukti. Tidak boleh dipastikan pula sejauh mana ia khabar yang benar atau mainan syaitan. Untuk panduan peribadinya mungkin. Itupun jika tidak menyanggahi syarak.<br /><br />Benar Hasan al-Banna apabila beliau menyebut dalam salah satu daripada Usul 20nya: “Iman yang benar, ibadah yang sah dan mujahadah merupakan cahaya yang dicampak oleh ALLAH ke dalam hati sesiapa yang dikehendaki di kalangan hamba-hambaNya. Tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, mimpi bukanlah dalil-dalil hukum syarak. Ia tidak diambil kira kecuali dengan syarat ia tidak bertentangan dengan hukum dan nas agama”.<br /><br />Dalam sejarah, mimpi selain dari menjadi khabar benar atau gembira, mainan mimpi telah banyak menjadikan manusia terseleweng dari panduan al-Quran dan al-Sunnah. Atas nama mimpi juga dicipta hadith-hadith palsu. Sehingga kata ulama hadith: “Di antara bukti pemalsuan di dalam hadith ialah dakwaan sesetengah golongan sufi bahawa dia mengambil hadith daripada Nabi S.A.W dengan jalan kasyaf tanpa sanad yang bersambung dan sahih. Atau mereka mendakwa melalui jalan mimpi. Para ulama Islam telah sepakat bahawa mimpi dan kasyaf ;<br /><br />keduanya tidak boleh menetapkan hakikat syariat. Ini kerana kedua perkara itu mengandungi kekeliruan dan tidak memiliki dabit (kawalan yang tetap). Maka menyandarkan kepada agama apa yang tidak ada dalil daripada al-Kitab dan al-Sunnah yang diambil daripada Nabi S.A.W. dengan sanad yang sahih adalah bid`ah dalam agama dan dakwaan batil yang ditolak”.( rujukan : Muhammad Abu Zuhu, Al-Hadith wa Al-Muhaddithun, m.s 485, Beirut : Dar al-Kitab al-`Arabi).<br /><br />Saya terlebih dahulu menghargai peranan yang pernah disumbangkan oleh pusat-pusat pengajian agama seperti pondok-pondok yang masih wujud. Jasa mereka dalam menyebar dan mempertahankan Islam, tidak boleh dipandang remeh. Kita cintakan mereka. Namun kebenaran lebih kita cintai.<br /><br />Tidak wajar bagi golongan agama berhujah dengan mimpi yang dilihatnya atau orang lain. Sedangkan agama mementingkan fakta dan bukti. Ketika sains berkembang dan menerajui dunia, apakah kita ingin mengemukakan hujah agama dengan berdasarkan mimpi semata?!! Hujah mimpi bukan sahaja ditolak oleh kehidupan moden, bahkan ia ditolak oleh Islam itu sendiri.<br /><br />Di sesetengah pondok, barang kali pengaruh kesufian ala kebatinan masih wujud. Para pelajar begitu gemar dengan kisah-kisah mimpi dan keajaiban untuk membuktikan tokoh, atau alim tertentu berada di pihak yang benar. Walaupun sebahagiannya adalah karut marut semata. Maka tidak pelik jika kita diperdengarkan kisah wali tertentu yang bersolat dalam satu malam sehingga seribu rakaat. Kisah ini diceritakan bagi menggambarkan kehebatannya. Padahal jika kita tanya kepada pencerita; adakah sempat untuk ditunaikan seribu rakaat pada satu malam?! Jika dihitung, satu malam tidak sampai pun seribu minit. Mana mungkin nak ditunai seribu rakaat sekalipun dengan pantas dan bacaan yang sempurna.<br /><br />Dalam hadith ‘Aisyah r.aha apa bila ditanya: “Bagaimana solat RasuluLah pada Bulan Ramadan?. Jawabnya: “Baginda tidak pernah melebihi sebelas rakaat pada Bulan Ramadan atau selain Ramadan. Baginda solat empat rakaat. Jangan ditanya kesempurnaan dan panjang solatnya. Kemudian baginda solat empat rakaat. Jangan ditanya kesempurnaan dan panjang solatnya. Kemudian baginda solat tiga rakaat”. ‘Aisyah bertanya: Wahai RasuluLah! Adakah engkau tidur sebelum witir?. Jawab baginda: Wahai ‘Aisyah! Mataku tidur tapi jantungku (hatiku) berjaga”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).<br /><br />Inilah kisah benar seorang insan yang bertaraf rasul. Bukan sekadar wali. Kisahnya berpijak di alam nyata. Benarlah al-Imam Ibn Jauzi yang menyebut (w. 597H): Apabila engkau melihat sesebuah hadith menyanggahi logik, menyalahi manqul (al-Quran) dan bertentangan dengan usul-usul Islam, maka ketahui ianya hadith yang palsu. (Al-Sayuti, Tadrib al-Rawi, m.s. 182, Beirut:Dar al-Fikr).<br /><br />Jika edisi agama yang dikemukakan demikian bentuknya, janganlah kesal kalau satu hari dunia moden akan memadamkan kewujudan pusat-pusat ini dari pentas sejarah umat. Golongan ulama dihormati dengan ilmu dan kesungguhan mereka menegak fakta dan hujah yang selaras dan selari dengan al-Quran dan Sunnah.<br /><br />Jangan cuba jadikan orang lain terperangkap dek rasa takut kisah-kisah kewalian, mimpi, kasyaf dan keramat. Islam agama dalil dan hujah. Kata al-Imam al-Syatibi (meninggal 790H) selemah-lemah hujah mereka (ahli bid`ah) ialah puak yang dalam mengambil amalan agama bersandarkan mimpi-mimpi.<br /><br />Mereka ini berpegang atau meninggalkan sesuatu amalan berdasarkan mimpi-mimpi tersebut. Mereka berkata: “Kami bermimpi lelaki soleh tertentu berkata kepada kami: Tinggalkan ini!, buat ini”. Ini banyak berlaku kepada mereka yang mengamalkan panduan tasawwuf. Di kalangan mereka ada yang berkata: “Aku melihat Nabi S.A.W dalam mimpi, baginda berkata kepada sebegini..dan memerintah aku sebegini”. Lantas dia pun mengamalkannya dan meninggalkan apa yang ditetapkan oleh syari`at.<br /><br />Ini adalah salah, kerana mimpi individu selain nabi tidak boleh menghukum ketetapan syarak, dalam apa keadaan sekalipun. Melainkan setelah dibentangkan kepada hukum-hakam syariat yang ada. Jika syarak membolehkan, maka ia diamalkan, jika tidak, ditinggalkan”.(rujukan: Al-Syatibi, Al-`Itisam, 198, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi)<br /><br /><br /><br />Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi: “Di sana ada golongan sufi yang melampaui batas dalam menilai ilham. Bahkan ada di kalangan mereka yang mengiranya sebagai jalan mengetahui kebenaran yang tidak akan silap. Mereka mencerca ulama syariat yang berpegang dengan dalil dan tidak menerima sesuatu dakwaan tanpa bukti dari hujah yang baik atau akal atau wahyu.<br /><br />Golongan sufi ini mencerca mereka dengan menyatakan mereka ini jumud dengan ilmu zahir. Bagi mereka; ilmu zahir kedudukannya seperti kulit, sedang ulama syariat berpaling daripada ilmu batin yang mana kedudukannya seperti isi”.(rujukan: Al-Qaradawi, Taisir al-Fiqh li al-Muslim al-Mu`asir, m.s. 134, Beirut: Muassasah al-Risalah)<br /><br />Kata Dr. Wahbah al-Zuhaili: “Adapun ilham, ada kemungkinan ianya daripada Allah, kemungkinan juga ianya daripada syaitan seperti yang dinyatakan oleh firman Allah: terjemahannya): dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada pengikut-pengikutnya, supaya mereka membantah (menghasut) kamu. (Surah al-An`am: 121)<br /><br />Kemungkinan juga ianya adalah bisikan atau percakapan dalam dirinya. Ini seperti yang nyatakan oleh firman Allah : (terjemahannya) Dan demi sesungguhnya, Kami telah mencipta manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya, sedang (pengetahuan) Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.( Surah al-Qaf: 16)<br /><br />Dengan kemungkinan-kemungkinan ini, ilham tidak boleh menjadi hujah. Berkaitan dengan ini, maka pendapat sebahagian sufi bahawa ilham atau kasyaf adalah hujah yang wajib beramal dengannya di dalam hukum-hakam syarak adalah sesuatu yang batil”.( Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, 2/924-925, Beirut: Dar al-Fikr)<br /><br /><br /><br />Malangnya dalam ajaran sebahagian tarikat yang ada, persoalan mimpi sering dibangkitkan untuk dijadikan hujah bagi meyakinkan para pengikut yang jahil. Sebab itu ajaran awal kebanyakan aliran tarikat kebatinan ini ialah cerita-cerita keramat dan wali. Tujuannya untuk menjadikan diri tok syeikh begitu hebat dan menakutkan dalam jiwa pengikut. Jika ada yang kata tok guru salah, atau tokoh ulama tertentu silap, mereka berkata: dalam mimpi tertentu digambarkan begini dan begitu. Moralnya; dia tidak boleh dipertikaikan.<br /><br />Saya begitu tertarik dengan muhaqqiq (penganalisa) Siyar A’lam al-Nubala, ketika mengulas riwayat mimpi Abu Ja’far, Muhammad bin Ahmad bin Nasr al-Tirmizi yang menyebut: “Aku lihat dalam mimpiku Nabi s.a.w. di dalam masjid baginda di Madinah. Seakan aku datang dan memberi salam kepada baginda dan berkata: “Aku tulis pendapat Malik?. Jawab baginda: Tidak!. Aku bertanya: “Aku tulis pendapat Abu Hanifah?” Jawab baginda: Tidak!. Aku bertanya: “Aku tulis pendapat al-Syafii?. Baginda mengisyaratkan dengan tangan baginda begini –seakan baginda mengherdikku-<br /><br />“Kau kata pendapat al-Syafii?!! Itu bukannya pendapat, tetapi jawapan kepada sesiapa yang menyanggahi sunnahku”. Muhaqqiq tersebut mengulas: “Bila pulak mimpi menjadi hujjah di sisi ahli ilmu?!!. Malik, Abu Hanifah dan selain mereka adalah dari kalangan para imam yang adil lagi dipercayai (thiqah). Mereka berijtihad. Mereka menepati sebahagian besar apa yang mereka ijtihadkan dan tersilap dalam sesetengah perkara. Setiap orang boleh diterima dan ditolak pendapatnya. Maka apa lagi?!!!( Ahmad Naim al-Iraqsusi, Tahqiq Siyar A’lam al-Nubala, 10/43 Beirut: Muassasah al-Risalah)<br /><br />Islam tidak menafikan ada mimpi yang benar. Tapi ia bukan hujah agama. Sekadar panduan peribadi dalam urusan yang jelas diizinkan syarak. Demikian juga karamat dan kasyaf. Jangan melampau batas sehingga menolak nas dan dalil yang terbukti hanya berpandukan mimpi. Mimpi bukan hujah agama. Hujah agama ialah al-Quran dan al-Sunnah. Kota Bharu akan malap jika begitu cara fikir kita. YA ALLAH AMPUNKAN KAMI SEMUA!!.</span>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1151036186093564202006-06-22T21:15:00.000-07:002006-06-22T21:22:16.566-07:00Bahaya Golongan al-RuwaibidohAl-Ruwaibidoh adalah satu golongan yang diberi amaran oleh Nabi s.a.w. akan kemunculannya menjelang kiamat. Sabda baginda: <em><span style="font-size:130%;">“</span>Sesungguhnya sebelum kedatangan dajjal-dalam riwayat yang lain: sebelum kiamat- adanya tahun-tahun yang penuh tipu daya. Ketika itu didustakan orang yang benar, dianggap benar orang yang dusta, dianggap khianat orang yang amanah, dianggap amanah orang yang khianat, dan bercakap ketika itu al-Ruwaibidoh. Para sahabat bertanya: “Siapakah al-Ruwaibidoh?” Sabda Nabi s.a.w.: Orang lekeh yang berbicara mengenai urusan awam (orang ramai).”</em><br /><br />Hadith ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Ya’la, al-Bazzar, Ibnu Majah, al-Kharaiti, dan al-Hakim. Al-Hakim menyatakan isnadnya sahih.dan ini disetujui oleh Al-Zahabi. Demikian juga Ibn Hajar al-`Asqalani menyebut di dalam Fath al-Bari :sanadnya baik. Al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah juga menyatakan ianya sahih<br /><br />Isi kandungan hadith ini adalah amaran Nabi s.a.w. kepada kita semua, bahawa akan muncul sebelum kiamat golongan manusia yang lekeh dan tidak berkelayakan tetapi bercakap dalam urusan umat yang membabit kepentingan umum dan ramai. Natijahnya, tentulah terjadinya porak peranda pemikiran manusia, gawatlah kefahaman mereka dan hancur binaan ilmu yang sebenar. Apa tidaknya, apabila yang lekeh menjadi pemimpin lalu bercakap dalam urusan umat, yang jahil berlagak `alim, yang menghafal sepatah dua ayat berlagak ulamak.<br /><br />Yang bukan ulama mengakui ulamak, yang hanya ada sepatah dua ilmu agama ditabalkan menjadi ulamak. Inilah saat kehancuran. Justeru itu, al-Imam Ibn Rajab al-Hambali dalam Jami’ al-`Ulum wa al-Hikam ketika menghuraikan hadith tersebut menyatakan: <em>“Maksud tanda kiamat yang disebut di dalam hadith ini merujuk kepada persoalan “apabila urusan diserahkan kepada bukan ahlinya” sepertimana yang disebut oleh Nabi s.a.w. kepada orang bertanya baginda mengenai kiamat, maka kata baginda, “apabila urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamat”.<br /></em><br />Golongan al-Ruwaibidoh muncul di kalangan masyarakat, mereka sebenarnya lekeh, tidak berkelayakan tetapi cuba menonjolkan diri. Samada melalui pentas kepimpinan masyarakat, ataupun dalam gelanggang ilmu. Inilah dua peluang besar untuk seseorang muncul dan dapat bercakap, berbicara, memberikan pandangan mengenai urusan awam dan persoalan-persoalan besar.<br /><br />Kadang-kala menerusi ucapan yang diperdengarkan, ataupun tulisan yang dibaca. Bukannya kesalahan itu kerana mereka memberi pandangan, tetapi kesalahannya kerana ketidaklayakan mereka, bekalan yang tidak cukup, berbicara mengenai sesuatu yang bukan bidang mereka. Sebab itu, al-Imam al-Sayuti dalam Syarah Sunan Ibn Majah menyatakan: “<em>Al-Ruwaibidoh adalah orang yang lemah yang cuba mencampuri perkara-perkara besar dan berusaha untuk memperolehinya”.<br /></em><br />Inilah yang sedang kita saksikan di pentas dunia kita. Apabila urusan politik umat cuba diuruskan oleh mereka yang tidak mendalami ilmu al-siyasah al-syar`iyyah, lalu memberikan pandangan yang bukan-bukan mengenai politik Islami maka kefahaman umat bawahan menjadi kelam kabut. Umpamanya lihat lagak sebahagian orang-orang politik di negara ini.<br /><br />Yang jahil tentang ilmu mustalah al-hadith, tidak pernah mempelajari ilmu sanad, tidak mengetahui apa itu ilmu al-Rijal, apa itu ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, yang menjadi asas pengetahuan dan kajian dalam hadith nabawi, berani bercakap tentang hadith dan mencabarnya. Umpamanya lihatlah Kasim Ahmad!!!.<br /><br />Yang tidak tahu bahasa arab, jahil kaedah dan cara istinbat (memetik) hukum, tidak mendalami bab al-`Illah dalam Usul al-Fiqh, tidak mendalami Maqasid al-Syarak, cuba menghuraikan dan mencabar beberapa ketetapan syarak. Umpamanya, lihatlah gerakan sisters in Islam!!. Semua golongan ini bercakap apa sahaja yang mereka mahu mengenai agama, apatah lagi bila diberi ruang di dalam akhbar dan media massa. Hinggakan ada orang politik yang mengajak rakyat bersolat hajat untuk menjadi tuan rumah sukan yang menyanggahi disiplin agama.<br /><br />Sementara di kalangan yang cintakan Islam pula, budaya ilmu belum begitu subur berkembang. Kuliah-kuliah agama di sebahagian masjid dan surau, kurang membuahkan ilmu yang menimbulkan rasa takut kepada Allah dan faham hukum-hakamnya. Peserta kuliah sebahagiannya lebih meminati kuliah yang dipenuhi dengan lawak jenaka tanpa penekanan kepada ilmu. Lebih mendukacitakan lagi apabila yang dijemput mengajar tidak memilik latar belakang ilmu.<br /><br />Kata orang arab <em>“orang yang tidak memiliki sesuatu tidak dapat memberikan sesuatu”</em>. Ada yang tidak pernah mempelajari Usul al-Fiqh tiba-tiba memberi fatwa dalam hukum fikah. Bahkan sebahagiannya begitu jahil, misalnya, sehingga ada yang tidak tahu apa yang dikatakan al-Ijmak atau ijmak ulamak, lalu menafsirkannya sebagai pendapat tokoh-tokoh agama nusantara. Ada yang tidak mengetahui bahasa arab melainkan sepatah dua, tidak pernah mempelajari Usul al-Tafsir atau `Ulum al-Quran tiba-tiba mengajar kuliah tafsir.<br /><br />Menghuraikan apa sahaja ayat yang dirasakan boleh menyeronokkan pendengar. Pergantungannya hanya kepada apa yang dia faham dari al-Quran terjemahan samada dalam bahasa Melayu, Indonesia ataupun Inggeris. Lalu qurannya adalah quran menurut apa yang dia faham dari bahasa Melayu, atau Indonesia, atau Inggeris, bukan daripada Bahasa `Arab yang nyata seperti yang disebut dalam al-Quran itu sendiri.<br /><br />Malangnya dia berani menafsirkan untuk orang ramai sesedap lidahnya. Maka terbitlah dari lidah yang tidak bertulang itu kesimpulan-kesimpulan yang ganjil. Kalau Ibn `Abbas, Mujahid, al-Tabari, al-Qurtubi, Ibn al-`Arabi dan para mufassirin yang lain masih hidup tentu mereka kehairanan mendengar tafsir sedemikian pelik.<br /><br />Ada pula yang menganggap ilmu hadith itu hanyalah membaca makna hadith dan menghuraikannya, tanpa perlu mengetahui bahasa `arab, tidak mengetahui apa itu sanad, tidak pula mampu membeza antara hadith-hadith yang thabit iaitu yang sahih dan hasan, dengan yang dhaif (lemah) atau dengan yang maudu’ (palsu). Bahkan ada yang tidak mengetahui bahawa haramnya seorang muslim membaca hadith palsu dihadapan khalayak tanpa diterangkan kepalsuannya. Tidak mengetahui apakah disiplin al-Bukhari dalam sahihnya, apakah pula disiplin Muslim, apakah pula disiplin Al-Tirmizi, Abu Daud, Ibn Majah, al-Nasai, Ahmad, Ibn Hibban, al-Hakim, dan semua tokoh-tokoh hadith. Lalu mereka menganggap semua hadith yang dibaca mertabatnya sama.<br /><br />Malangnya mereka yang seperti ini juga cuba berfatwa mengenai hadith Nabi s.a.w.. Kalau Ibn al-Salah, al-Hafiz al-`Iraqi, al-Balqini, al-Khatib al-Baghdadi, al-Ibn Hajar al-`Asqalani, al-Qasimi dan seumpama mereka mendengarnya tentu akan terkejut kehairanan<br /><br />Ini yang dinyatakan oleh Nabi s.a.w. dalam sebuah hadith yang sanadnya sahih seperti yang sebut oleh Ibn Hajar al-`Asqalani dalam Fath al-Bari: <em>“Rosaknya agama apabila ilmu datang daripada yang kerdil, yang dibantah oleh golongan yang `alim. Baiknya manusia apabila ilmu datang dari golongan `alim dan diikuti oleh golongan kerdil”<br /></em><br />Di sesetengah tempat, sekadar seseorang pandai berceramah terus sahaja diberi lesen untuk bercakap mengenai agama. Berbicara seolah-olah dia menguasai kesemua disiplin ilmu di dalam Islam. Apatah lagi apabila ceramah boleh mendatang pendapatan yang lumayan, maka ramai yang berusaha menjadi penceramah dengan menghafal sepatah ayat dan hadith lalu menafsirkannya menurut apa yang digemari pendengar. Lalu dia menyangka dia betul kerana orang awam suka mendengar apa dia ulas. Modalnya hanya dua, hentam apa sahaja yang mendatangkan minat pendengar dan lawak yang boleh menyeronokan pendengar. Mungkin juga akhirnya dia menyangka dirinya alim lantas semakin hari, semakin berani memberi pandangan apa sahaja mengenai agama.<br /><br />Saya masih teringat kepada al-Syeikh Dr. Hasan Hitu, beliau adalah seorang tokoh ulamak semasa bermazhab al-Syafi’i dari Syria, terkenal dengan karya-karyanya dalam fikah terutama dalam mazhab al-Syafi`i..<br /><br />Dalam ceramahnya kepada kami, <em>beliau menyatakan bahawa ilmu-ilmu Islamlah yang paling dizalimi. Sebabnya, seseorang tidak dibenarkan menjadi doktor memeriksa dan memberi ubat kepada pesakit melainkan setelah dia lulus dalam bidang perubatan dengan baik. Seseorang tidak dilulus untuk membina bangunan yang tinggi melainkan setelah dia memiliki kelulusan dalam bidang binaan. Begitu juga bidang-bidang yang lain. Namun, malang sekali apabila tiba kepada persoalan ilmu Islam, semua lapisan diizinkan memberikan pendapat dalam segala bidang yang ada di dalam agama. Samada dia pernah belajar atau tidak. Sehingga artis yang tidak tahu hujung pangkal agama pun memberi pandangan mengenai hukum-hakam syarak”.<br /></em><br />Inilah yang sedang berlaku dalam masyarakat Islam. Ilmu Islam dianggap begitu murah dan lekeh. Bidang-bidang lain, orang tidak berani masuk campur melainkan jika memilki pengetahuan yang cukup mengenainya. Ilmu Islam pula diperlakukan sebaliknya. Sehinggakan para artis yang sedang aktif ataupun yang telah pencen, pun berfatwa tentang agama.<br /><br />Sebenarnya, bukan kita halang mereka bercakap atau cuba menyumbang untuk Islam, tetapi jangan mereka bercakap dalam apa yang mereka tidak benar-benar memahaminya, kerana akhirnya umat akan tersasul dan tersilap dalam memahami al-Din. Menyesatkan umat adalah suatu jenayah. Sumbangan kepada umat dialu-alukan, namun biarlah ianya melalui cara yang betul. Jika tidak mereka akan menjadi golongan al-Ruwaibidoh.<br /><br />Namun, apa yang dapat kita katakan jika ianya adalah salah satu dari tanda kiamat yang dikhabarkan iaitu munculnya golongan al-Ruwaibidoh. Kepada Allah kita pohon agar kita tidak tergolong dalam golongan ini.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1151035409361829112006-06-22T20:59:00.000-07:002006-06-22T21:03:38.550-07:00Tarekat Yang Sesat Lagi Kufur<p>Tiada jalan untuk mendapatkan petunjuk Allah melainkan menerusi Islam. Tiada jalan memahami Islam melainkan memahami al-Quran dan as-Sunnah dengan kaedah-kaedahnya yang sahih. Malangnya masih ada di kalangan yang mendakwa diri mereka muslim lebih suka kepada tafsiran-tafsiran Islam yang tidak berteraskan kefahaman yang betul terhadap al-Quran dan as-Sunnah. </p><p>Di kalangan mereka ada pula yang begitu berminat jika memiliki aliran atau tafsiran agama yang tersendiri dan menyimpang dari petunjuk al-Quran dan as-Sunnah. Antaranya dengan menyertai atau menganut ajaran sebahagian tarekat atau aliran kerohanian yang membuat beberapa tafsiran agama yang sangat bahaya pada penilaian aqidah Islamiyyah.<br /><br />Golongan seperti ini menganggap diri, guru dan aliran yang mereka ikuti adalah istimewa dan mulia. Mereka bangga dengan tafsiran-tafsiran pelik yang menyimpang jauh dari jalan petunjuk yang sebenar. Mereka mendakwa mereka telah menemui ilmu kerohanian dan makrifat. Justeru itu, mereka tidak lagi bergantung kepada hukum zahir atau kepada syariat yang dipegang golongan zahir atau awam. Mereka mendakwa kononnya mereka adalah golongan batin atau hakikat yang mempunyai ilmu ladunni (ilmu secara langsung dari Allah), kasyaf (singkapan hijab) yang tidak lagi memerlukan lagi nas-nas al-Quran dan as-Sunnah.<br /><br />Sebenarnya, tarekat atau aliran kesufian yang seperti ini sangat merbahaya kerana menatijahkan kerosakan aqidah dan tulisan ini akan cuba membahaskannya dengan ringkas.<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Kepentingan Aqidah<br /></span></strong><br />Telebih dahulu hendaklah seseorang sedar bahawa persoalan `aqidah adalah teras kepada ad-din. Tanpa aqidah yang sahih iaitu yang berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah maka seluruh amalan adalah sia-sia belaka, sekalipun nampak pada zahirnya hebat.<br /><br />Firman Allah yang bermaksud : "Sesiapa yang beramal dengan amalan yang solih samada lelaki atau perempuan dalam keadaan dia mukmin, mereka itu memasuki syurga dan mereka tidak dizalimi walaupun sedikit" (Surah an-Nisa' :124)<br /><br />Dalam ayat di atas Allah dengan jelas mensyaratkan seseorang yang ingin melakukan amal solih itu hendaklah mukmin iaitu beriman kepada Allah dalam ertikata iman yang sebenar dan pastinya tidak melakukan perkara-perkara yang merosakkannya. Dengan itu sesiapa yang akidahnya rosak maka amalannya sama sekali tidak diterima walaupun kelihatan banyak dan hebat. Ini kerana setiap amalan dalam Islam dibina di atas asas aqidah.<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Iktikad Yang Merosakkan<br /></span></strong><br />Iktikad yang ada pada sebahagian golongan tarekat yang menganggap bahawa sesiapa yang sudah sampai kepada peringkat tertentu dalam amalan atau tarekat yang mereka ikuti maka dia tidak lagi bergantung kepada syariat seperti tidak perlu lagi solat, puasa, jihad dan sebagainya. Mereka beranggapan kononnya yang perlu beramal ialah golongan awam sedangkan mereka adalah golongan khusus atau ahli hakikat atau makrifat.<br /><br />Sebenarnya hendaklah diketahui bahawa fahaman ini termasuk dalam aliran kufur dan sesat yang telah lama dibahaskan dan ditentang oleh para ulama Ahl as-Sunnah wa al-Jama`ah. Mereka perlu jelas bahawa kesimpulan perbahasan berkenaan menyatakan kepercayaan atau pegangan tersebut boleh mengeluarkan mereka dari Iman dan Islam. Dalam kata lain ianya boleh membatalkan syahadah mereka dan menjadikan mereka kafir. Para ulama aqidah memasukkan kepercayaan seperti itu dalam senarai perkara kufur. Disebut dalam 'Taisir dhi al-Jalal wa al-Ikram bi Syarh Nawaqid al-Iman' seperti berikut: "Sesiapa yang beriktikad bahawa sebahagian manusia dibolehkan keluar dari syariat Muhammad s.a.w maka dia adalah kafir. Ini berdasarkan firman Allah:<br /><br />(Maksudnya) "Sesiapa yang mencari selain Islam sebagai din (agama) maka sama sekali tidak diterima daripadanya dan dia di akhirat kelak termasuk daripada kalangan golongan yang rugi" (Surah Ali `Imran : 85)" (m.s. 97, Cetakan Dar Isybilia, Saudi)<br /><br />Al-Imam Ibn Kathir dalam Tafsir al-Quran al-`Azim, menafsir ayat dalam Surah Ali `Imran di atas menyatakan: "Sesiapa yang melalui suatu cara yang lain dari apa yang di syariatkan Allah maka sama sekali ianya tidak diterima" ( jld. 2, m.s. 378, Cetakan Dar al-Ma'rifah, Beirut).<br /><br />Guru-guru ajaran sesat yang seperti ini biasanya akan mengemukakan kepada para pengikutnya yang jahil dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah berbagai-bagi tafsiran palsu, bohong lagi menyesatkan. Para pengikut yang tidak begitu jelas kefahaman terhadap Islam akan menerima dan menganggap mereka memiliki hujah dan dalil yang kuat terhadap apa yang mereka percayai. Antara apa yang dihuraikan oleh golongan ini untuk menghalalkan tindakan mereka yang enggan mengikut syariat dan menganggap mereka telah sampai kepada suatu makam yang istimewa ialah:<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Penyelewengan Huraian Maksud al-Yaqin<br /></span></strong><br />Mereka berhujjah dengan firman Allah dalam Surah al-Hijr ayat 99 yang bermaksud: "Beribadatlah kepada tuhanmu sehingga datangnya kepadamu al-yaqin".<br /><br />Dengan membuat tafsiran salah mereka menyatakan bahawa ayat ini bermaksud "beribadatlah kepada tuhanmu sehingga engkau memperolehi ilmu dan makrifat, setelah engkau telah memperolehinya maka gugurlah kewajipan `ibadat". Di sana ada lagi beberapa tafsiran lain yang mereka cipta bagi membolehkan mereka menganggap perkataan al-yaqin dalam ayat di atas adalah bermaksud makam sufi. Apabila mereka menganggap diri mereka telah memperolehinya maka tanggung jawab ibadat atau mengikut syariat sudah tidak diperlukan lagi kerana ayat tersebut menyatakan sehingga datangnya yakin maka apabila yakin yang ditafsirkan oleh mereka telah diperolehi maka syariat pun gugur.<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Tafsiran Sebenar</span></strong><br /><br />Sebenarnya perkataan al-yaqin di dalam ayat di atas telah ditafsirkan oleh semua mufassirin yang muktabar sebagai al-maut iaitu kematian. Dengan ini ayat tersebut bermaksud: "Beribadatlah kepada tuhanmu sehingga datangnya kepadamu kematian"<br /><br />Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi di dalam kitabnya yang masyhur iaitu Ahkam al-Quran menjelaskan maksud ayat ini: "Perkataan al-yaqin bermaksud al-maut (kematian), Allah memerintahnya agar terus menerus dalam ibadat selama-lamanya, iaitu sepanjang hayat." Seterusnya Al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi mengemukakan alasan mengapakah perkataan al-yaqin di dalam ayat di atas ditafsirkan sebagai al-maut. Iaitu berdasarkan kepada hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, apabila Rasulullah menziarah jenazah Uthman bin Madh`un, baginda bersabda:<br /><br />"Adapun dia telah datang kepadanya al-yaqin. Demi Allah aku mengharapkan untuk kebaikan..."( jld. 3, m.s. 116, Cetakan Dar al-Fikr, Beirut).<br /><br />Daripada hadith riwayat al-Imam al-Bukhari (hadith ke-1243) yang dikemukan oleh al-Qadi Abu Bakr Ibn al-`Arabi dengan jelas menunjukkan Rasulullah s.a.w. mengucapkan kepada jenazah Uthman bin Madh`un yang telah meninggal, baginda menggunakan perkataan al-yaqin dengan dimaksudkan al-maut iaitu kematian. Dengan jelas sunnah atau hadith sendiri telah menafsirkan maksud ayat tersebut. Maka ini yang kukuh kerana tafsiran yang paling kuat terhadap sesuatu ayat al-Quran ialah samada di tafsirkan dengan ayat al-Quran yang lain atau dengan as-Sunnah. Setelah datangnya tafsiran yang ma'thur (daripada Rasullullah) maka tidak boleh wujud lagi sebarang tafsiran aqli yang menyanggah tafsiran Nabi s.a.w.<br /><br />Daripada ucapan Nabi s.a.w. yang jelas itu maka ayat tersebut bermaksud setiap mukmin diwajibkan terus beribadat sehingga tibanya kematian. Justeru itu ternyata, ayat tersebut bukanlah hujah yang menyokong kesesatan golongan berkenaan sebalik ianya adalah dalil yang menentang pendapat mereka yang menyeleweng yang hanya menghadkan ibadat sehingga ke tahap tertentu sahaja.<br /><br />Al-Imam Ibn Kathir dalam menafsir ayat daripada surah al-Hijr tersebut, menyebut alasan tambahan yang membuktikan kesesatan tafsiran golongan tarekat atau sufi tersebut, katanya: "Sesungguhnya ibadat seperti solat dan seumpamanya adalah wajib bagi setiap insan selagi akalnya masih berfungsi, maka hendaklah dia mengerjakan solat mengikut keadaannya. Ini seperti yang sabit di dalam Sahih al-Bukhari daripada `Imran bin Husoin r.a. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Solatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka dalam keadaan duduk dan jika tidak mampu maka di atas lambung". </p><p>Berdalilkan ini menunjukkan kesalahan pendapat golongan mulhid yang berpendapat maksud al-yaqin ialah makrifat dan apabila telah seseorang di kalangan mereka telah memperoleh makrifat maka gugur daripadanya tuntutan agama. Ini adalah iktikad yang kufur, sesat dan jahil. Sesungguhnya para anbiya a.s. dan sahabah mereka adalah golongan yang paling mengetahui tentang Allah, paling mengenali tuntutan-tuntutanNya, sifat-sifatNya dan apa yang paling layak untuk mengagungkanNya, namun begitu mereka adalah golongan yang paling kuat dan banyak ibadat serta terus menerus melakukan amalan kebaikan sehingga menemui kematian. Dengan itu maksud al-yaqin di sini adalah al-Maut (kematian) (jld. 2, m.s. 581)<br /><br />Cuba lihat dalam petikan di atas al-Imam Ibn Kathir dengan jelas menghukum golongan ini sebagai mulhid (tidak percayakan agama), kafir, sesat dan jahil. Ini menunjukkan betapa bahayanya kepercayaan seperti ini terhadap aqidah dan wajibnya golongan ini ditentang.<br /><br /><strong><span style="font-size:130%;">Menyelewengkan Tafsiran Kisah Musa dan Khidir<br /></span></strong><br /><br />Selain itu golongan ini juga beralasan dengan peristiwa Nabi Musa a.s. dan Khidir a.s. yang disebut di dalam al-Quran, di dalam Surah al-Kahf. Jika kita merujuk kepada Surah al-Kahf (ayat 60-82) Allah menceritakan pengembaraan Nabi Musa mencari Khidir a.s. bagi menuntut ilmu daripadanya. Semasa perjalanan Nabi Musa a.s. menemani Khidir a.s., baginda telah melihat beberapa tindakan Khidir a.s. yang menyanggahi syariat yang diturunkan kepadanya (Musa) lalu baginda membantahnya. Setelah tiga kali pertanyaan serta bantahan dibuat oleh Musa a.s. terhadap tiga tindakan yang dilakukan oleh Khidir, akhirnya Khidir pun tidak lagi membenarkan Musa a.s. mengikuti dan menceritakan rahsia segala tindakan-tindakannya yang dianggap oleh Nabi Musa a.s. sebagai kesalahan.<br /><br />Dengan mempergunakan kisah dalam Surah al-Kahf berkenaan maka golongan sufi atau tarekat yang sesat beralasan bahawa para wali dibolehkan tidak mengikut syariat para nabi dan boleh melakukan segala tindakan yang dianggap salah oleh golongan zahir tetapi haikatnya betul di sisi ilmu hakikat atau ilmu ladunni. Ini kononnya sama seperti tindakan Khidir yang tidak mengikut Nabi Musa a.s. kerana Khidir adalah wali Allah dia menilai dengan ilmu ladunni yang terus menerus daripada Allah sedangkan Musa a.s adalah seorang nabi yang menilai dengan ilmu syariat semata. Justeru itu golongan hakikat tidak sama dengan golongan syariat dan golongan hakikat tidak perlu mengikut syariat seperti Khidir tidak perlu mengikut Musa.<br /><br />Inilah dakwaan mereka yang sangat jahil bagi menilai apa yang terkandung di dalam lafaz-lafaz atau bentuk-bentuk ayat (siyaq al-Ayat) yang membawa maksud bagi sesuatu tafsiran yang benar. Golongan sufi yang menyeleweng dan tarekat yang sesat mempergunakan ayat 65 dari Surah al-Kahf yang maksudnya</p><p><br />"Lalu mereka berdua (Musa dan Yusya' bin Nun) telah bertemu seorang hamba (Khidir) dari kalangan hamba-hamba Kami (Allah) yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan Kami berikan kepadanya ilmu dari sisi Kami".<br /><br />Oleh kerana ayat itu menyebut min ladunna ilma (ilmu dari sisi Kami) maka muncul istilah ilmu ladunni. Dengan istilah ini ada golongan sufi dan tarekat yang sesat mengambil kesempatan untuk mengatakan mereka juga mempunyai ilmu ladunni seperti Khidir oleh itu mereka tidak terikat atau bergantung dengan syariat zahir.<br /><br />Sebab itu seorang tokoh mufassir semasa iaitu Solah `Abd al-Fatah al-Khalidi dalam mengulas ayat ini dalam buku Ma`a Qasas as-Sabiqin Fi al-Quran beliau menyebut: "Para penafsir golongan sufi telah berbicara dengan perkataan-perkataan yang pelik mengenai ilmu ladunni dan memisahkan antara hakikat dan syariat, yang zahir dan batin. Mereka telah mencampur aduk dan merosakkan dalam menafsirkan ayat-ayat ini dan juga selainnya." (jld. 2 m.s. 186. Cetakan Dar al-Qalam, Syiria) . Beliau juga menukilkan beberapa ulasan para ulama mengenai ayat ini, antaranya ulasan al-Imam as-Syinqiti di dalam tafsirnya, Adwa al-Bayan iaitu: "Sesungguhnya rahmat dan ilmu ladunni yang kedua-duanya Allah kurniakan kepada kepada Khidir bermaksud kenabian dan wahyu. Ini kerana Khidir berkata kepada Musa:<br /><br />(Maksudnya) "Aku tidak melakukannya dengan kehendakku". (Surah al-Kahf: 82)<br />Perintah Allah tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Tiada jalan kepadanya melainkan wahyu. Allah telah menentukannya (pengetahuan mengenai perintahNya) hanya dengan jalan wahyu dengan firmannya dalam Surah al-Anbiya ayat 45:<br /><br />(Maksudnya) "Katakanlah (Wahai Muhammad !) Aku hanya memberikan peringatan dengan wahyu". (ibid. m.s. 190)<br /><br />Setelah menghimpunkan ulasan dan tafsiran para ulama mengenai ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh al-Quran, Solah al-Khalidi membuat kesimpulan seperti berikut, katanya: "Selepas melihat perkataan-perkataan daripada para ulama kita maka kita dapat membuat suatu keputusan yang putus iaitu: Ilmu ladunni yang diisyaratkan oleh ayat tersebut, yang telah Allah ajarkannya kepada Khidir a.s. sebenar ialah nubuwwah (kenabian) dan wahyu. Adapun pengakuan dan dakwaan golongan sufi mengenai ilmu ladunni menurut kefahaman mereka itu, adalah batil, sesat, menyanggahi syariat Islam dan petunjuk al-Quran. (m.s. 92)<br /><br />Ini bererti seluruh tindakan Khidir adalah wahyu daripada Allah. Khidir adalah nabi. Nabi Musa diutuskan kepada Bani Israil tidak diutuskan kepada Khidir. Khidir juga sebenarnya adalah Nabi yang menerima arahan langsung daripada Allah melalui jalan wahyu. Beliau tidak bergantung kepada syariat yang dikhususkan kepada Bani Israil. Justeru itu, segala tindakan Khidir adalah perintah Allah yang pasti melalui jalan wahyu dan tidak bergantung kepada ajaran Nabi Musa a.s. yang diutuskan untuk Bani Israil. Adapun Nabi Muhammad adalah utusan untuk sekelian manusia tanpa kecuali dan tidak ada yang terlepas dari berada di bawah lembayung ajarannya.<br /><br />Al-Imam al-Allamah Ibn Abi al-`Izz dalam kitab aqidah yang iaitu Syarh al-`Aqidah at-Tahawiyyah dengan jelas menyebut persoalan ini dengan katanya: "Adapun sesiapa yang berpegang dengan kisah Musa bersama Khidir a.s. bagi membolehkannya meninggalkan wahyu kerana bergantung dengan ilmu ladunni, seperti yang didakwa oleh yang tidak mendapat taufik, maka dia adalah mulhid (atheis) dan zindiq (munafiq). Ini kerana Musa a.s. bukanlah Rasul yang diutuskan kepada Khidir. Khidir juga tidak diperintah untuk mengikutnya. Sebab itulah Khidir bertanya Musa: "Apakah engkau Musa dari Bani Israil?" Jawab Musa: "Ya!" (Riwayat al-Bukhari). Adapun Muhammad adalah diutuskan untuk seluruh manusia dan jin. Sekiranya Musa dan `Isa masih hidup maka mereka mesti menjadi pengikutnya. Apabila `Isa turun ke bumi (pada akhir zaman) dia hanya akan berhukum dengan syariat Muhammad. Oleh itu sesiapa yang mendakwa bahawa kedudukan dia bersama Muhammad seperti Khidir bersama Musa atau membolehkan (mempercayai) ianya berlaku untuk sesiapa di kalangan umat maka hendaklah dia memperbaharui keislamannya, hendak dia kembali bersyahadah dengan syahadah yang benar kerana dia telah terkeluar dari Islam keseluruhannya. Sama sekali dia bukan dari kalangan wali-wali ar-Rahman sebaliknya dia adalah wali-wali syaitan". (m.s. 511, cetakan al-Maktab al-Islami, Beirut).<br /><br />Lihatlah betapa jelasnya pendirian para ulama akidah terhadap golongan sufi dan tarekat yang seperti ini. Nyata sekali, sesiapa yang mendakwa perkara seperti ini terhadap dirinya atau orang lain seperti guru tarekat atau syeikhnya maka dia sama sekali adalah terkeluar daripada Islam. Di samping itu, sesiapa yang mendakwa dirinya seperti Khidir bererti dia mendakwa dirinya diberikan wahyu seperti Khidir atau dalam kata lain dia mendakwa diri menjadi nabi setelah datangnya penutup sekelian nabi. Ini adalah kekufuran di atas kekufuran.<br /><br />Al-Imam al-Qurtubi yang merupakan tokoh mufassir besar. Beliau juga tidak lupa membahaskan persoalan ini dalam tafsirnya al-Jami' li Ahkam al-Quran. Beliau menukilkan ulasan gurunya al-Imam Abu al-`Abbas mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukum sebagai zindiq iaitu katanya: "Mereka itu berkata: "Hukum-hakam syarak yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam adapun para wali dan golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama) sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka". Golongan ini juga berkata: "Ini disebabkan kesucian hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahsia-rahsia alam mereka mengetahui hukum-hakam yang detil maka mereka tidak memerlukan hukam-hakam yang bersifat umum seperti yang berlaku kepada Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu terserlah kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa". Golongan ini juga menyebut: "Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau telah diberikan fatwa oleh para penfatwa". Seterus al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan katanya: "Kata guru kami r.a.: Ini adalah perkataan zindiq dan kufur dibunuh sesiapa yang mengucapkannya dan tidak diminta daripadanya taubat, kerana dia telah engkar apa yang diketahui dari syariat. </p><p>Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalanNya dan melaksanakan hikmahNya bahawa hukum hakamnya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan makhlukNya. Meraka adalah penyampai risalah dan perkataanNya serta penghurai syariat dan hukum-hakam. Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan urusan ini hanya untuk mereka." Dalam huraian tambahan al-Qurtubi menyebut lagi: "Telah menjadi ijma' salaf dan khalaf bahawa tidak ada jalan mengetaui hukum-hakam Allah yang berhubung suruhan dan laranganNya walaupun sedikit, melainkan melalui para Rasul. Sesiapa yang berkata "Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak memerlukan para rasul maka dia adalah kafir, dihukum bunuh......"(jld. 11, m.s. 40-41, cetakan Dar al-Fikr, Beirut).<br /><br />Demikian betapa tegasnya al-Imam al-Qurtubi dalam mengulas dakwaan sesat lagi kufur ini bagi membukti betapa bahayanya iktikad yang seperti ini. Bahkan kebanyakan para ulama Ahli as-Sunnah tidak lupa untuk memperingatkan perkara ini setiap kali mereka menyebut kisah Musa dan Khidir bagi memerangi golongan yang mempergunakan tafsiran yang salah lagi sesat ini untuk memperlihatkan keistimewaan diri dan akhir mereka tercerumus kelembah kekufuran. Umpamanya, lihatlah ulasan yang begitu jelas oleh Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu' al-Fatawa dalam menentang kefahaman-kefahaman yang seperti ini. Demikianlah para ulama yang lain bagi setiap zaman. Maka golongan ilmuan yang wujud pada zaman ini juga perlu memerangi perkara yang seperti ini. Ini kerana aliran kepercayaan ini masih wujud dan mempengaruhi kalangan yang jahil dan mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari agama. Jika mereka tidak ditentang habis-habisan maka akan hancur binaan Islam dan yang tinggal hanyalah Islam tanpa syariat.<br /> </p>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1150516013613344952006-06-16T20:44:00.000-07:002006-06-16T20:46:53.690-07:00Hadrah Menurut Tarekat Burhamiah<p align="center"><br /> <embed id="VideoPlayback" style="WIDTH: 400px; HEIGHT: 326px" align="middle" src="http://video.google.com/googleplayer.swf?videoUrl=http%3A%2F%2Fvp.video.google.com%2Fvideodownload%3Fversion%3D0%26secureurl%3DuwAAAG7ggqAHSiJjpW0D3w4aYTUU3PBR_vSOO4EK18UYDTBFANbQTyu7vKShfWBahg1TkIk7hVemGne-tRAanaJgfEC4aiTFRMRZcNWVTyqfk5zPclJsUsd983kpZybKxvtQnqCES824yrdGQH6Tl5RD5w3_F3J_SoBWdW9IpfEErsGeOYRYAXFRuEK7K_AQfPIR-cwMAYL5ssiXAk-hcLvS2UdY1nZpYYsKCmRB2GBfym9OtLWlYE0OHb5bP_0fzoVzFg%26sigh%3D6cgKjJfuuKhZsW_4XWtNlRJGww0%26begin%3D0%26len%3D681213%26docid%3D4071094157254916765&thumbnailUrl=http%3A%2F%2Fvideo.google.com%2FThumbnailServer%3Fapp%3Dvss%26contentid%3Df13c4ad5e91179c6%26second%3D5%26itag%3Dw320%26urlcreated%3D1147276672%26sigh%3D51RNtXwhG6BJ4FRXgYDlhqZooV8&playerId=4071094157254916765" type="application/x-shockwave-flash" flashvars="playerMode=embedded" salign="TL" wmode="window" scale="noScale" bgcolor="#ffffff" quality="best" allowscriptaccess="sameDomain" /> </embed> <br /></p>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1150514908652613672006-06-16T20:25:00.000-07:002006-06-16T20:28:29.066-07:00Konflik Hukum Ahli Fiqh Dan Tarekat<p>Pada satu hari, saya mendapat sebuah sms yang bertanyakan perihal pandangan seorang penceramah. Penceramah itu dalam salah satu kuliahnya di sebuah masjid telah menyatakan bahawa solat seseorang yang tidak khusyuk adalah sah di sisi ahli fiqh tetapi tidak sah di sisi ahli tasawuf. Saya tidak terlalu terkejut kerana ini bukan kali pertama saya mendengar pendapat sebegini rupa. </p><p><br />Kira-kira setahun yang lalu, saya telah hadir ke satu kuliah yang disampaikan oleh seorang ustaz yang agak dikenali sebagai penceramah bebas. Beliau bercerita tentang puasa. Beliau juga mengulangi rentak yang agak sama iaitu puasa kalau mengikut penilaian ahli fiqh akan terbatal jika melakukan perkara-perkara yang membatalkan seperti makan, minum dan sebagainya. </p><p>Tetapi mengikut penilaian ahli tasawuf, hanya dengan memikirkan apa juadah yang akan kita sediakan untuk berbuka sudah dikira berdosa. Puasa itu juga dikira batal dengan perkara lain seperti berfikir tentang keduniaan Saya terfikir, dari mana agaknya datang pemikiran yang double standard sebegini? </p><p><br />Ketika saya membaca buku Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam al Ghazali, saya terjumpa satu perenggan yang agak mengejutkan saya dan mungkin menjadi jawapan kepada persoalan di atas tadi. Berikut saya terjemahkan kata-kata al Ghazali di dalam bukunya itu di mana al Ghazali menghuraikan pembahagian puasa kepada umum, khusus dan khusus al khusus. </p><p>Menurut beliau: (Ihya’ Ulumuddin, jilid 1, muka surat 221, cetakan 2001, Dar al Kutub al Ilmiyyah) : adapun puasa khusus al khusus, maka ia adalah puasa hati dari kehendak-kehendak duniawi dan pemikiran tentang dunia serta menahan hati dari selain Allah SWT secara mutlak. Dan puasa ini dibuka (batal) dengan memikir tentang sesuatu selain Allah Azza Wa Jalla dan hari akhirat serta (dibuka) dengan berfikir tentang dunia kecuali dunia yang dikehendaki padanya agama. Maka sesungguhnya dunia sebegitu adalah bekalan akhirat dan bukanlah ia sebenarnya dari dunia (yang dilarang). Sehingga berkatalah pakar-pakar hati (golongan sufi) : ‘sesiapa yang bergerak kehendak hatinya di siang hari ke arah merancang menyediakan makanan ketika berbuka, maka ditulis ke atasnya satu dosa’ kerana itu menandakan kurangnya keyakinannya kepada rezeki Allah Azza Wa Jalla dan kurangnya keyakinannya dengan rezeki yang telah dijanjikan’. </p><p><br />Wahai para pembaca sekelian, bolehkah anda menerima perkara sebegini? Adapun bagi sebahagian ahli tarekat dan tasawuf, perkara ini tidaklah susah untuk diterima kerana mereka mempunyai beberapa asas penting yang menyokong perkara ini. Asas tersebut antaranya ialah ‘Islam terbahagi kepada syariat dan hakikat’ dan ‘ahli fiqh berbincang soal zahir manakala ahli tasawuf berbincang soal batin’. Terdapat sebahagian ahli tarekat dan tasawuf yang memandang bahawa hukum fiqh adalah hukum zahir dan berlainan dengan hukum sebenar atau hukum hakikat. Oleh sebab itu mereka akan mewujudkan syarat-syarat yang dipanggil sebagai ‘rahsia-rahsia ibadah’ yang berlainan dengan syarat-syarat yang diletakkan oleh ahli fiqh untuk ibadah seperti solat, puasa dan sebagainya. </p><p><br />Persoalannya sekarang, apakah sumber yang digunakan oleh ahli fiqh sejak dahulu hingga kini dalam memutuskan rukun atau syarat ibadah? Jawapannya ada dalam perbahasan ilmu usul fiqh. Sumber yang mereka gunakan ialah Al Quran, hadith, ijmak, qiyas dan lain-lain lagi seperti yang boleh kita lihat dalam buku-buku usul fiqh. Walaupun terdapat buku-buku fiqh yang tersilap dalam mempraktikkan penggunaan sumber-sumber tersebut (contohnya tersalah dalam mentafsirkan ayat, tersalah dalam menggunakan hadith-hadith dhaif dan palsu dan lain-lain lagi), namun sebahagian besar ahli fiqh dalam buku-buku mereka sememangnya menjaga sumber dalam mengeluarkan hukum. </p><p>Apa-apa perkara yang tidak berdalil akan dikaitkan dengan dalil yang umum seboleh mungkin maka terhasillah khazanah ilmu yang terpelihara daripada khayalan, mimpi, ilham, atau idea-idea peribadi. Kalau begini sifat ahli fiqh dan kalau beginilah cara mereka mengeluarkan hukum fiqh, kenapa pula ahli tasawuf perlu mencari ‘hakikat’ atau rahsia batin bagi setiap hukum? </p><p><br />Kita boleh jadikan puasa sebagai contoh untuk memudahkan kita memahami perbezaan di antara dua aliran ini. Ahli tasawuf telah membahagikan puasa kepada beberapa bahagian iaitu puasa umum, khusus dan khusus al khusus. Puasa Umum adalah puasa orang awam atau orang biasa yang sekadar menyempurnakan rukun-rukun puasa seperti yang termaktub dalam buku-buku fiqh Islam. Puasa Umum ialah puasa yang mementingkan niat dan menahan diri dari melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa seperti yang dapat difahami dari Al Quran dan hadis-hadis sahih. </p><p><br />Puasa Khusus pula ialah puasa segolongan manusia yang menjaga diri dari perkara-perkara maksiat dan tidak hanya memenuhi rukun puasa seperti Puasa Umum. Mereka sentiasa menjaga diri dari perkara terlarang yang boleh dilakukan oleh anggota badan. </p><p><br />Puasa Khusus al Khusus adalah satu peringkat yang lebih tinggi. Mereka yang berpuasa sebegini dikatakan tidak pernah lalai dan lupa dari mengingati Allah SWT sepanjang puasa mereka. Hati mereka sentiasa mengingati Allah dan tidak pernah terlepas walau sesaat. </p><p><br />Inilah pembahagian puasa yang tidak saya temui melainkan di kalangan mereka yang mendakwa dari kalangan pelajar-pelajar tasawuf atau kesufian. Saya cuba melihat sebanyak mungkin ayat-ayat Al Quran berkaitan puasa dan hadis-hadis sahih yang menjelaskan mengenai puasa yang dikehendaki. Maka saya dapati bahawa Puasa Umum dan Puasa Khusus sedikit sebanyak mempunyai asas secara umum. Namun Puasa Khusus al Khusus langsung tidak disebutkan dan tidak dapat dicari dari manakah sumbernya. </p><p><br />Seperkara lagi, kalau kita menyatakan bahawa Puasa Umum adalah puasa yang paling rendah, maka seolah-olah kita memandang rendah kepada mereka yang berpuasa mengikut rukun dan syarat yang telah ditetapkan di dalam Al Quran dan hadis. Memang sudah semestinya kita menjaga diri dari perkara yang membatalkan puasa kerana itu telah termaktub di dalam Al Quran dan hadis-hadis sahih. Para sahabat sendiri terlalu berhati-hati menjaga agar puasa mereka tidak batal. Kenapa kita perlu menggambarkan puasa sebegini adalah puasa yang biasa atau rendah nilainya? </p><p><br />Kalau kita melihat kepada maksud Puasa Khusus pula, memang kita telah mengetahuinya dari Al Quran dan hadis-hadis sahih. Maksudnya, seseorang itu ketika berpuasa (dan juga ketika tidak berpuasa), wajib menjaga diri dari melakukan maksiat kerana maksiat adalah semua perkara yang melanggar ketetapan Alllah SWT dan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Maka di dalam Al Quran dan hadis sahih, sesiapa yang mengaku dirinya Muslim, wajib menjaga dirinya agar tidak melakukan maksiat, sama ada ketika berpuasa atau ketika tidak berpuasa. Untuk itu Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam telah bersabda : ‘mungkin seseorang itu berpuasa dan dia tidak mendapat balasan kecuali lapar’ – hadis sahih riwayat Ibn Majah (hadis no. 1690). </p><p><br />Melalui pembacaan, saya mendapati bahawa golongan sufi telah menjadikan Puasa Khusus al Khusus sebagai hak milik para wali dan kekasih Allah SWT (ini yang didakwa sebahagian golongan sufi). Mereka berpuasa dalam keadaan yang lebih tinggi dari manusia biasa. Mereka tidak pernah lupa pada Allah SWT dan tidak pernah lalai walau sedetik. Ini adalah dakwaan yang melampaui batas manusia biasa kecuali para Nabi dan Rasul. </p><p><br />Cuba para sahabat pembaca renungkan pembahagian ini dan juga pembahagian solat yang sah di sisi ahli fiqh tetapi tidak sah di sisi ahli tasawuf. Boleh anda terima double standard yang sebegini? </p><p><br />Sumber yang utama dalam kita menentukan sah atau tidaknya sesuatu ibadah berserta segala rukunnya dan syaratnya ialah Al Quran dan Sunnah. Ini telah menjadi satu ketetapan yang tidak diragui lagi. Rasulullah SAW sepanjang hayat Baginda telah selesai mengajarkan kepada kita segala yang perlu kita tahu tentang cara beribadah. Kenapa? Kerana Baginda adalah Rasul yang ditugaskan mengajar umatnya agar ibadah mereka betul dan diterima oleh Allah SWT. Ini bermakna, jika kita menumpukan ke arah mempelajari ibadah seperti yang terkandung dalam buku-buku hadith, itu adalah amat mencukupi kerana itulah intipati kandungan yang telah diajar oleh Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, ulama-ulama fiqh terkenal seperti para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, al Syafie dan Ahmad) telah menegaskan bahawa asas utama ilmu mereka adalah Al Quran dan hadith. Di samping itu terdapat juga persoalan-persoalan yang dijawab oleh mereka berdasarkan ijtihad sendiri yang mereka lakukan mengikut asas-asas Al Quran dan hadith. </p><p><br />Tetapi agak menghairankan apabila kita lihat ahli tasawuf mampu mengeluarkan pendapat lain yang tersembunyi dan tidak nampak secara jelas daripada Al Quran dan hadith. Terdapat juga pendapat yang dikeluarkan berdasarkan hadith dhaif atau palsu (terdapat aliran yang mengkaji hadith secara ilham atau kasyaf, bukan berdasarkan kajian ilmiah seperti para ulama hadith). Ini semua menjadikan mereka berbeza daripada ahli fiqh dalam banyak tempat. Sehingga ada pendapat yang melampau dari sebahagian pengamal tasawuf : ‘Kamu ahli fiqh mengambil hukum daripada kertas (buku-buku) manakala kami mengambilnya daripada Allah’ dan ‘Kamu mengambil ilmu daripada orang yang telah mati (ulama terdahulu/periwayat hadith terdahulu) sedangkan kami mengambil ilmu daripada yang hidup dan tidak akan mati (Allah)’. Inilah yang menyebabkan mereka mampu mengeluarkan pendapat yang pelik kerana mereka boleh mengambil ilmu terus melalui mimpi, kasyaf dan ilham. </p><p><br />Pemahaman sebegini adalah salah dan mana-mana tarekat kesufian yang mempunyai unsur sebegini perlulah mengubahnya. Adapun tarekat yang tidak mempunyai pemahaman seperti yang saya terangkan di sini, maka anda tidaklah termasuk dalam golongan tersebut, alhamdulillah. </p><p><br />Semoga Allah memberikan kita hidayah ke arah menuntut ilmu daripada </p>mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1147319250923898302006-05-10T20:46:00.000-07:002006-06-16T20:32:29.483-07:00Hadith Yang Menjadi Hujah Ahli TarekatBerikut adalah hadith-hadith yang sering digunakan di kalangan ahli tarekat kesufian khusus untuk menyokong segala pemahaman atau amalan mereka yang berlainan daripada amalan yang biasa kita amalkan. Hadith-hadith ini menjadi hujah bagi mereka untuk membuktikan bahawa wujudnya ilmu khas yang membicarakan soal hati dan merekalah yang menguasai ilmu rahsia dan batin ini.<br /><br />Contoh-contoh yang diberikan di sini juga membuktikan bahawa kebanyakan ahli tarekat dan tasawuf tidak memberikan penumpuan terhadap pengkajian hadith. Ini menyebabkan mereka menggunakan hadith-hadith yang dhaif dan palsu dalam penulisan dan percakapan mereka. Sikap ini perlu diubah kerana Islam ditegakkan dengan hujah yang sahih dan bukan hadith-hadith yang tidak dipastikan kebenarannya.<br /><br />Saya juga menyebut di sini hadith-hadith dhaif dan palsu yang mungkin disalah anggap sebagai hadith sahih lalu dijadikan hujah untuk membenarkan perbuatan ahli tarekat kesufian yang melampau.<br /><br /><br />Ilmu itu ada dua: Ilmu di mulut yang menjadi hujah Allah ke atas hambaNya; dan ilmu hati, itulah ilmu yang bermanfaat – Hadith ini diriwayatkan oleh al Hakim al Tirmidzi (bukan Imam al Tirmdizi yang terkenal itu). Al Iraqi dalam al Mughni (takhrij hadith Ihya’ Ulumiddin) telah menyatakan bahawa hadith ini tidak bersambung sanadnya maka ia adalah dhaif. (al Mughni – hadith no.136)<br /><br />Manusia semuanya mati kecuali orang yang berilmu, orang berilmu semuanya mati kecuali orang yang beramal, orang beramal semuanya mati kecuali orang yang ikhlas dan orang yang ikhlas itu berada pada kedudukan yang amat terancam – hadith ini adalah palsu seperti kata al Shoghoni. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.76).<br /><br />Ada ilmu yang tersembunyi dan hanya diketahui oleh orang yang berilmu tentang Allah. Apabila mereka menceritakannya kepada umum, mereka akan ditentang oleh orang-orang yang tertipu daripada mengenali Allah – hadith riwayat Abu Abd. Rahman al Salmi dalam buku al Arba’un al Sufiyyah dan lain-lain lagi. Ia adalah sangat dhaif kerana terdapat pelbagai kecacatan dari segi sanad. Ia dinyatakan sebagai dhaif oleh al Mundziri dan al Iraqi. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.870).<br /><br />Cinta dunia punca segala dosa – hadith palsu riwayat al Baihaqi dalam Syu’ab al Iman dan lain-lain lagi. Hadith ini dinyatakan oleh al Baihaqi bahawa ia bukan hadith yang benar-benar datang daripada Rasulullah SAW. Ia juga dinilai sebagai hadith palsu oleh al Suyuthi, al Munawi dan Ibn Taimiyyah. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.1226).<br /><br />Berhati-hatilah dengan firasat mukmin, sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah – hadith ini riwayat al Tirmidzi dan lain-lain lagi. Di dalam sanadnya terdapat periwayat yang dhaif dan juga dengan kecacatan lain. Malah al Tirmidzi sendiri menyebut ia sebagai hadith yang gharib. Istilah ‘gharib’ sering digunakan oleh al Tirmidzi untuk mengisyaratkan kepada kedhaifan sesuatu hadith. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.1821).<br /><br />Sesiapa yang beramal dengan apa yang dia tahu, Allah akan berikannya ilmu yang dia belum tahu – riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dan lain-lain lagi dengan sanad yang palsu. Al Iraqi juga menolak kesahihan hadith ini dalam takhrij Ihya’ Ulumiddin. Abd. Fattah Abu Ghuddah juga menolak kesahihan hadith ini dalam semakannya terhadap buku ‘Risalatul Murstarsyidin’ karya al Muhasibi. (al Mughni – hadith no.168 dan Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.422).<br /><br />Menunggu dengan kesabaran apabila ditimpa musibah itu adalah ibadah (tidak berusaha) – hadith palsu riwayat al Qudhoi dalam Musnad al Shihab dan lain-lain lagi. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.1572).<br /><br />Dunia haram ke atas ahli akhirat, akhirat pula haram ke atas ahli dunia, dunia dan akhirat haram ke atas ahlullah (mereka tidak mahu syurga, mereka hanya mahu keredhaan Allah) – riwayat al Dailami dan lain-lain lagi. Ia adalah hadith palsu. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith 32).<br /><br />Hendaklah kamu semua bersedih kerana ia adalah kunci hati. Para sahabat bertanya: Bagaimanakah cara untuk bersedih? Maka dijawab oleh Baginda: tahanlah diri kamu daripada makan dan jadikanlah diri kamu sering dahaga – riwayat al Thabarani dan lain-lain. Hadith ini mengandungi periwayat yang dhaif. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.1468).<br /><br />Kisah Nabi Ibrahim ketika ditangkap dan ingin dimasukkan ke dalam api, Jibril datang kepadanya lalu menyuruhnya berdoa kepada Allah, tetapi Ibrahim tidak mahu kerana baginya Allah telah tahu keadaannya – Hadith palsu sebagaimana kata Ibn Arraq. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.21). bagi sesetengah tarekat, mereka menganggap bahawa berdoa itu tanda kurang keyakinan terhadap Allah!<br /><br />Hadith – tentang solat sunat tertentu yang tidak ada di dalam hadith-hadith sahih seperti solat sunat Nisfu Syaaban, solat sunat Rejab (kedua-duanya dilabelkan sebagai bid’ah oleh al Nawawi dan ulama lain), solat sunat hari Ahad, Isnin dan seterusnya, solat malam Ahad, Isnin dan seterusnya (al Iraqi telah mengkaji dan memutuskan bahawa solat-solat hari dan malam sepanjang minggu adalah hadith-hadith yang palsu dan dhaif, tiada yang sahih) dan bermacam-macam lagi solat sunat seperti solat sunat Raghaaib (solat pada jumaat pertama bulan Rejab) dan lain-lain lagi. Solat sunat mestilah diambil daripada hadith-hadith sahih, bukan hadith palsu atau dhaif. (al Bid’ah wa Atharuha al Sayyi’ ‘Ala al Ummah, Salim al Hilali).<br /><br />Banyakkanlah berzikir sehingga orang akan mengatakan kamu gila – hadith riwayat al Hakim, Ahmad dan lain-lain lagi. Sanadnya mengandungi periwayat yang dhaif. (Silsilah al Ahadith al Dhaifah – hadith no.517).<br /><br /><br />Semoga mereka yang mengikuti tarekat berhati-hati ketika menemui hadith-hadith yang digunakan oleh guru tarekat mereka atau disebut dalam buku-buku tarekat dan tasawuf.<br /><br />Di samping itu, mereka juga perlu melihat huraian hadith-hadith sahih daripada buku-buku huraian hadith seperti Fathul Bari huraian Sahih al Bukhari karya Ibn Hajar al Asqalani, al Minhaj huraian Sahih Muslim karya al Nawawi, Aun al Ma’bud huraian Sunan Abu Daud karya al Azhim Abadi dan lain-lain lagi. Jangan sesekali mengabaikan huraian para ulama hadith terkenal lantas terus menggunakan tafsiran ‘rahsia’ atau ‘batin’ terhadap setiap hadith. Contohnya kisah Rasulullah SAW menerima wahyu di GuaHira’ sememangnya sahih, tetapi ada tarekat yang menjadikannya dalil untuk mereka bertapa atau bersuluk di dalam gua dan tempat terpencil bagi mendapatkan ilmu daripada Allah SWT. Begitu juga kisah Rasulullah SAW dibedah dadanya oleh para malaikat dijadikan hujah bagi mereka untuk membuat pembedahan rohani di tangan guru-guru tarekat dengan amalan-amalan yang khusus. Begitu juga mereka mengambil contoh kehidupan para sahabat yang miskin sedangkan terdapat para sahabat yang kaya dan berharta tidak diketengahkan. Insya Allah, saya akan cuba menulis pada masa akan datang tentang ayat-ayat Al Quran dan hadith-hadith sahih yang disalah tafsir oleh ahli tarekat dan dijadikan hujah untuk mereka bagi mempromosikan tarekat masing-masing.<br /><br />Secara mudah, saya menasihati sesiapa sahaja supaya menyemak dahulu kesahihan sesuatu hadith, kemudian mempelajari maksud hadith tersebut sebelum beramal dengannya.<br /><br /><br />Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat untuk pembacanya, insya Allah.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1147318910611911982006-05-10T20:39:00.000-07:002006-06-16T20:33:09.946-07:00Kesilapan Sebahagian Ahli TarekatBerikut adalah contoh-contoh kesilapan sebahagian ahli tarekat kesufian:<br /><br /><br />1.Rasa hati, mimpi dan ilham sebagai hujah atau dalil dalam syariat Islam<br /><br />Di dalam Islam, rasa hati dan ilham bukan sumber dalam menentukan yang baik dan yang salah. Ia juga bukan dalil dalam menentukan hukum sesuatu amalan sama ada benar atau salah. Hukum tertinggi dalam Islam ialah Al Quran dan hadith sahih. Itulah yang menjadi pegangan kita dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim. Kalau diikutkan rasa hati, sudah pasti ukuran seseorang manusia dan penilaiannya berbeza dengan manusia lain. Pernah beberapa orang sahabat Rasulullah SAW memandang sesuatu perkara sebagai baik, tapi Rasulullah SAW membetulkan mereka dan menjelaskan bahawa baik atau tidak adalah berasaskan hukum syariat dan bukan perasaan mereka.<br /><br />Contohnya seperti Abdullah Ibn Umar yang tidak menerima kata-kata Rasulullah SAW tentang puasa. Rasulullah SAW menyatakan bahawa had yang paling kerap untuk berpuasa sunat ialah seperti puasa Nabi Daud alaihissalam yang berpuasa dan berbuka secara berselang. Abdullah Ibn Umar menyatakan bahawa beliau boleh melakukan yang ‘lebih baik’. Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Tiada lagi yang lebih baik’. (Hadith riwayat al Bukhari no.1976 dan Muslim no. 2786).<br /><br />Contoh lain ialah kisah tiga orang lelaki yang bertanyakan kepada isteri Rasulullah SAW tentang ibadah Rasulullah SAW. Ketiga-tiga lelaki itu telah nekad untuk melakukan amalan yang lebih bertujuan untuk menjadi orang yang soleh. Seorang ingin berpuasa setiap hari, seorang lagi ingin solat tahajjud setiap malam atau sepanjang malam dan seorang lagi tidak mahu berkahwin kerana tidak ingin diganggu untuk beribadah. Rasulullah SAW menegur mereka dan menyuruh mereka mengikut cara Baginda iaitu berselang seli ketika berpuasa, bertahajjud pada sebahagian malam sahaja dan juga berkahwin. (Hadith riwayat al Bukhari no.5063).<br /><br />Satu lagi contoh ialah seorang lagi sahabat Nabi SAW yang dipanggil dengan nama Abu Israil melakukan satu bentuk ibadah yang pelik: berpuasa, di tengah panas terik, sambil berdiri dan tidak bercakap dengan sesiapa pun. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya supaya bercakap, mencari tempat teduh, duduk dan menyempurnakan puasanya. (Hadith riwayat al Bukhari no.6704).<br /><br />Tiga contoh ini menunjukkan bahawa Islam merupakan sumber rujukan dan bukannya rasa hati, ilham, akal dan sebagainya. Persoalan dosa pahala, benar salah, afdhal atau tidak adalah persoalan yang memerlukan kepada dalil daripada Al Quran dan hadith sahih. Tiga contoh ini juga menjadi bukti bahawa Islam ini mudah dan memudahkan. Tidak seperti fahaman ahli tarekat yang menyatakan bahawa ibadah mesti dilakukan dengan cara yang seolah-olah menyusahkan, menyiksa atau memberatkan untuk mendapat pahala yang lebih.<br /><br />Mimpi juga bukanlah satu sumber dalam menentukan hukum atau menentukan kebenaran atau kebatilan. Mimpi manusia biasa seperti kita tidak sama nilainya seperti mimpi para Nabi dan Rasul yang merupakan wahyu. Namun begitu masih kita dapati ahli tarekat yang menjadikan mimpi sebagai sumber ilmu dan seringkali berlaku percanggahan antara dalil Al Quran dan hadith dengan mimpi-mimpi tersebut. Sekiranya semua orang boleh menggunakan mimpi, maka bercanggahlah amalan dan ilmu antara seorang muslim dengan muslim yang lain. Oleh sebab itu, Al Quran dan hadith sahih merupakan dalil yang menjadi rujukan utama agar semua umat Islam dapat bersatu di bawah kebenaran yang bersumberkan wahyu.<br /><br /><br />2-Ketaatan mutlak pada syeikh tarekat<br /><br />Kaedah yang mudah untuk kita memahami cara mentaati makhluk ialah sebuah hadith sahih daripada Rasulullah SAW yang bermaksud: ‘Tidak ada ketaatan pada makhluk pada perkara maksiat terhadap Allah SWT’. (Hadith riwayat Ahmad no.1077 dengan sanad yang disahihkan oleh al Albani), dan sebuah lagi hadith yang bermaksud: ‘Tidak ada ketaatan pada perkara maksiat, ketaatan hanya pada perkara ma’ruf (dibenarkan syarak)’. (Hadith riwayat al Bukhari no.7257 dan Muslim no.4871).<br /><br />Sebahagian ahli tarekat diajar supaya mentaati syeikh dalam usaha atau perjalanan mereka untuk membersihkan jiwa mereka. Mereka diajar supaya berada di hadapan syeikh seolah-olah satu mayat di hadapan orang yang memandikannya. Mereka juga diajar bahawa sesiapa yang bertanya ‘kenapa’ kepada syeikhnya, dia tidak akan berjaya dalam membersihkan jiwanya. Syeikh mesti ditaati kerana syeikh tahu apa ubat untuk penyakit hati setiap muridnya. Hakikatnya, para pembaca perlu tahu bahawa pemilihan guru tarekat adalah secara warisan dan dipilih oleh guru tarekat sebelumnya. Maka pemilihan ini akan dibuat berdasarkan ‘ketaatan’ dan ‘kesetiaan’. Inilah yang berlaku pada hampir kesemua tarekat kesufian. Saya pernah berbual dengan orang-orang yang terlalu taksub kepada syeikh masing-masing dan saya dapati merekalah yang berlebih-lebih dalam mempertahankan sebarang kekurangan yang ada pada syeikh mereka. Imam Malik telah berpesan bahawa ‘setiap orang boleh diterima dan ditolak pendapat mereka kecuali Rasulullah SAW’. Pesanan sebegini tidak ada di dalam kebanyakan tarekat.<br /><br />Satu hakikat penting yang perlu diketahui bersama ialah syeikh-syeikh kebanyakan tarekat tidak mempunyai ilmu yang mendalam berkaitan Al Quran dan hadith, tetapi mereka mempunyai ilmu yang mendalam tentang istilah-isitilah kesufian dan mahir dalam mempraktikkan cara yang telah diwarisi daripada syeikh-syeikh sebelumnya. Maka ketaatan kepada golongan sebegini perlulah diikat dengan Al Quran dan hadith. Mana-mana perbuatan yang dilakukan oleh syeikh mestilah dinilai sebelum diterima atau diikuti. Terdapat sesetengah tarekat yang menganggap bahawa syeikh tahu segala-galanya dan setiap gerak-gerinya adalah mengikut syarak walaupun di mata kita syeikh tersebut melanggar syarak, itu hanyalah pandangan zahir semata-mata. Anggapan ini adalah salah kerana kita mengukur semua manusia dengan amalan zahir yang telah dijelaskan sempadannya dan batasannya oleh Al Quran dan hadith sahih.<br /><br /><br />3-Pembahagian Islam kepada Syariat dan Hakikat dan Ilmu Ladunni<br /><br />Satu lagi perkara yang sering disebut-sebut di kalangan orang-orang tarekat kesufian ialah kebolehan mereka memahami Hakikat sedangkan orang-orang lain termasuklah sesiapa yang mempelajari Islam secara bermetod dan bermanhaj hanya memahami Syariat. Syariat bagi mereka adalah zahir manakala hakikat ialah batin. Pembahagian ini mengandungi perkara yang agak pelik iaitu: Hanya orang-orang tarekat dan ahli tasawuf sahaja yang akan berjaya mengorek rahsia ilmu hakikat. Kemampuan mereka bukan bergantung kepada ilmu atau kemahiran tetapi kepada martabat atau maqam mereka yang akan mereka sampai padanya melalui latihan zikir dan pembersihan hati.<br /><br />Ahli tarekat akan berjaya melihat kepada dimensi Hakikat apabila hati mereka bersih dan ini melibatkan satu lagi permasalahan iaitu : mereka diajar terus secara lansung oleh Allah SWT. Walaupun tidak semua tarekat mempunyai kepercayaan sebegini, tetapi kebanyakan ahli tarekat akan bercakap soal ‘ilmu ladunni’ iaitu ilmu yang diajar kepada ahli zikir dan ahli tarekat dan sumbernya terus daripada Allah.<br /><br />Saya pernah berbual dengan seorang pengamal tarekat dan dia berkata bahawa Allah akan mengajarnya ilmu agama seperti mana Allah mengajar semua manusia cara mereka merangkak seterusnya berjalan. Apabila saya bertanya kepadanya kenapa dia tidak tahu berbahasa Arab, dia menjawab bahawa Allah belum lagi mengajarnya Bahasa Arab. Lihatlah kepada pemikiran yang melucukan ini. Bagi mereka, ilmu keduniaan perlu dipelajari dengan metodologi dan usaha. Tetapi ilmu agama adalah proses yang merupakan kurniaan daripada Allah tanpa perlu bersusah payah menuntut ilmu daripada para ulama.<br /><br />Mereka suka membandingkan diri mereka dengan para Nabi dan Rasul yang dikurniakan wahyu. Sedangkan tiada lagi Nabi dan Rasul selepas Rasulullah SAW. Ahli tarekat yang begini pendapatnya akan menafsirkan Islam ini dengan dua sifat atau dua bentuk: Syariat atau Hakikat. Apabila menafsirkan Al Quran, akan ada tafsir zahir dan tafsir batin. Apabila menafsirkan maksud hadith, akan ada maksud zahir dan maksud batin. Terdapat juga kata-kata yang sering ditemui di kalangan ahli tarekat iaitu: sesiapa yang melihat perbuatan ahli tarekat dengan mata Syariat akan marah tetapi sesiapa yang melihat dengan mata Hakikat akan setuju. Maksudnya, mungkin pada mata kita seorang ahli tarekat melakukan perkara yang salah atau berdosa. Namun itu hanyalah pada pandangan mata Syariat. Mata Hakikat akan melihat bahawa mereka melakukan satu perkara baik seolah-olah mereka berada di alam lain.<br /><br /><br />4- Bentuk Zikir yang berlainan dengan cara Rasulullah SAW dan para sahabat<br /><br />Satu lagi perkara yang menghairankan ialah kebanyakan tarekat mempunyai cara zikir yang berbeza dengan cara yang ditemui di dalam hadith-hadith Rasulullah SAW dan juga kisah hidup para sahabat. Mereka berzikir dalam majlis yang agak tersembunyi daripada orang ramai, berzikir dengan cara yang agak pelik seperti berzikir dengan suara terlalu lantang, berzikir sambil bangun dan berdiri, berzikir sambil membuat pusingan dalam kumpulan, berzikir sambil menari, berzikir dengan diiringi kompang dan tepukan, berzikir dalam gerak badan yang terlalu kasar, berzikir sampai pengsan atau terjatuh dan sebagainya. Semuanya ini tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW atau para sahabat.<br /><br />Lihatlah hadith-hadith yang menceritakan keadaan Rasulullah SAW dan para sahabat berzikir dan hadith-hadith itu termaktub di dalam buku-buku hadith seperti Sahih al Bukhari, Sahih Muslim dan lain-lain lagi. Kenapa ahli tarekat masih melakukan zikir dengan cara yang berlainan dengan cara Rasulullah SAW? Bukankah mereka menyatakan bahawa mereka mengikut cara yang dibawa oleh Rasulullah SAW? Bukankah mereka mendakwa bahawa cara zikir dan lafaz zikir yang mereka amalkan kebanyakannya diambil daripada para sahabat?<br /><br />Zikir adalah ketenangan, tetapi dalam tarekat kesufian,zikir seumpama latihan fizikal yang sukar dibuat dalam keadaan tenang. Zikir adalah mengingati Allah, tetapi dalam sesetengah tarekat kesufian, zikir bagi mereka adalah hilang ingatan, pengsan dan sebagainya. Cara terbaik ialah cara Rasulullah SAW. Cara itulah yang diwarisi oleh generasi terbaik iaitu para sahabat. Cara itu ialah berzikir dalam keadaan sedar, penuh fokus dan juga tidak keterlaluan dan penuh ketenangan. Zikir yang dilakukan oleh para sahabat juga adalah zikir menggunakan lafaz yang diajar oleh Rasulullah SAW. Tetapi para ahli tarekat sesetengahnya kita dapati mereka berzikir dengan lafaz yang tidak diajar oleh Rasulullah SAW seperti zikir Allah, Allah, Allah atau Hu, Hu, Hu, atau zikir dengan sajak-sajak atau syair-syair guru mereka. Inikah cara terbaik dalam berzikir? Para pembaca boleh menilai dengan baik, insya Allah.<br /><br /><br />Semoga bertemu lagi dalam tulisan akan datang, insya Allah.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-27904394.post-1147318318289925032006-05-10T20:28:00.000-07:002006-06-16T20:33:52.356-07:00Ahli Tarekat Kenapa Allergic Dengan Kajian SanadKenapa agaknya saya membuat kesimpulan seperti yang anda baca dalam tajuk artikel ini? Berikut adalah sebab-sebabnya:<br /><br /><br />1-Kebanyakan tarekat mempromosikan tarekatnya dengan dakwaan bahawa tarekat yang mereka ada diambil turun-temurun daripada orang terdahulu sama seperti ahli hadith meriwayatkan hadith. Tetapi apabila dikaji, ternyata dakwaan mereka mengandungi beberapa maksud. Antara maksud mereka dengan sanad ialah mereka mengambilnya secara ‘ijazah’ sanad sampailah kepada pengasas tarekat tersebut. Maka sanad zikir atau sanad tarekat hanya terhenti kepada guru mereka dan bukannya sampai kepada Rasulullah SAW seperti yang disangka ketika kita mendengar perkataan ‘sanad’. Oleh sebab itu, mereka tidak suka atau allergic dengan kajian sanad seperti yang dilakukan oleh pengkaji hadith dulu dan kini.<br /><br /><br />2- Maksud kedua penggunaan sanad di kalangan ahli tarekat ialah mereka mendakwa bahawa zikir dan amalan khusus tarekat mereka benar-benar diambil daripada sahabat Rasulullah SAW. Sekiranya benar sanad itu sahih dan benar-benar terbukti amalan tarekat mereka bersumberkan daripada salah seorang sahabat Rasulullah SAW, itu tidak sama dengan amalan yang bersumberkan daripada Rasulullah SAW sendiri. Tapi ternyata setelah dikaji mengikut kajian sanad, ternyata dakwaan mereka juga tidak tepat kerana sanad yang digunakan itu tidak mencukupi syarat yang diletakkan mengikut kajian hadith. Maka sanad itu terputus atau mengandungi periwayat-periwayat yang dhaif atau tidak dikenali.<br /><br />3- Satu lagi keadaan ialah mereka mempunyai sanad yang sampai kepada Rasulullah SAW yang mana sekiranya ia sahih, maka mereka memang mempunyai hujah yang kuat kerana amalan tarekat itu adalah amalan Rasulullah SAW. Malangnya setelah dikaji, ternyata sanad yang mereka bawa itu tidak sempurna dan tidak sahih. Pelik juga bila difikirkan hadith yang sahih daripada Rasulullah SAW tetapi tidak ditemui dalam buku-buku hadith terkemuka, sebaliknya ditemui dalam tarekat-tarekat tertentu yang tidak popular. (Hasil ulasan Muhaddith masa kini, Syeikh Syuaib al Arnaouth ketika penulis menuntut di Jordan).<br /><br /><br />4- Satu lagi hakikat yang menyebabkan mereka allergic dengan kajian sanad ialah kebanyakan ulama-ulama atau periwayat-periwayat daripada kalangan ahli tasawuf kadangkala tidak diterima sebagai periwayat hadith yang thiqah (dipercayai dengan maksud ingatannya baik serta akhlaknya juga baik).<br /><br /><br />5- Satu masalah lain yang menyebabkan ahli tarekat allergic dengan kajian sanad ialah mereka terpaksa menolak hadith-hadith yang pernah disebut dalam buku-buku tarekat atau pernah disebut oleh syeikh-syeikh tarekat. Disebabkan mereka terlalu menyanjung tinggi syeikh-syeikh mereka, maka mereka menjadi berat untuk menerima kajian sanad yang dibentangkan dengan hujah dan bukti. Menerima kajian sanad sebegini akan menyebabkan mereka menegur pula pendapat yang telah lama berakar umbi dalam tarekat masing-masing. Ini satu lagi masalah yang besar kerana kebanyakan tarekat mengajar pengikutnya supaya taat tanpa berbelah bahagi kepada syeikh masing-masing dan jangan menegur mereka disebabkan mereka telah sampai ke tahap yang tinggi.<br /><br /><br />6- Untuk itu kita mendapati kenyataan yang pelik dibuat oleh mereka yang terpengaruh dengan aliran tarekat dalam usaha mereka untuk menolak kajian hadith oleh para ulama hadith. Kenyataan pelik itu ialah wujudnya satu pengkajian hadith yang berbentuk ‘kasyaf’ atau ‘ilham’ dan tidak menggunakan bukti atau hujah. Inilah jalan keluar untuk mereka menggunakan hadith-hadith dhaif atau palsu sebagai hujah dalam penulisan atau ucapan. Penapisan hadith berbentuk ‘kasyaf’ menjadikan syeikh-syeikh yang tinggi maqamnya berupaya untuk mengenal pasti dan membezakan di antara hadith-hadith sahih atau tidak hanya dengan melihat lafaz hadith. ‘instinct’ atau ‘sixth sense’ mereka akan memberitahu mereka sama ada hadith-hadith itu sahih atau dhaif atau palsu. (Kalau para pembaca ingin tahu tentang kewujudan ‘penapis kasyaf’ ini, tanyalah kepada orang-orang tarekat atau bacalah muqaddimah buku ‘Kasyfu al Khafa’ oleh al ‘Ajluni. Baca juga ulasan oleh Abd. Fattah Abu Ghuddah ketika menyemak buku ‘al Mashnu’ Fi Ma’rifat al Hadith al Maudhu’ karya Ali al Qari).<br /><br /><br />7- Satu lagi masalah besar yang menjadi jalan keluar para ahli tarekat apabila bertembung dengan kajian sanad ialah ‘Yaqazhah’. Penulis berharap akan ada usaha daripada mana-mana penulis yang mampu untuk mengkhususkan satu artikel ilmiah atau satu buku khusus tentang ‘Yaqazhah’ di kalangan ahli tarekat. Fahaman ‘Yaqazhah’ ini terus mengenepikan asas-asas kajian hadith di mana mereka mendakwa bahawa syeikh mereka boleh berkomunikasi secara ‘direct’ dengan Rasulullah SAW lalu boleh menerima ijazah selawat khas atau hadith baru! Lihatlah bagaimana mereka berjaya lari daripada kajian sanad dengan dakwaan yang amat tidak berasas! Persoalan berjumpa dengan Rasulullah SAW secara jaga dan menerima pula hadith-hadith baru tidak pernah berlaku kepada para sahabat yang mulia dan hebat seperti Abu Bakr, Umar dan lain-lain lagi. Ia juga tidak pernah berlaku kepada para ulama fiqh dan hadith terkemuka seperti ulama-ulama tabi’in, imam-imam mazhab terkenal seperti Abu Hanifah, Malik, al Syafie dan Ahmad. Tetapi ia berlaku pula kepada imam-imam tarekat kesufian. Ini menunjukkan dengan jelas bahawa perkara ini adalah satu jalan keluar kerana mereka ‘allergic’ dengan kajian sanad.<br /><br /><br />Elok juga difikirkan di hujung tulisan ini (yang merupakan luahan pemikiran dan hati saya, bukannya sebuah artikel yang berformat), kenapa ada beratus-ratus tarekat kesufian di negara-negara Arab, Afrika dan Asia. Adakah semuanya mempunyai sanad yang menghasilkan pelbagai bentuk zikir dan ibadat?<br /><br /><br />Maafkan saya sekiranya ada yang tersinggung dengan hakikat yang saya nyatakan dalam tulisan ini.mohd suffian hj jaafarhttp://www.blogger.com/profile/14145710540826759301noreply@blogger.com0